Mohon tunggu...
Yutanis
Yutanis Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Kumpulan Karya: https://linktr.ee/Yutanis Halo, saya suka menulis untuk hidup, saya suka membaca untuk menambah pengalaman hidup saya. Suka belajar hal baru, menulis puisi, menulis artikel, menulis novel di platform online, dan mengisi hari-hari dengan kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Dunia Berpihak Padaku

18 Desember 2023   18:40 Diperbarui: 19 Desember 2023   08:19 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin bagi sebagian orang, menjadi pemimpin itu hal yang mudah. Tinggal utus bawahan, beri perintah dan semuanya pasti beres, mudah dilihat. Tapi, mereka tak mengetahui bagaimana aku harus memutar otak setiap saat. 

Memimpin sebuah tim maupun negara, kukira cara kerjanya sama. Kita harus bisa bertahan di antara tuntutan dari para "elit" yang lebih tinggi dari kita. 

Aku sudah menjalani ini lebih dari sepuluh tahun. Memimpin sebuah negara bernama Joypu, sedikit pun tidak pernah aku merasakan tidur nyenyak, makan enak, atau merasa aman di setiap harinya. 

Selalu ada pihak kuat yang mendikteku ini dan itu. Tuntutan sempurna mungkin masih bisa aku ikuti. Tapi, ketika mereka memintaku untuk menyetir sebuah kehancuran, aku menyerah untuk itu. 

"Dean, kau sudah tau konsekuensinya, kau juga sudah tau mereka akan meminta ini. Kenapa kau tidak mundur saja? Cari atasan lain yang lebih manusiawi, kau tidak perlu lagi bekerja dengan iblis seperti dia," ucap kakakku, Mianan. Iya, dia sangat tau cara kerja dunia ini, dia juga tau bagaimana kehidupan manusia disetir atas kemauan dan keserakahan mereka yang mengatasnamakan raja dari para pemimpin. 

"Tidak semudah itu, aku tidak mungkin meninggalkan mereka begitu saja. Ini tanggung jawabku, biarkan aku mencari celah untuk membela rakyatku. Mereka tidak tau apa-apa, aku tidak ingin menjerumuskan banyak orang," jawabku. 

"Mau sampai kapan, Dean? Jika seperti ini terus, kau akan mati sebelum negara ini terbentuk." Suara kakakku meninggi, ia marah, aku tidak bisa mengelak. 

Memang benar, jika seperti ini terus negara yang aku inginkan tidak akan berdiri sesuai rencana. Tapi, jika aku melawan dan memberontak, bukan hanya negara ini yang tidak akan terbentuk, tapi dunia ini juga bisa dihancurkan oleh mereka.  

"Aku akan bekerja lebih keras lagi, Kakak. Aku yakin aku bisa, negara ini pasti akan berdiri dengan kokoh meskipun bukan aku yang memimpin nantinya."

Mianan melirikku, rahangnya terjatuh mendengar jawaban dari mulut kecilku ini. "Lalu, untuk apa kau berjuang mati-matian, jika pada akhirnya kau mati, Dean? Kau mungkin lupa, bukan hanya rakyatmu yang membutuhkan perhatian dan kehadiranmu, tapi juga ada keluarga dan anak-anakmu yang setiap saat berdoa untukmu. Apa kau bahkan pernah sadar akan hal itu? Apa kau pernah menengok sedikit saja pada mereka? Tidak, bukan? Kau hanya fokus pada rakyatmu, kau terlalu fokus dengan kesejahteraan orang lain, dan mengabaikan kesejahteraan dirimu sendiri. Lawan, Dean! Ini waktunya kau bertindak, jangan terus menurut ketika mereka menuntut ini dan itu padamu. Lawan, Dean! Lawan!"

Oh, hatiku sakit, kakakku benar, aku tidak hidup sendirian. Ya Tuhan, aku terlalu mencari dan terus mencari, tanpa sadar jawabannya ada di depan mata. 

Lelehan air mataku membasahi rupa yang orang puja, tapi ternyata aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya pria pengecut, aku kecewa, betapa bodohnya aku, sudah mengabaikan banyak doa yang justru aku butuhkan, sudah mengabaikan mereka yang justru selalu ada untukku. 

Kakakku benar, aku tidak harus selalu tunduk, tidak harus selalu patuh, ini saatnya aku memilih jalanku sendiri tanpa disetir oleh mereka. 

*****

Maka, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan sebuah mimbar tinggi, di dalam bangunan yang berdiri kokoh membelah langit. 

Sosok tinggi besar dengan jubah hitam di depan sana menyorotku dengan tajam, tatapannya bengis, sadis, juga mengintimidasi.

"Apa maksudmu tidak bisa melakukan yang aku perintahkan? Jawab!"

"Aku punya jalan sendiri, Yang Mulia."

"Jalan seperti apa?! Sadarlah, kau masih bisa hidup itu semua karena aku! Kau masih bisa bernapas karena perintahku! Kau mulai membangkang? Kau sudah tak peduli pada rakyatmu?"

"Aku peduli, Yang Mulia. Oleh karena itu aku tidak bisa mengikuti perintah Yang Mulia lagi. Ini salah Yang Mulia, menyebar bibit fitnah pada mereka yang tak tau apa-apa, itu salah besar Yang Mulia. Aku tidak sanggup melihat mereka bertikai, sedangkan kita di atas sini bersenang-senang menyaksikan keributan mereka. Aku tidak sanggup lagi Yang Mulia, aku ingin mereka bersatu bukan berseteru, aku ingin mereka saling melindungi bukan saling melempar hinaan yang tak berarti. Jadi, Yang Mulia, aku ... aku akan menjalankan negaraku dengan caraku sendiri."

Pria yang kusebut Yang Mulia itu keluar dari mimbar, dia mendatangiku. 

Bugh! 

Aku terbanting, perutku terasa ngilu, mual dan kepalaku mulai pening. 

Bugh! 

Tendangannya tidak meleset sedikit pun, aku terdorong lagi, kali ini aku mencium aroma darah segar, aku tak tau pastinya dari mana. 

"Kurang ajar kau! Apa susahnya mengikuti perintahku, kau tinggal menyuruh orang lain, tak perlu repot-repot terjun ke jalan. Kau tinggal asingkan mereka! Buat apa hidup dengan hati nurani! Dunia ini sudah hancur sejak lama, hati nuranimu tak akan bisa memperbaiki kerusakan yang sudah mengakar hingga ke dalam. Kau bodoh! Kau pengecut! "

Kaki itu berada di atas dadaku, dia tekan, dia himpit aku dengan seluruh tenaganya. Rasanya sakit, pedih, juga sesak, sesaat penglihatanku menghitam. 

Susah payah aku membuka mata, tapi orang itu tiba-tiba menghilang. Aku justru disuguhkan dengan kupu-kupu yang beterbangan di atas sana, cantik dan penuh warna, mereka tersenyum padaku. Satu kupu-kupu hinggap di pucuk kepalaku, membisikkan kata-kata semangat, memberikan kekuatan, memberi keyakinan bahwa yang aku perbuat memang sudah tepat. 

"Yang Mulia salah, dunia ini tidak rusak, dunia ini penuh dengan cinta. Tapi tidak sembarang orang bisa melihatnya, terutama orang-orang seperti Yang Mulia, yang lebih mengutamakan hasil dibandingkan proses. Aku kasihan pada Yang Mulia, hidup sendirian tanpa orang-orang tulus, hidup sendirian tanpa orang-orang yang cemas menunggu Yang Mulia pulang. Aku tidak bodoh, aku memilih jalan pulang yang lebih indah, aku memilih jalan bangkit yang lebih bermakna, dan aku punya segalanya dibandingkan Yang Mulia."

Gemuruh langit bersahutan, awan hitam menggumpal, petir-petir saling beradu kuat. Hancur, mimbar yang diagung-agungkan berantakan. Runtuh, pertahanan yang mereka banggakan, terguling oleh air hujan yang jatuh dengan deras. 

Kupu-kupu itu terbang dengan riang tanpa takut oleh kilatan yang membelah langit. Dari kejauhan, di sisa tenagaku, sorot mataku menangkap lengkungan indah penuh warna menyambut keberanianku melawan durjana yang penuh keserakahan. 

Aku tersenyum, darah yang mengalir ke ujung sana tak ada artinya lagi, bahkan aku tidak lagi merasakan sakit. Hatiku penuh, negara yang aku impikan sebentar lagi akan terwujud. Air hujan yang menyapaku dengan lembut, membawaku pada cahaya terang dengan sambutan meriah dari Mianan dan orang-orang terkasih lainnya.

Aku bahagia, aku terbebas, aku bisa melakukan apa saja. Aku bahagia, akhirnya dunia berpihak kepadaku. Aku bahagia, aku pemimpinnya, aku bahagia, dan aku menang.

Sebentar lagi, di waktu yang paling indah, di waktu yang paling tepat, hijau dunia akan terlihat lagi. Semua warna akan berkibar lagi, fitnah-fitnah tak akan berkeliaran lagi, dan keserakahan manusia akan musnah berganti dengan kehidupan yang penuh dengan berkah.

"Kakak, aku ... aku ... aku berhasil. Negaraku, aku siap untuk negaraku. Kakak, aku pulang membawa kemenangan."

~Selesai~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun