Bugh!Â
Aku terbanting, perutku terasa ngilu, mual dan kepalaku mulai pening.Â
Bugh!Â
Tendangannya tidak meleset sedikit pun, aku terdorong lagi, kali ini aku mencium aroma darah segar, aku tak tau pastinya dari mana.Â
"Kurang ajar kau! Apa susahnya mengikuti perintahku, kau tinggal menyuruh orang lain, tak perlu repot-repot terjun ke jalan. Kau tinggal asingkan mereka! Buat apa hidup dengan hati nurani! Dunia ini sudah hancur sejak lama, hati nuranimu tak akan bisa memperbaiki kerusakan yang sudah mengakar hingga ke dalam. Kau bodoh! Kau pengecut! "
Kaki itu berada di atas dadaku, dia tekan, dia himpit aku dengan seluruh tenaganya. Rasanya sakit, pedih, juga sesak, sesaat penglihatanku menghitam.Â
Susah payah aku membuka mata, tapi orang itu tiba-tiba menghilang. Aku justru disuguhkan dengan kupu-kupu yang beterbangan di atas sana, cantik dan penuh warna, mereka tersenyum padaku. Satu kupu-kupu hinggap di pucuk kepalaku, membisikkan kata-kata semangat, memberikan kekuatan, memberi keyakinan bahwa yang aku perbuat memang sudah tepat.Â
"Yang Mulia salah, dunia ini tidak rusak, dunia ini penuh dengan cinta. Tapi tidak sembarang orang bisa melihatnya, terutama orang-orang seperti Yang Mulia, yang lebih mengutamakan hasil dibandingkan proses. Aku kasihan pada Yang Mulia, hidup sendirian tanpa orang-orang tulus, hidup sendirian tanpa orang-orang yang cemas menunggu Yang Mulia pulang. Aku tidak bodoh, aku memilih jalan pulang yang lebih indah, aku memilih jalan bangkit yang lebih bermakna, dan aku punya segalanya dibandingkan Yang Mulia."
Gemuruh langit bersahutan, awan hitam menggumpal, petir-petir saling beradu kuat. Hancur, mimbar yang diagung-agungkan berantakan. Runtuh, pertahanan yang mereka banggakan, terguling oleh air hujan yang jatuh dengan deras.Â
Kupu-kupu itu terbang dengan riang tanpa takut oleh kilatan yang membelah langit. Dari kejauhan, di sisa tenagaku, sorot mataku menangkap lengkungan indah penuh warna menyambut keberanianku melawan durjana yang penuh keserakahan.Â
Aku tersenyum, darah yang mengalir ke ujung sana tak ada artinya lagi, bahkan aku tidak lagi merasakan sakit. Hatiku penuh, negara yang aku impikan sebentar lagi akan terwujud. Air hujan yang menyapaku dengan lembut, membawaku pada cahaya terang dengan sambutan meriah dari Mianan dan orang-orang terkasih lainnya.