Oh, hatiku sakit, kakakku benar, aku tidak hidup sendirian. Ya Tuhan, aku terlalu mencari dan terus mencari, tanpa sadar jawabannya ada di depan mata.Â
Lelehan air mataku membasahi rupa yang orang puja, tapi ternyata aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya pria pengecut, aku kecewa, betapa bodohnya aku, sudah mengabaikan banyak doa yang justru aku butuhkan, sudah mengabaikan mereka yang justru selalu ada untukku.Â
Kakakku benar, aku tidak harus selalu tunduk, tidak harus selalu patuh, ini saatnya aku memilih jalanku sendiri tanpa disetir oleh mereka.Â
*****
Maka, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan sebuah mimbar tinggi, di dalam bangunan yang berdiri kokoh membelah langit.Â
Sosok tinggi besar dengan jubah hitam di depan sana menyorotku dengan tajam, tatapannya bengis, sadis, juga mengintimidasi.
"Apa maksudmu tidak bisa melakukan yang aku perintahkan? Jawab!"
"Aku punya jalan sendiri, Yang Mulia."
"Jalan seperti apa?! Sadarlah, kau masih bisa hidup itu semua karena aku! Kau masih bisa bernapas karena perintahku! Kau mulai membangkang? Kau sudah tak peduli pada rakyatmu?"
"Aku peduli, Yang Mulia. Oleh karena itu aku tidak bisa mengikuti perintah Yang Mulia lagi. Ini salah Yang Mulia, menyebar bibit fitnah pada mereka yang tak tau apa-apa, itu salah besar Yang Mulia. Aku tidak sanggup melihat mereka bertikai, sedangkan kita di atas sini bersenang-senang menyaksikan keributan mereka. Aku tidak sanggup lagi Yang Mulia, aku ingin mereka bersatu bukan berseteru, aku ingin mereka saling melindungi bukan saling melempar hinaan yang tak berarti. Jadi, Yang Mulia, aku ... aku akan menjalankan negaraku dengan caraku sendiri."
Pria yang kusebut Yang Mulia itu keluar dari mimbar, dia mendatangiku.Â