Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Ahok Gate, Blunder Terparah PDIP dan Tidak Profesionalnya Kemendagri

14 Februari 2017   09:56 Diperbarui: 14 Februari 2017   10:25 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin kasihan sebenarnya melihat PDIP ini. Hanya karena takut jagoannya kalah, segala cara pun dilakukannya demi menyelamatkan jagoannya dari kemungkinan kalah di Pilgub DKI 2017.

Berbeda dengan tahun 2012 dimana posisi PDIP sebagai underdog yang bersinar terang dan mampu mengalahkan Goliath, pada tahun 2016-2017 ini PDIP sebenarnya dalam posisi  sedang menjadi Goliath (Raksasa Penguasa).  Dukungan suara massa dan DPR punya banyak, kader-kader bagus punya bahkan Presiden pun punya mereka.

Diatas kertas tanpa seorang Ahok pun sebenarnya PDIP lah yang paling berpeluang (tadinya) untuk memenangkan Pilgub DKI 2017.  Mau ajukan Djarot, Risma, Ganjar atau lainnya, semuanya punya peluang cukup besar untuk meraih kursi Gubernur DKI.   Tinggal mencari rekan koalisi saja. Dan itupun sangat banyak tersedia karena partai-partai pendukung pemerintah seperti Nasdem, PKB, PAN, PPP, Hanura dan lainnya memang sedang menjadi sahabatnya.

Sayangnya PDIP kok malah pilih Ahok yang sudah jelas-jelas kontroversial dan banyak musuhnya. Inilah blunder terbesar PDIP di tahun 2016. Memilih orang yang “bermasalah” dengan resiko pengorbanan yang tak terkira banyaknya.

Dan belum apa-apa sebenarnya PDIP sudah babak belur berurusan dengan Ahok. Belum pernah terjadi Partai sebesar PDIP dicemooh oleh belasan remaja gara-gara rebutan mengusung Ahok. “Teman Ahok” LSM dadakan yang isinya belasan anak remaja sanggup mengolok-olok PDIP.

Internal PDIP pun bergejolak untuk menolak Ahok. Tapi elit-elit diatas ngoyo untuk mendukung “orang bermasalah” ini.  Akhirnya seluruh kader disuruh menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Harus nurut kata ibu ketua.

Saya katakan “orang bermasalah” maksudnya disini adalah public luas masih menpersepsikan Ahok tidak clear dalam Kasus Sumber Waras, Reklamasi hingga Kasus Lahan Cengkareng.  Belum ada yang benar-benar Clear statusnya.  Sementara di sisi lain Ahok itu sudah terkenal  sangat banyak musuhnya.

Kenapa sosok ini yang dipilih PDIP untuk menjadi Cagub DKI?

Dan selanjutnya kita semua melihat bagaimana PDIP mulai tambah babak belur karena ikut-ikutan “berperang”" dengan FPI.  Yo opo rek,  ora isin opo? mosok partai segede PDIP  gulet karo Ormas? Dapat untung apa PDIP bertarung habis-habisan dengan FPI hanya karena FPI lah yang mengkasuskan Ayat Al-Maidah?

“Berkelahi” dengan FPI  eh malah PDIP ngajak-ngajak  JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Polri untuk sama-sama mengeroyok FPI. Loh masyarakat melihat semua yang terjadi loh. Mereka juga tahu yang salah siapa dan yang belain mati-matian orang yang salah siapa.

Sebenarnya, bila PDIP tidak ribut sama FPI dan membiarkan kasus Penistaan Agama Ahok berjalan apa adanya, belum tentu Ahok divonis hingga 5 tahun. Paling juga hukuman percobaan 1 tahun tanpa ditahan. Dan itu artinya tidak mempengaruhi kesertaan Ahok-Djarot dalam Pilgub DKI.  Dan belum tentu Ahok-Djarot kalah loh.

Katakan Ahok divonis bersalah dan harus ditahan untuk setahun lamanya.  Toh PDIP tidak rugi-rugi amat karena Djarot masih bisa memimpin DKI  untuk  kepentingan PDIP.

Tetapi dengan ribut besar melawan FPI,  yang terjadi  malah negara ini  jadi kacau balau. Apa nggak bosen rakyat lihat setiap hari ada saja orang yang dilaporkan ke poiisi?  Siapa sih yang sedikit-sedikit main lapor polisi? Apa polisinya sudah jadi milik tukang lapor jadi setiap hari mengandalkan laporan-laporan yang tidak jelas kepentingannya dan ujungnya seperti apa?

Rugi besar sebenarnya PDIP berseteru dengan FPI. FPI nya malah yang semakin lama semakin naik daun. orang-orang makin bersimpati karena terlihat jelas FPI sedang digencet habis-habisan oleh Penguasa gara-gara si Penguasa terganggu kepentingannya di Pilgub DKI.

Selanjutnya tibalah masa minggu tenang. Harusnya minggu tenang untuk Pilkada Serentak seluruh Indonesia ini berjalan lancar.  tapi apa yang terjadi? Heboh besar terjadi gara-gara  PDIP melalui Mendagri mengaktifkan Ahok ebagai Gubernur DKI sementara status hukumnya masih Terdakwa.

DPR bergejolak, DPRD DKI bergejolak, ada gugatan ke PTUN dan ribuan netizen bersuara keras akibat Mendagri melanggar UU No.23 tahun 2014 Pasal 83. Terjadilah keributan yang luar biasa di saat Minggu Tenang Pilkada Serentak, hanya gara-gara urusan Pilgub DKI.

Mengapa PDIP harus memaksakan Ahok aktif lagi sementara  3 hari berikutnya adalah Hari Pencoblosan?

Padahal meskipun status Ahok sebagai Gubernur non aktif, belum tentu Ahok-Djarot kalah loh. Hasil Survei semua lembaga Survei terakhir memposisikan Ahok-Djarot yang tertinggi elektabilitasnya. Mbok sabar sedikit selama 3 hari.  Kenapa nggak nunggu Hari Pencoblosan selesai dulu barulah mempertimbangkan dengan baik-baik bila memang ingin mengaktifkan Ahok sebagai Gubernur.

Mendagri Tjahyo Kumolo pada awal Desember 2016 sempat menyatakan akan memberhentikan sementara Ahok pada saat cuti kampanyenya selesai. Begitu juga Plt Gubernur Sumarsono mengatakan hal yang sama. Pegawai kemendagri ini malah yang menjelaskan hal itu terkait UU No.23 tahun 2014.

Lah tapi secara mengejutkan  seminggu yang lalu baik Mendagri dan Sumarsono tiba-tiba menyatakan Ahok akan diaktifkan kembali karena Tuntutan Jaksa kasus Penistaan Agama belum ada.

Ini membingungkan dan sekaligus langsung menjadi kontroversi. Para pakar hukum tata negara yang ada, para Profesor Hukum  langsung bersuara semua dan memberi peringatan agar Mendagri membatalkan rencananya karena jelas melanggar UU yang ada. Tapi Mendagri pura-pura tak mendengar.  Ahok langsung  sertijab dengan Sumarsono. Dan inilah pangkal keributan terjadi.

Mendagri ngotot dan memakai alasan bahwa belum jelas Pasal 156A atau 156 yang akan dipakai Jaksa Penuntut.  Ini alasan yang tidak berdasar secara hukum. Karena UU No.23 Pasal 83 mengatakan terkait Status TERDAKWA. Dan bukan sama sekali terkait TUNTUTAN JAKSA.

Dari situlah masyarakat langsung menilai, ooh ini sih manuver pemaksaan untuk kepentingan PDIP terkait Pilgub DKI 2017. Dan ini bukan yang pertama kali terjadi dimana PDIP  memaksakan keinginannya.

Dulu juga waktu Budi Gunawan diinginkan  PDIP untuk menjadi Kapolri telah membuat geger seluruh negeri. Berikutnya PDIP ingin memperpendek umur Lembaga KPK juga membuat geger masyarakat. Dan sekarang ini PDIP melalui mendagri  menabrak keras UU No.23 tahun 2014 demi kepentingan kemenangan di Pilgub DKI 2017.

Setelah terjadi kegegeran besar hingga kemarin, hari ini katanya Mendagri akan berkonsultasi dengan MA (meminta Fatwa MA) untuk status Ahok.  Ini kurang tepat sebenarnya. Kalau mau konsultasi dengan MA seharusnya jauh hari dong.  Sebelum memutuskan akan mengaktifkan harus konsultasi dulu.  Lagipula Fatwa MA itu sebenarnya tidak mengikat karena bukan produk hukum.

Katakan MA mengizinkan Ahok diaktifkan lagi, tetap saja akan ada gugatan untuk Mendagri kalau Ahok diaktifkan lagi. Sekali lagi Fakta MA bukanlah bukan produk hukum dan tidak bisa sama sekali dibandingkan dengan UU No.23 tahun 2014 yang sudah ada.

Langkah Mendagri dan Sumarsono yang berubah-ubah menggunakan Pasal 83 UU No.23 menyiratkan ketidak-profesionalan Kementerian Dalam Negeri. Sejak awal bilang akan menonaktifkan Ahok tapi belakangan meralat pernyataannya dan langsung menafsirkan UU secara dangkal.

Ketidak-becusan Kementerian Dalam Negeri juga sangat nyata terjadi ketika ditemukannya 36 E-KTP Palsu bersama 32 Kartu NPWP, 1 Buku BCA berikut 1 ATM.  Kemendagri melalui Dirjen Kecapil malah membelokkan masalahnya dengan mengatakan diimpornya 36 E-KTP palsu dari Kamboja itu hanya untuk mengelabui penegak hukum dan  hanya  untuk meniupkan isu-isu panas di Pilkada.

Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil malah berandai-andai  36 E-KTP itu dikirim dari Tiongkok maka akan heboh lagi.  Bukan main.

Substansi  36 E-KTP Palsu tapi asli (Chipsnya terbaca legal) itu adalah kebocoran nyata di kemendagri. Ada data Chip milik Kemendagri yang mampu dicuri pihak lain. Mau orangnnya ada di Indonesia apa di luar negeri tetap saja Kemendagri kecolongan.  Itulah yang harus diakui dan harus dibenahi.

Beri kesempatan pada Polri untuk mengusutnya dan biarkan mereka yang menganalisa kepentingan pembuatan E-KTP palsu itu. Tidak perlulah dari Kemendagri  yang mengatakan itu sebagai isu pengalihan dan lain-lainnya.

Kembali lagi pada Ahok Gate (Skandal Ahok),  urusan ini memang urusan Kementerian Dalam Negeri tetapi semua orang pasti menduga Mendagri dikendalikan oleh PDIP dan ini pasti urusannya berkaitan dengan Pilgub DKI 2017.

Dan bila itu benar maka Ahok Gate ini merupakan Blunder PDIP yang sangat parah yang dilakukan awal tahun 2017 ini menyusul blunder-blunder sebelumnya.

Pilgub DKI 2017 ini memang sudah membuat PDIP benar-benar babak belur sebelum bertanding.  Kalau Ahok-Djarot menang ya masih mendingan meskipun orang menilai Kemenangannya tidak elegan. Apalagi kalau Kalah. Terlalu banyak harga yang harus dibayar PDIP.

Begicuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun