Mohon tunggu...
Ki Suki
Ki Suki Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Seorang yang suka menulis dan menggambar.

Hidup ini selalu indah saat kita bisa melihatnya dari sudut yang tepat, sayangnya seperti melihat sebuah kubus kita hanya mampu melihat paling banyak tiga sisi dari enam sisi yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Fantasy] Manusia Kabut

17 September 2014   03:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut selalu menghasilkan misteri. Itu yang ada dalam pikiranku saat aku melihat kabut. Aku merasa ada sesuatu yang bersembunyi di balik kabut.

Jam menunjukkan angka 5 tepat. Aku melintasi jembatan untuk masuk ke desa Wringinkulon yang terletak di ketinggian pegunungan Ijen, tempat aku menghabiskan masa kecilku yang sudah delapan tahun aku tinggalkan. Rasa rindu pada bapak, ibu, kakek dan adik-adikku membuat aku ingin secepatnya sampai di desa ini tanpa memperhatikan apakah aku harus melakukan perjalanan malam yang tidak pernah aku lakukan, agar paginya bisa sampai di rumah keluarga besarku.

Dari atas jembatan ini, aku melihat kabut turun menutupi pemandangan air terjun yang ada di desa ini. Dari tempat ini aku sering memandang ke arah air terjun untuk menghabiskan waktuku dengan menulis atau sekedar melamun. Namun kali ini aku merasa ada yang berbeda. Biasanya kabut turun pada sore hari. Ini pagi-pagi, kabut sudah turun.

"Permisi mas."

Seorang gadis tiba-tiba mengagetkanku. Aku menoleh.

"Asti!" Teriakku melihat siapa yang menyapaku. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan salah seorang teman lamaku sedini ini. Dia membawa bakul seperti orang hendak ke sawah.

"Mas Roni, kapan datang mas? Bagaimana kabar Jakarta mas? Asti pengin dengar cerita-cerita mas Roni seperti dulu. Nanti siang kita bisa bertemu lagi kan? Asti masih harus kerja."

Ya. Asti nampaknya buru-buru. Aku mengangguk. Asti pergi sambil tersenyum sekilas padaku. Aku juga lihat beberapa orang membawa bakul dan peralatan sawah melintasi jembatan. Sayang aku tidak mengenal mereka semua. Bagaimanapun waktu delapan tahun bukan waktu yang pendek.

Aku terus melangkah.

-----

Kedatanganku disambut oleh semua anggota keluarga dengan gembira. Mungkin mereka menganggap anak yang hilang kembali lagi. Maklum, selama delapan tahun ini aku tidak pernah pulang. Bapak dan ibu memelukku erat, melepaskan rindu. Akupun demikian. Adik-adik membantuku mengangkat koper dan tasku. Mereka juga sudah mempersiapkan kamarku.

"Roni, kamu mandi dulu gih, biar segar. Kakekmu ada di belakang sama ayam-ayamnya, sekalian panggilkan untuk segera sarapan. Kita sarapan bareng. Ini ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu."

Wah, ternyata kakek belum berubah. Masih asyik dengan ayam-ayamnya. Aku temui kakek sebelum masuk kamar mandi yang terletak di halaman belakang. Begitu melihatku, kakek berdiri. Tidak lupa aku sungkem.

"Roni! Kamu datang nak. Kamu sudah menjadi pria yang matang."

Waduh! Apa arti kalimat kakek ini? Apa mungkin ini ada hubungannya dengan statusku yang sampai saat ini masih lajang? Lebih baik aku mandi sambil sebelum mengingatkan kakek untuk segera sarapan.

-----

"Tadi aku ketemu Asti waktu aku melintasi jembatan masuk dusun. Sayang belum bisa ngobrol karena Asti sedang buru-buru kerja." Kataku membuka pembicaraan ketika kami sekeluarga duduk bersama.

"Asti?"

Semua anggota keluargaku seolah-olah terkejut dengan nama itu. Hanya kakek yang tidak menunjukkan rasa kagetnya. Mereka saling berpandangan tanpa aku tahu apa artinya.

"Kamu apa lihat orang lain selain Asti?" Kakekku bertanya seolah-olah dia tahu sesuatu.

"Benar kakek. Ada beberapa orang yang juga buru-buru hendak ke sawah."

Kakekku memandangku dengan lekat. Pandangannya seolah-olah hendak mengorek semua yang ada dalam pikiranku. Kali ini aku yang bertanya-tanya, mengapa kakek seperti itu. Apakah ada sesuatu?

"Roni, apa kamu masih ingat, warna apa pakaian mereka semua?"

Ah! Aku tadi sempat berpikir, pakaian mereka seolah-olah seragam dengan warna hitam dan coklat. Tapi pertemuan dengan Asti membuatku melupakannya.

"Hitam dan ada coklatnya. Ada apa kakek?"

"Kamu juga melihat kabut?"

"Iya Kek. Aku juga merasa heran, tidak biasanya kabut turun pagi hari di desa ini. Mungkin akibat perubahan iklim ya kek. Ada apa ya Kek?"

Semua anggota keluarga kembali berpandangan. Mereka juga seolah-olah menunggu apa yang akan dikatakan kakek.

"Kamu melihat manusia kabut nak. Itu berarti kamu akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Semua tergantung padamu, apakah itu sesuatu yang baik atau tidak."

Manusia kabut? Aku tidak mengerti apa maksud kakek. Dari kecil aku belum pernah mendengar tentang manusia kabut, mengapa baru kali ini ada istilah ini.

"Apa yang harus aku lakukan Kek?"

"Percayalah pada nasib."

Akhirnya aku tahu dari cerita adik-adikku dan para tetangga, bahwa Asti dan keluarganya meninggal saat terjadi musibah beberapa tahun yang lalu. Mereka percaya bahwa apa yang aku lihat adalah manusia kabut. Manusia yang muncul saat kabut datang. Mereka bisa menjadi seseorang yang ada dalam pikiran bawah sadar orang yang melihatnya. Namun mereka hanya lewat dan buru-buru. Kalau ada dari mereka mengajak dan kita ikut, bisa jadi kita akan meninggal dalam waktu dekat. Tetapi kalau mereka menjanjikan sesuatu itu berarti kita akan mendapatkan sesuatu. Itu yang aku dengar dari para tetangga.

Aku menjadi penasaran. Aku ajak adikku Rangga untuk melihat kuburan keluarga Asti. Untungnya Rangga bersedia. Aku melihat sendiri nama Asti tertulis di batu nisan. Jadi, apa benar yang aku temui bukan Asti sebenarnya? Apa benar dia adalah manusia kabut? Aku tidak bisa menjawabnya.

------

"Selamat pagi."

Ada tamu. Kebetulan kakek, bapak dan ibu ada di belakang. Adik-adikku sedang bermain di rumah temannya yang tidak jauh dari rumah kami.

"Selamat pagi." Jawabku.

Aku terkejut. Ternyata Paklek Tarman dan keluarga yang datang.

"Monggo masuk Paklek." Kataku sambil mempersilahkan mereka masuk dan duduk.

"Ini Roni ya?"

"Iya Paklek."

"Kapan kamu datang?"

"Tiga hari yang lalu Paklek. Kebetulan ada libur sepuluh hari."

"Kamu masih ingat sama Nia kan?"

"Iya Paklek." Aku sambil mencari siapa yang bernama Nia dari dua perempuan muda, selain Bulek yang masih aku ingat senyumnya.

"Loh, Dik Tarman, sudah lama?" Tiba-tiba bapak dan ibu datang.

"Saya ke belakang dulu."

"Eits! Tunggu dulu Roni. Ini Nia mau ngajak ngobrol sama kamu. Kebetulan dia juga tinggal di Jakarta." Kata Paklek Tarman.

"Iya Ron. Kamu ajaklah Nia ngobrol di teras." Timpal bapak.

"Gak apa-apa kan mas Roni, kalau Nia pengin ngobrol sama mas Roni?"

Kalimat Nia ini membuat aku menjadi tahu siapa yang bernama Nia. Berarti yang satunya Mira, adik Nia. Kami pernah bermain bersama waktu kecil, sayang waktu membuat aku menjadi tidak ingat benar.  Tentu aku tidak keberatan ngobrol dengan seorang gadis yang cantik, yang entah mengapa aku merasa berbeda.

------

Kedatangan Paklek Tarman ternyata bukan kedatangan biasa. Mereka sedang berusaha untuk mendekatkan aku dan Nia. Bapak dan Paklek Tarman sepakat untuk menjodohkan kami. Aku merasa ini sebuah hadiah luar biasa yang tidak pernah aku bayangkan. Aku jadi ingat apa kata kakek bahwa bertemu manusia kabut itu berarti akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa.

Aku lebih percaya bahwa ini adalah takdir yang ditentukan oleh Allah. Namun setidak-tidaknya saat melihat kabut aku akan kembali ingat pada manusia kabut dan pesan yang ada di dalamnya. Kabut memang selalu menyimpan misteri.

--------
Karya: Ki Suki

Daftar Karya Peserta Fiksi Fantasi
Bergabunglah di Grup FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun