Hari pertama Anin memasuki kelas tiga di Madrasah Ibtidaiyah Negeri di Desa Durian Depun, suasana desa terasa begitu damai. Desa kecil ini, terletak di pinggiran kota, memiliki kesederhanaan yang menenangkan. Rumah-rumah penduduk berjejer di sepanjang jalan yang sudah diaspal, dengan kebun dan sawah melingkupinya. Anin tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana di ujung desa, di mana lingkungan sekitar masih asri dengan pepohonan.
Anin selalu menikmati perjalanan pagi ke sekolah, melalui jalanan yang sudah diaspal dengan langkah-langkahnya yang ringan. Di desa ini, perubahan cuaca dapat terasa dengan jelas, tapi Anin tidak pernah kekurangan semangat untuk belajar. Meskipun begitu, keadaan ekonomi keluarganya tidak memungkinkan untuk membeli barang-barang baru. Anin jarang sekali mendapatkan perlengkapan sekolah baru. Tas dan sepatunya sering kali diberikan oleh tetangga sebagai sumbangan, membuatnya terlihat berbeda dengan teman-teman sekelasnya yang hidup berkecukupan. Meskipun begitu, Anin tetap memiliki semangat belajar yang tinggi dan tekad untuk meraih impian-impian kecilnya. Anin adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya, Awan, tinggal bersama nenek mereka di desa sebelah dan menjadi cucu kesayangan nenek. Awan jarang sekali pulang ke rumah, dan ketika pulang, ia selalu sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
"Kehangatan sebuah rumah tidak ditentukan oleh dindingnya, tapi oleh hati yang ada di dalamnya."
Suatu malam, suasana di rumah kontrakan Anin berubah drastis. Teriakan dan benturan benda-benda keras dari tengah rumah kontrakan itu mengganggu kedamaian rumah. Anin, dengan hati yang berdebar-debar, berlari ke sudut ruangan dan memeluk lututnya dengan erat, mencoba melindungi diri dari kekacauan yang terjadi disana. Namun, suara-suara itu tetap menusuk hatinya, membangkitkan rasa takut yang sulit untuk diatasi.
Anin tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia membuka matanya perlahan-lahan dan melongok ke sumber suara itu. Ia melihat ibunya, dengan wajah pucat dan mata yang berkaca-kaca, berdiri di hadapan ayahnya yang marah. Ayahnya, dengan wajah yang merah padam dan penuh kemarahan, melemparkan piring ke arah ibunya, membuat pecahan kaca berserakan di lantai. Anin merinding melihat kekerasan yang terjadi di depan matanya. Ia merasa terhimpit di antara perasaan takut dan kebingungan yang mendalam.
"Kadang-kadang, cinta dan rasa sakit datang dari sumber yang sama, membuat kita sulit membedakan antara keduanya."
Namun rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Anin melihat ibunya menangis di tengah ruangan, sementara ayahnya berdiri dengan wajah merah padam dan tangan terkepal. "Kamu selalu mengeluh! Aku bekerja keras setiap hari dan ini yang aku dapatkan?" Suara Ayahnya semakin keras dan kasar. Malam itu, Anin menyaksikan sesuatu yang akan menghantui mimpinya selama bertahun-tahun.
"Ketakutan terbesar seorang anak adalah melihat orang tuanya, pilar kehidupannya, runtuh di hadapan mata mereka."
Anin merasa air mata mengalir di pipinya. Hatinya terasa hancur melihat ibunya diperlakukan seperti itu. Di usia yang sangat muda, Anin sudah mengenal rasa sakit dan ketakutan yang seharusnya tidak perlu dirasakan oleh seorang anak kecil. Malam itu, ketika ayahnya akhirnya pergi keluar rumah dalam amarah, Anin berlari ke pelukan ibunya. "Bu, kenapa ayah seperti itu?" tanyanya sambil menangis. Bu Yunita, dengan wajah penuh luka dan air mata, hanya bisa mengelus kepala Rina. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu," katanya dengan suara lirih. Bu Yunita mencoba menenangkan Anin. "Ibu tahu, ini sulit. Tapi kamu harus kuat, demi ibu. Kita akan melewati semua ini bersama-sama," kata Bu Yunita sambil memeluk Anin erat-erat. Mereka berdua berpelukan, mencoba mengumpulkan kekuatan dari satu sama lain. Malam itu menjadi awal dari banyak malam yang penuh dengan ketakutan dan tangisan. Anin mulai memahami bahwa tidak semua rumah adalah tempat yang aman dan nyaman. Namun di balik semua itu, ada kasih sayang dan keteguhan hati seorang ibu yang selalu berusaha melindungi anak-anaknya dari badai yang terus mengamuk di dalam rumah mereka.
Pak Een, meskipun di depan keluarga terlihat sebagai sosok ayah yang keras dan berwibawa, memiliki sisi gelap yang tersembunyi. Ia adalah seorang peminum berat yang sering menghabiskan malam di warung-warung minuman, bergabung dengan teman-teman sebaya yang memiliki hobi yang sama. Namun, kebiasaan buruknya tidak berhenti di situ. Pak Een juga terkenal sebagai seorang pemain yang tidak setia, memiliki wanita simpanan saat ia pergi mendapatkan proyek di luar kota.
Suatu hari, ketika Anin sedang membersihkan ruang tamu, ia secara tidak sengaja melihat pesan masuk di telepon genggam jadul milik Pak Een. Pesan tersebut datang dari wanita simpanan Pak Een, berisi tentang kesan wanita tersebut setelah mereka berhubungan badan. Anin, meskipun masih muda, telah mengerti maksud dari kalimat-kalimat bernada merayu dan cabul tersebut. Saat itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu, bersama dengan Ibu Yunita yang tidak curiga. Namun, Anin memilih untuk merahasiakan penemuan mengerikan itu, memendamnya dalam hatinya tanpa menyampaikan kepada siapapun.
Isi pesan itu begitu menjijikkan bagi Anin. Kata-kata bernada cabul dan deskripsi yang menjijikkan tentang hubungan antara Pak Een dan wanita simpanannya membuatnya merasa kesal dan jijik. Rasanya seolah-olah ada sesuatu yang rusak dalam kedamaian keluarga mereka, dan Anin tidak tahu bagaimana cara menangani rahasia gelap yang ia temukan.
"Air mata adalah kata-kata hati yang tak terucapkan, membawa beban yang tak terlihat oleh dunia."
Di sekolah, Anin sering menjadi sasaran bully dari teman-temannya. Mereka mengejeknya karena penampilannya yang lusuh dan barang-barang bekas yang ia gunakan. Setiap kali Anin melangkah masuk ke dalam ruang kelas, pandangan sinis dan komentar-komentar yang menyakitkan selalu menyertainya. Anin mencoba untuk tetap tegar dan menahan diri, tapi terkadang beban yang ia pikul terasa begitu berat. Kepalanya sering kali dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya merasa rendah diri.
Hari-hari di sekolah tidak menjadi lebih mudah bagi Anin. Guru-guru melihat perubahan pada dirinya, bagaimana dia sering termenung dan tidak seceria anak-anak lain. Bu Guru Maya, guru kelas Anin, memanggilnya suatu hari setelah jam pelajaran berakhir.
"Anin, boleh bicara sebentar dengan Ibu?" tanya Bu Maya dengan lembut. Anin mengangguk pelan dan mengikuti gurunya ke meja depan.
"Anin, Ibu melihat kamu sering kelihatan sedih. Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan kepada Ibu?" Bu Maya bertanya dengan penuh perhatian.
Anin menggeleng pelan, tidak berani menceritakan apa yang terjadi di rumah. "Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya lelah," jawabnya singkat.
"Kadang-kadang, luka terdalam tidak terlihat dari luar, namun terasa sangat menyakitkan di dalam."
Bu Maya menyadari bahwa Anin tidak siap untuk berbicara. "Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, Ibu selalu ada untukmu, Anin," katanya dengan senyum penuh pengertian. Anin hanya bisa mengangguk, merasa sedikit lebih baik karena tahu ada orang yang peduli padanya di luar rumah.
Pada suatu hari, saat mata pelajaran olahraga berlangsung di lapangan sekolah, Anin mendapat kunjungan tak terduga. Seorang teman sekelasnya, Wilda, mendekatinya dengan ekspresi prihatin di wajahnya. Wilda berbisik dengan lembut kepada Anin, "Anin, aku harus memberitahumu sesuatu."
Anin menoleh dengan tatapan bingung. "Ada apa, Wil?" tanyanya, mencoba menutupi kebingungannya dengan senyuman tipis.
Wilda menatap Anin dengan penuh empati, "Beberapa teman sekelas sedang mengolok-olokmu, Anin. Mereka bilang kamu terlihat sangat menyedihkan dengan sepatumu yang robek."
Hati Anin hancur mendengar kata-kata itu, tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya di depan Wilda. Ia tersenyum dengan kepura-puraan, mencoba menyembunyikan betapa tersayatnya hatinya. "Ah, itu tidak masalah, Wil. Aku baik-baik saja," ucapnya dengan suara yang berusaha tetap stabil.
Namun, di dalam hatinya, Anin merasa hancur. Rasanya seperti segala sesuatu di sekitarnya runtuh. Tetapi ia bertekad untuk tidak membiarkan kelemahannya terlihat oleh orang lain. Ia tahu bahwa di saat seperti ini, ia harus tetap tegar dan mempertahankan senyumnya, meskipun hatinya hancur. Baginya, itu adalah bentuk perlawanan terhadap kekejaman yang dialaminya.
Anin melangkah pergi dengan langkah yang mantap, mencoba menutupi luka-lukanya dengan mantel ketegaran. Meskipun hatinya terluka, ia bertekad untuk tidak membiarkan cemooh orang lain mengalahkannya. Dengan setiap langkahnya, ia membangun kekuatan baru untuk tetap melangkah maju, meskipun dihantui oleh kekejaman yang tak terbayangkan.
Kesepian Tanpa Kakak
Awan, kakak Anin, adalah sosok yang periang dan memiliki banyak teman. Hari-harinya penuh dengan gelak tawa saat bertemu dengan teman-temannya. Berbeda dengan Anin yang pendiam dan tidak memiliki banyak orang di sekitarnya, Awan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang membuatnya tertawa. Namun, Awan jarang sekali berada di rumah. Ia lebih memilih tinggal di rumah nenek mereka yang hanya berjarak beberapa rumah saja dari kontrakan mereka.
Alasannya bukan hanya karena Awan menyukai suasana di rumah nenek, tapi juga karena ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah mereka. Awan pernah mengalami malam yang begitu kelam, di mana hanya karena ia terlambat pulang, ayah mereka, Pak Een, memukulinya dengan sepotong kayu hingga kayu itu patah. Pak Een melemparkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk meluapkan amarahnya. Awan yang ketakutan hanya bisa menahan sakit tanpa berani melawan.
Malam itu, Anin melihat sendiri bagaimana Awan dipukuli dengan brutal. Ia tidak berdaya dan hanya bisa menangis diam-diam di sudut ruangan. Awan, dengan tubuh penuh luka, akhirnya memutuskan untuk lebih sering tinggal di rumah nenek, mencari perlindungan dari kekerasan yang ada di rumah mereka. Anin mengerti mengapa Awan memilih pergi, meskipun itu berarti ia harus menghadapi semuanya sendirian. Anin menyaksikan setiap kejadian kekerasan yang terjadi di rumah mereka. Setiap teriakan, setiap benturan benda, dan setiap kali ayahnya melampiaskan amarahnya pada ibu atau dirinya sendiri, Anin merasakan luka yang semakin dalam di hatinya. Ia selalu merasa takut setiap kali malam tiba, karena ia tahu, kekerasan itu bisa datang kapan saja, tanpa peringatan. "Ketakutan adalah teman setia yang tak pernah meninggalkanku," pikir Anin, setiap kali suara benturan terdengar dari ruang tamu.
Pada suatu hari, Anin mencoba mendekati Awan yang sedang bersama teman-temannya di pinggir lapangan. Dengan hati-hati, ia berkata, "Kak Awan, aku ingin bicara."
Awan yang sedang sibuk dengan teman-temannya hanya menjawab singkat, "Nanti ya, Anin. Kakak lagi sibuk." Awan kemudian kembali tertawa dan bercanda dengan teman-temannya, meninggalkan Anin dengan perasaan terluka.
"Kesepian terbesar adalah merasa tak terlihat oleh orang-orang yang kita cintai."
Setiap malam, sebelum tidur, Anin selalu berdoa agar suatu hari nanti keluarganya bisa menemukan kedamaian. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan menuju kedamaian itu masih panjang dan penuh dengan tantangan. Anin hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ia akan cukup kuat untuk menghadapi semua ini dan menemukan kebahagiaan yang selama ini ia impikan. Di kamar kecil rumah kontrakan itu, Anin menulis dalam buku hariannya, mencoba menumpahkan semua perasaan yang tidak bisa ia ucapkan. Ia menulis tentang ketakutannya, tentang harapannya, dan tentang mimpinya untuk masa depan yang lebih baik. Menulis menjadi pelarian dan penyembuhan baginya.
"Dalam setiap kata yang ditulis, ada harapan yang terucap. Setiap lembar adalah langkah kecil menuju kebahagiaan."
Anin menutup buku hariannya dan memandang ke luar. Di luar, bintang-bintang berkelip di langit malam, seolah memberikan harapan kecil di tengah kegelapan hidupnya. Ia bertekad untuk terus berjuang, demi dirinya sendiri dan demi ibunya yang selalu berusaha melindunginya. Malam itu, Anin berbaring di tempat tidur dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa masih ada harapan, meskipun kecil, dan itu cukup untuk membuatnya bertahan menghadapi hari-hari yang sulit. Dengan semangat baru, Anin berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang dan tidak pernah menyerah.
"Harapan adalah lentera kecil yang menyala di tengah kegelapan, memberi kita alasan untuk terus berjalan."
Anin menutup matanya, berharap mimpi-mimpi indah akan mengisi tidurnya dan memberikan kekuatan baru untuk menghadapi hari esok. Dengan doa dan harapan di hatinya, ia percaya bahwa suatu hari nanti, kebahagiaan akan datang.
~ To be continue ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H