Tanpa basa-basi aku berlari meninggalkan ruangan itu. Perasan lega seperti bongkahan batu yang pecah menjadi puing-puing.
Sampai di rumah pukul 15.00 WIB, aku mulai letih dan tertidur sampai sore. Tiba-tiba, suara handphone berbunyi.
“Oh... No! Tertulis panggilan dari Pak Dirga. Ya ampun, aku harus bagaimana?”
“Hallo, Pak Dirga. Tadi saya cuma bercanda, enggak punya maksud lebih.” (Sambil mengerutkan dahi dan menggaruk-garuk kepala)
“Saya anggap kamu serius dan ekspresi kamu tadi lucu banget.” (Sambil tertawa)
“Ya ampun, Pak saya jadi enggak enak hati.”
“Udah kalau di luar kampus jangan Panggil Bapak, panggil Mas, Kakak atau Dirga saja.”
“Iya Kak Dirga. Jadi jawabannya apa?” (Dalam hati, bener-bener wanita kepedean tingkat Dewa)
“Kakak juga udah lama memperhatikan kamu, semula sih mikirnya malas gitu punya pasangan anak didik sendiri. Lama-lama semakin memikirkan kamu. Sebulan lalu, sebenarnya pengen nanyain kamu. Karena sibuk, jadi abis UAS aja pengen ngajak kamu jalan.”
“Apaaaaaa............... Kakak enggak bercanda kan ya. Enggak sedang menghibur kan ya.” (Sambil lompat-lompat di tempat tidur)
“Ya udah, besok habis UAS. Kakak ajak kamu ngobrol di kantin ya. Sekarang belajar dulu biar ujiannya besok bisa. Bye...”