"Penting disebarkan. Professor Anu dari Universitas Itu menemukan spesies serangga pemakan darah yang hidup di pasir. Hati-hati yang punya anak kecil, jangan biarkan main pasir sembarangan."
"Gawat! Garam merek Beling ternyata mengandung kaca yang merusak sistem pencernaan dan pernapasan."
Menurut hasil riset Women Right's Online Chapter Indonesia pada akhir tahun 2016, perempuan Indonesia cenderung kurang tertarik memberdayakan diri dengan teknologi internet. Meski secara statistik, menurut APJII, partisipasi perempuan Indonesia dalam menggunakan media sosial ternyata cukup tinggi, yakni 47,5%.
Giga informasi melaju setiap hari. Ada yang mampu disaring, ada yang lolos tanpa bisa dicegah. Grup Whatsapp, Facebook, dan Instagram contohnya. Setiap orang merasa bisa menjadi informan. Merasa khawatir terhadap isu yang terjadi dan ingin berkontribusi menyebarkan pada orang lain. Demi kewaspadaan dan antisipasi, katanya. Sayang, sering tidak hati-hati.
Tangan-tangan yang mengkopi dan menyebar informasi sering tidak merasa harus melakukan usaha koscek. Menyaring mana yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Padahal, segala informasi yang kita terima di jagad maya, tidak semua berupa kebenaran. Namun, ternyata masih banyak orang yang merasa internet adalah sumber pengetahuan yang sahih dan tak terbantahkan.
Baiklah, lupakan tentang isu politik dan agama. Mungkin ini akan gaduh di media sosial, tapi tidak terlalu ramai di obrolan keluarga. Ada hal yang lebih berbahaya. Isu-isu kesehatan dan ilmu parenting, misalnya. Betapa dekat dengan keluarga.
Ibu, Sang Jantung Keluarga, adalah salah satu benteng yang relatif mudah ditembus isu kesehatan dan parenting. Kadang kala, Professor Anu dari Universitas Itu sungguh dipercaya sabdanya. Bahwa diet harus begini dan penyakit Z bisa sembuh dengan air D tanpa harus ke dokter. Ilmu berkembang setiap saat. Tapi, sesuatu yang belum evidence-based, testimoni-testimoni palsu, apalagi ngawur tanpa sumber adalah sangat berbahaya.
Bijak Menyaring dan Mengolah Informasi
Salah satu hal dasar dalam interaksi digital adalah kesadaran menyaring dan mengolah informasi. Tidak semua yang tersaji di internet adalah kebenaran. Profesor A, Kombes Pol B, Ustad C, seringkali digunakan namanya untuk legitimasi informasi. Padahal, jika mau kroscek, banyak yang menggunakan nama-nama orang besar atau populer, bahkan nama yang anonymous sekalipun untuk menjadi pembenaran sebuah isu yang sejatinya bohong belaka.
Ibu, sebagai salah satu informan penting dalam keluarga, perlu untuk menyaring dan mengolah informasi yang tersaji agar tidak terjebak hoax. Teliti sumbernya, tinjau ulang, dan cari bahan perbandingan. Meski ada banyak sumber yang bisa dibaca di rimba internet, namun, perlu kehati-hatian pula untuk mengambil media yang kredibel. Karena, di era ini, setiap orang bisa membuat media 'seolah-olah' berita, padahal isinya hoax belaka.
Jika memang menemukan info yang salah, cukup berhenti tidak perlu direproduksi.
Bijak Bersuara
"Maaf, sekadar share."
Sering kali ucapan itu meluncur klise ketika seseorang menyebarkan berita sumir  yang belum pasti, yang entah benar atau salah, yang menimbulkan kecemasan, dan sejenisnya. Ucapan yang seolah lepas tangan dari tanggung jawab. Tidak peduli yang disuarakan benar atau salah, yang penting dibagikan ke khalayak.
Bersuara tidak harus menjadi yang paling pertama tahu, tidak harus menjadi yang paling update. Tetapi, pastikan yang disuarakan adalah hal yang bisa dipertanggungjawabkan.
Selain itu, media sosial adalah representasi diri. Menghujat, memaki, mengkritisi, mengapresiasi, atau sekadar curhat pribadi, adalah hak masing-masing individu. Hanya saja, ada hal yang perlu diingat; etika.
Seringkali etika ini bersifat lentur. Bersama kawan akrab, tentu berbeda perlakuan dengan kerabat jauh, misalnya. Tetapi, konten tulisan, bisa memiliki interpretasi berbeda di kepala orang lain. Oleh karenanya, ada fitur pengaturan privasi, jika diperlukan. Misal, pada interaksi di Facebook yang di-setting public, kita seperti berbicara dengan toa, membiarkan semua orang mendengarnya. Kita tidak sedang berbisik-bisik di kamar, tidak sedang mengobrol santai di ruang tamu. Pada ruang yang begitu terbuka, kebijaksanaan kitalah yang akan menentukan suara apa yang akan kita lantangkan.
Bijak Menghadapi Cyber War
Isu Sectio versus Pervaginam, ASI versus Sufor, Working Mom versus Ibu Rumah Tangga, dan masih banyak lagi, berisi hujatan sesama Ibu. Â Duh, Bu, tidak selalu kita memakai sepatu yang sama, kan?
Belum lagi, setiap bergulir tren baru tentang persalinan dan pengasuhan anak, banyak Ibu buru-buru meniru tanpa riset yang cukup. Asal ikut tren terbaru, asal seperti influencer-influencer yang bertebaran di media sosial. Padahal, tren tidak selalu aman. Dan hits tidak selalu cocok.
Begitu banyak perdebatan yang tersaji di media sosial. Sering kali, tanpa sadar, kaum perempuan menjadi tidak empatif terhadap sesamanya. Menghadapi yang berbeda, jadi baper (bawa perasaan) dan tak segan menyerang. Toleransi menipis padahal yang diperdebatkan seringkali tidak substantif.
Berkeluarga adalah sebuah proses. Tidak selalu langsung menemukan formula yang cocok, sering kali harus menjumpai fase trial and error. Bagaimana mengatur pola makan, pola asuh, pendidikan, tidak selalu baku. Setiap keluarga memiliki keunikan. Rumput yang hijau masih memiliki banyak gradasi warna.
Pada akhirnya, seorang ibu harus menjadi pendekar berperisai rasa percaya diri. Bahwa segala informasi tidak selalu berisi kebenaran. Butuh ilmu dan kebijaksanaan untuk mengolah, apalagi menerapkan. Pun, Ibu tidak selalu benar, tapi Ibu harus percaya diri dengan sepatu yang dipakai.
Arus infomasi yang deras dan persuasi untuk mengikuti tren membutuhkan ketahanan dan kepercayaan diri. Perempuan, terutama Ibu, harus tahu kapan harus berhenti, kapan harus mengikuti. Menjadi berbeda tidak apa-apa, asal dasar yang dipakai memang sudah dipercaya ilmunya. Sekali lagi, pola setiap keluarga tidak sama. Jadi, tidak trendy karena merasa tidak cocok dengan metode yang sedang ngehits, ya santai saja.
Media sosial adalah bagian dari representasi diri. Menjadi siapapun, menjadi apapun, tanggung jawab akan melekat. Cukuplah informasi sumir berhenti tidak direproduksi dan luaskan tangan untuk merengkuh toleransi.
https://www.facebook.com/permalink.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H