Kita bertemu lagi. Sudah empat tahun sejak pertemuan kita yang terakhir. Kita bertemu di tempat yang sama, tempat dahulu kita memiliki ritual sakral setiap minggu. Dua orang yang bukan siapa-siapa, berdua, menikmati secangkir kopi panas, dan mendengarkan ceritamu. Kau masi mempesona seperti dulu. Empat tahun berpisah, kau tampak semakin matang sekarang.
Pesananmu masih sama, secangkir caramel latte, dua sendok gula, tidak pernah berubah. Aku sudah siap dengan ritual yang dulu selalu kulakukan, tiap pergi ke manapun denganmu. Aku akan mempersilakanmu memilih tempat duduk terlebih dahulu, karena tempat ini atau di manapun adalah etalase bagimu. Maka tempat duduk menjadi penting buatmu. Letaknya harus strategis, agar kau bisa dengan leluasa menikmati makhluk-makhluk indah yang datang silih berganti. Makhluk indah yang sama-sama kita nikmati. Ya, kita memiliki definisi yang sama tentang makhluk indah. Padahal kita berdua berbeda.
Malam ini ternyata berbeda dari biasanya. Pesananmu masih sama. Namun kali ini kau mempersilakanku duduk terlebih dahulu. Padahal aku sudah siap mencarikan bangku strategis buatmu. Secangkir caramel latte favoritmu, dan vanilla latte kesukaanku sudah tersaji di meja. Kau hanya mengaduk-aduk latte-mu, tidak lagi menikmati etalase di hadapanmu. Padahal ini malam minggu, dan tempat ini lebih ramai dari hari-hari biasanya. Seharusnya kau bisa puas menikmati pemandangan di hadapan kita, seperti yang dulu selalu kita lakukan.
Sepuluh menit. Dead air. Kau masih diam saja. Aku bingung memulai pembicaraan. Dari dulu pun memang tidak pernah aku yang memulai pembicaraan. Aku selalu menunggu sampai kau membuka suara.
“Jadi.. Apa yang terjadi empat tahun ini? How’s life?” Tanyaku akhirnya.
“Aku baik. Kau? Kerjaan lancar? Kudengar kau akhirnya bisa kerja di perusahaan idamanmu dulu.” Dia tersenyum, menatapku. Sepertinya kita siap memulai reuni ini.
“Alhamdulillah. Setelah mencoba bekerja di sana-sini, akhirnya aku dilirik juga oleh perusahaan itu. Hei, kau belum menjawabku!”
“Empat tahun berlalu sangat cepat ya. Apa kau masih ingat pertemuan kita yang terakhir? Pertemuan terakhir kita gak baik, bukan?” Ucapnya sambil menyesap pelan caramel latte yang kuyakin sudah mulai dingin.
“Ternyata kau masih ingat? Apa karena itu sekarang kau mengajakku bertemu? Apa kali ini kau juga datang dengan pembelaan diri yang sama?” Kuatur nada suaraku serendah mungkin.
“Oh, ternyata masih marah? Aku kira kau sudah lupa. Sepertinya aku salah ngajak ketemuan sekarang..” Dia tersenyum, mencubit hidungku.
Sial.. Senyumnya makin manis. Aku urungkan niat untuk marah. Biarlah reuni kali ini berjalan baik, lancar, dan semoga tak berakhir dengan putus silaturahim, seperti empat tahun lalu.
“Kita sudah sepakat untuk tidak sepakat tentang yang satu itu. Aku tak tau apa sekarang kau sudah memilih biru atau pelangi, atau masih memilih abu-abu. Aku tak tau, apa kau masih mencari jalan pulang. Sudah bukan urusanku. Dari dulu pun seharusnya tak pernah jadi urusanku,” aku membalas senyumannya. Harusnya dia paham, senyumku palsu.
***
Empat setengah tahun lalu..
Di tempat ini, dengan pesanan yang sama. Kau sangat menikmati pemandangan di sekitarmu, sementara aku hanya menikmatimu, yang menurutku lebih indah dari sosok manapun di ruangan itu. Kita sudah sering terlibat pembicaraan serius tentangmu. Tentang dunia yang kini kau pilih, dan tentang keinginanmu untuk berubah. Dua hal kontras. Dan setelah berkali-kali buntu, malam itu aku akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Jadi, apa kau sudah memilih?”
“Memilih apa? Aku menikmati hidupku sekarang. Aku merasa, ini dunia yang harusnya sudah aku masuki dari dulu.”
“Maksudmu, menikmati nafsu dan setelah itu nangis-nangis di hadapanku, saat dia dan yang lain meninggalkanmu, lalu kau segera ingin pulang? Tapi tiap bertemu dengan pria lain lagi, semua terulang lagi. Terus-menerus. Yang mana yang kau nikmati?”
Aku sudah tak bisa berbasa-basi. Aku bosan dengan segala kelakuanmu. Mencintai, tahu kalo cintamu terlarang, menikmati nafsu, dan setelahnya akan menyesal ingin kembali pulang, tapi tak pernah kaulakukan. Semua cuma wacana. Kau tetap dengan pola yang sama, dan aku mulai muak.
” Mungkin ini memang takdirku,” jawabmu kala itu.
” Tapi kau punya kuasa mengubah takdir. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga dia mengubah nasibnya sendiri,” aku mulai berargumen.
Mendadak kulihat kau terdiam. Memainkan sendok di cangkirmu.
“Kenapa terdiam?” Tanyaku.
“Kau benar. Tapi aku masih menikmati saat ini. Menikmati makhluk-makhluk indah ini. Sekarang, ini duniaku.”
” Baiklah aku menyerah..” Pelan aku berucap. Aku sudah tahu, pada akhirnya aku harus menyerah dan harus mengerti. Aku menarik nafas, panjang. Mulai menduga malam ini akan berakhir sama.
“Silakan nikmati saat ini. Tapi kau harus tetap ingat. Akan ada saat di mana kau harus pulang dan memilih harus tinggal di mana. Sejak hari ini, aku akan coba mengerti pilihanmu,” kalimat terakhirku, jadi penutup percakapan malam itu.
“Iya, aku tau..”
Kami berdua kemudian diam..
Setelah percakapan itu, aku harus kembali melihatnya dengan pola yang sama. Menjalin cinta terlarang, dan setiap dia patah hati, dia akan datang dengan air mata padaku, meminta solusi dicarikan jalan pulang, tapi tak pernah dia lakukan. Terakhir, dia menyalahkanku yang katanya menjadi pemicu dia masuk ke dunianya sekarang.
Sungguh terlalu.
***
Empat tahun lalu..
Kali ini aku yang mengajaknya bertemu. Dan kali ini aku sampai pada titik muak dengan segala kelakuan, segala wacananya. Di tempat yang sama. Kali ini tak ada basa-basi.
“Dit, maaf.. Tapi aku sudah muak dengan segala kelakuan dan wacanamu yang ingin berubah. Semua saranku yang kau minta sia-sia. Aku rasa, sebaiknya aku pergi, kita tidak usah bertemu lagi. Cari saja orang lain yang mau mendengarkan masalah dan keluh-kesahmu. Aku muak. Aku yakin Tuhan lebih muak padamu,” aku bicara tegas. Tak peduli lagi dengan dia yang sialnya tampak santai saja.
“Baiklah, kalau memang kau maunya begitu. Aku tidak akan memaksa,” dia menjawab dengan nada datar.
“Oke. Aku pulang sekarang. Silakan nikmati hidupmu. Tak perlu pulang jika memang tak ingin pulang. Dan tak perlu memilih abu-abu jika kau memang menikmati indahnya pelangi, di duniamu sekarang.”
“Someday, aku tetap akan pulang kok.” Dia menunduk, berkata pelan.
“Ah semoga. Aku sih tak terlalu yakin. Yang jelas aku sudah muak dengan semuanya tentangmu. Maaf..”
” Gak apa-apa. Semoga saat kita ketemu lagi, aku sudah menemukan jalan pulang. Dan saat itu, kau orang pertama yang akan aku temui. Aku janji.”
“Kau laki-laki. Dan laki-laki itu dinilai dari kesanggupannya menepati janji,” aku ragu.
“I will.”
“I’ll wait..”
Setelah malam itu, aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
***
Secangkir vanilla latte-ku sudah habis. Kami masih lebih banyak diam. Aku memesan cangkir ke-2. Aku seperti berhadapan dengan orang asing.
“Kamu benar, Na.. Suatu saat aku harus pulang dan memilih tinggal di mana,” kali ini dia memulai percakapan. Sambil tersenyum.
“Lalu?”
“Empat tahun aku mencari jalan pulang. Ternyata susah. Aku sudah lupa dunia seperti apa yang dulu aku jalani, saat aku pertama lahir ke dunia.”
Aku hanya diam saja. Belum mengerti percakapan ini akan berakhir seperti apa. Aku cuma tidak mau berakhir dengan pertengkaran.
“Aku hampir saja mencari rumah di duniaku sekarang, sampai akhirnya aku sadar, bahwa aku bukan hanya hidup untuk diriku sendiri, aku bukan hidup hanya untuk masa ini, dan kurasa, ini bukan takdirku.”
Aku mulai menatapnya, ingin tahu apalagi yang ingin dia katakan.
“Akan ada masa di mana aku harus mempertanggungjawabkan hidupku pada orang tuaku. Lebih dari itu, pada Tuhanku. Dan saat itu aku sadar, aku tidak bisa hidup di duniaku sekarang untuk selamanya. Seenak-enaknya tinggal di penthouse hotel termewah sekalipun, tetap saja aku harus pulang ke rumah. Empat tahun aku mencari jalan pulang itu. Empat tahun aku jatuh bangun, Na.. Mungkin dulu kau benar. Yang kunikmati itu nafsu. Nafsu yang diberikan Tuhan sebagai cobaan untukku. Kalau aku bisa melewati cobaan ini, Tuhan pasti membalas kan? Itu yang aku camkan dalam perjalananku mencari jalan pulang.”
Aku masi mencerna setiap kata-katanya. Sambil sesekali menatapnya dan meneguk vanilla latte cangkir keduaku.
“Ternyata, aku masih butuh keluarga. Masih butuh Tuhan. Dan aku makin tersesat di duniaku yang itu. Aku lalu mulai melihat ke belakang, mencari-cari di jalan mana aku dulu tersesat. Aku mulai berdamai dengan masa laluku. Memaafkan ayahku atas kealpaannya di masa kecilku. Aku semakin sering menghadap Tuhan. Karena aku tau, cuma Dia yang bisa membantuku pulang.”
“Lalu, apa kau akhirnya menemukan jalan pulang? Apa kau sudah siap untuk pulang?”
Kali ini dia tersenyum. Mengambil sesuatu dari dalam tasnya, meletakkannya di meja, tepat di hadapanku.
“Bukalah,” ujarnya.
The Wedding, kalimat pertama yang kulihat. Aku tahu itu sebuah undangan. Undangan pernikahan tepatnya. Aku membuka undangan biru itu.
Aditya Herlambang dan Firania Rahman
“Aku mengenalnya 2 tahun lalu. Saat aku limbung mencari jalan pulang. Dia tau kondisiku, bahkan membantuku untuk keluar dari duniaku sekarang. Aku memutuskan untuk melamarnya. Mungkin jalan pulangku masih jauh. Tapi yang pasti, aku sudah punya rumah sekarang. Doakan aku. Aku sudah keluar dari dunia yang dulu kaubenci. Aku sudah menemukan jalan pulang dan sedang menuju rumahku, Na..”
Tak sadar, aku menangis. Aku langsung berdiri, memeluknya.
“Perjalananmu akan segera berakhir, Dit.. Welcome back home..”
“Tidak marah lagi sekarang? Aku menepati janjiku bukan?” Dia kembali tersenyum.
Menggodaku.
“Terima kasih karena telah menepati janji, Dit. Ini kabar terbaik untukku dalam empat tahun ini..” Aku masih menangis. Kali ini karena bahagia.
Anggi Zoraya, September 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H