“Dit, maaf.. Tapi aku sudah muak dengan segala kelakuan dan wacanamu yang ingin berubah. Semua saranku yang kau minta sia-sia. Aku rasa, sebaiknya aku pergi, kita tidak usah bertemu lagi. Cari saja orang lain yang mau mendengarkan masalah dan keluh-kesahmu. Aku muak. Aku yakin Tuhan lebih muak padamu,” aku bicara tegas. Tak peduli lagi dengan dia yang sialnya tampak santai saja.
“Baiklah, kalau memang kau maunya begitu. Aku tidak akan memaksa,” dia menjawab dengan nada datar.
“Oke. Aku pulang sekarang. Silakan nikmati hidupmu. Tak perlu pulang jika memang tak ingin pulang. Dan tak perlu memilih abu-abu jika kau memang menikmati indahnya pelangi, di duniamu sekarang.”
“Someday, aku tetap akan pulang kok.” Dia menunduk, berkata pelan.
“Ah semoga. Aku sih tak terlalu yakin. Yang jelas aku sudah muak dengan semuanya tentangmu. Maaf..”
” Gak apa-apa. Semoga saat kita ketemu lagi, aku sudah menemukan jalan pulang. Dan saat itu, kau orang pertama yang akan aku temui. Aku janji.”
“Kau laki-laki. Dan laki-laki itu dinilai dari kesanggupannya menepati janji,” aku ragu.
“I will.”
“I’ll wait..”
Setelah malam itu, aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
***