"Rejeki saya dan rejeki SPBU itu sudah diatur Tuhan," begitu orang Madura menjawab.
Kegigihan ala orang Madura ini adalah kegigihan yang patut dicontoh menghadapi dinamika ekonomi yang berubah-ubah seperti saat ini. Disrupsi yang setiap saat pula terjadi.
Sekitar lima tahu lalu, ketika toko retail modern menjamur dan membiak dengan cepat, banyak orang yang memperdebatkan.
Tak terkecuali pemerintah dan para legislator di gedung dewan.
Kekhawatirannya bahwa toko retail modern akan membunuh toko kelontong yang dimiliki warga lokal.
Sederet aturan pun dibikin. Tiap-tiap daerah seakan berlomba-lomba membuat peraturan daerah yang melindungi pedagang lokal.
Keberadaan toko retail modern diatur dengan super ketat. Ada yang tidak boleh di dalam gang, tidak boleh berdekatan dengan pasar tradisional, bahkan ada kabupaten/kota yang lebih kejam lagi. Dimana, toko retail modern tidak boleh sama sekali di daerah itu.
Berbilang tahun kemudian semuanya terjawab. Memang toko-toko kelontong yang penjualannya akhirnya seret, lalu perlahan mati.
Namun, celah itu yang akhirnya ditangkap toko kelontong Madura. Matinya toko kelontong itulah yang kemudian ditangkap sebagai ide bisnis baru.
Toko Kelontong Madura hadir dimana-mana. Bahkan, hadir lebih sporadis dibandingkan toko retail modern yang bermodal lebih kuat. Mereka justru berani masuk hingga ke dalam gang. Beda halnya dengan toko retail yang hanya ada di jalan besar.
Kegigihan dan ketelatenan orang Madura dalam berdagang mungkin sulit sekali dicari tandingannya.
Bila pelayan di toko retail modern harus berseragam dan patuh jam kerja yang diatur UU Ketenagakerjaan. Jangan heran bila sulit mencari toko yang buka saat dini hari. Maka Toko Kelontong Madura seolah menjadi penambal semua kebutuhan itu. Toko Kelontong Madura tak pernah tutup. Pelayannya tidak pulang dan tak harus berbayar setara UMK.