TERUS TERANG saya kerap melakukan ini, setiap berbelanja di Toko Kelontong Madura.
Mencandai para penjaga warungnya, sekadar untuk mengakrabkan diri. Sebab, kebetulan kerap berbelanja di warung yang sama. Setiap saat, setiap waktu. "Nggak pernah pulang? Cari duit terus," kata saya sekenanya.
Si penjaga warung paling hanya senyum-senyum. "Pejuang rupiah tak kenal lelah," jawabnya sambil tertawa.
Toko Kelontong Madura kini memang bertebaran. Dimana-mana pula. Seolah bisa dikatakan, tiap seratus meter ada toko kelontong yang berdiri. Tampilan tokonya semua seragam. Ada laci dicat hijau dibelakang etalase kaca. Laci itu lantas diisi mie instan aneka rasa, kopi, rokok, macam-macam.
Satu lagi yang khas. Di depannya, menjual BBM eceran dengan outlet Pertamini.
Yang menarik, semuanya laku. Semuanya punya pelanggan sendiri-sendiri.
Indikatornya dalam dua tahun belakangan ini tak ada toko kelontong itu yang gulung tikar. Yang terjadi justru jumlahnya bertambah banyak.
Cara belinya gampang. Tanpa antre.
Meskipun pakaian pelayan tokonya ala kadarnya. Kadang hanya daster untuk yang perempuan. Tak jarang pula, yang laki-laki bertelanjang dada dan bersarung.
Tanpa disadari, Toko Kelontong Madura ini adalah penantang retail-retail seperti Indomaret, Alfamart atau Alfamidi. Bahkan, letaknya pun berani bersebelahan.
Terkait ini saya jadi teringat guyonan Habib Ja'far bersama Sujiwo Tejo, dimana orang Madura berani buka kios BBM eceran didepan SPBU. Mungkin saja, orang Madura tadi kulakan BBM di SPBU yang berada di belakangnya. Bahkan, gara-gara berdagang itu dia bisa menguliahkan anaknya.
"Rejeki saya dan rejeki SPBU itu sudah diatur Tuhan," begitu orang Madura menjawab.
Kegigihan ala orang Madura ini adalah kegigihan yang patut dicontoh menghadapi dinamika ekonomi yang berubah-ubah seperti saat ini. Disrupsi yang setiap saat pula terjadi.
Sekitar lima tahu lalu, ketika toko retail modern menjamur dan membiak dengan cepat, banyak orang yang memperdebatkan.
Tak terkecuali pemerintah dan para legislator di gedung dewan.
Kekhawatirannya bahwa toko retail modern akan membunuh toko kelontong yang dimiliki warga lokal.
Sederet aturan pun dibikin. Tiap-tiap daerah seakan berlomba-lomba membuat peraturan daerah yang melindungi pedagang lokal.
Keberadaan toko retail modern diatur dengan super ketat. Ada yang tidak boleh di dalam gang, tidak boleh berdekatan dengan pasar tradisional, bahkan ada kabupaten/kota yang lebih kejam lagi. Dimana, toko retail modern tidak boleh sama sekali di daerah itu.
Berbilang tahun kemudian semuanya terjawab. Memang toko-toko kelontong yang penjualannya akhirnya seret, lalu perlahan mati.
Namun, celah itu yang akhirnya ditangkap toko kelontong Madura. Matinya toko kelontong itulah yang kemudian ditangkap sebagai ide bisnis baru.
Toko Kelontong Madura hadir dimana-mana. Bahkan, hadir lebih sporadis dibandingkan toko retail modern yang bermodal lebih kuat. Mereka justru berani masuk hingga ke dalam gang. Beda halnya dengan toko retail yang hanya ada di jalan besar.
Kegigihan dan ketelatenan orang Madura dalam berdagang mungkin sulit sekali dicari tandingannya.
Bila pelayan di toko retail modern harus berseragam dan patuh jam kerja yang diatur UU Ketenagakerjaan. Jangan heran bila sulit mencari toko yang buka saat dini hari. Maka Toko Kelontong Madura seolah menjadi penambal semua kebutuhan itu. Toko Kelontong Madura tak pernah tutup. Pelayannya tidak pulang dan tak harus berbayar setara UMK.
Kegigihan ala Madura ditunjukkan. Para pelayan nekat bermalam di toko dan setiap saat melayani pembeli.
Menuai Buah Kerja Keras
Liputan televisi swasta setahun lalu itu membuat mata saya terbelalak. Para pedagang toko kelontong tersebut seolah menikmati buah kerja kerasnya.
Para pedagang yang rata-rata berasal dari Sumenep itu mengalirkan pundi-pundi keuntungannya di kampung halaman.
Di kampung, mereka seperti membangun istana. Biaya renovasi rumah bahkan bisa menghabiskan Rp 2 hingga Rp 3 miliar. Rumah itu layaknya istana saja.
Bangunannya megah, perabotnya mewah. Belum lagi, di garasi terparkir mobil SUV keluaran terbaru.
Rumah-rumah tersebut dibangun oleh warga lokal yang merantau dan berbisnis  Toko Kelontong Madura. Tak ada menyangka, toko kelontong yang luasnya sepetak dan dilandasi kegigihan itu membuahkan hasil luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H