Mohon tunggu...
Sri Nararia Anggita Damayanti
Sri Nararia Anggita Damayanti Mohon Tunggu... -

One of SA Choir (Voix de la Nation) members; Sedang dalam proses bimbingan untuk menulis*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(I)Auto Biografi: Sri Nararia Anggita Damayanti

14 Agustus 2018   15:20 Diperbarui: 14 Agustus 2018   18:56 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

13 Oktober 2001, 17 tahun yang lalu seorang anak perempuan dilahirkan di Rumah Sakit Angkatan Darat Kesdam Udayana Denpasar, Bali. Dia terlahir dari pasangan suami dan istri yang telah menunggu delapan tahun lamanya---untuk kehadiran seorang anak---terhitung dari hari pernikahan mereka. 

Anak itu diberi nama Sri Nararia Anggita Damayanti---Anggita, panggilan akrabnya---yang artinya adalah wanita yang memenuhi kedudukan tertinggi, memberi kemakmuran, datang diiringi nyanyian suci dengan berapi-api, dan mampu menasehati diri sendiri. Apakah namanya terdengar aneh? Atau terlalu rumitkah? Memang benar, nama anak itu cukup sulit untuk diingat dan sedikit terdengar kejawen. Tetapi, pada kenyataannya nama anak tersebut berasal dari Bahasa Sansekerta.

Bagaimana karakter Anggita? Jika digali lebih dalam lagi, nama anak perempuan tersebut sudah mencerminkan sifat-sifat yang Ia miliki. Selain nama, sifat anak perempuan ini juga sudah bisa dilihat dari weton atau penanggalan hari lahir pada kalender Jawa (keluarganya adalah pemegang teguh adat dan istiadat leluhur). Pada penanggalan kalender Jawa, tanggal 13 Oktober 2001 jatuh tepat pada hari sabtu paing. Sabtu paing dalam penanggalan Jawa memiliki urip berjumlah 18 yang bertindak sebagai urip tertinggi. 

Oleh karena itu, dijelaskan bahwa seseorang yang terlahir pada urip tersebut memiliki karakter lakuning geni, aras kembang. Lakuning geni, aras kembang ini memiliki deskripsi sebagai seseorang yang ambisius, loyal, dermawan, bekerja keras dalam suatu pekerjaan, dapat memahami keadaan yang sedang terjadi, cepat dalam bertindak solutif, bijaksana, memegang teguh keyakinan yang ia miliki, dan pandai mengendalikan massa. Akan tetapi, sifatnya yang keras kepala, angkuh, dan pendendam membuat dia bisa memiliki banyak musuh.

Denpasar, November 2001, masalah mulai timbul dalam keluarga kecil itu. Mamanya sudah menghabiskan masa cuti pekerjaan karena kehamilan dan kelahiran anak perempuannya itu. Ia tidak dapat mengajukan cuti yang lebih panjang lagi. Ia harus segera kembali bekerja seperti semula. Papa---yang bekerja sebagai pemandu wisata untuk turis asing---yang mengetahui permasalahan ini berpikir untuk mulai menggantikan pekerjaan mama untuk merawat anak itu dan melakukan pekerjaan rumah ketika sang mama bekerja. 

Lalu bagaimana tentang pekerjaan sang papa? Tenang saja, papanya memiliki jadwal yang cukup mudah untuk diatur dan dapat bergantian dengan jam kerja sang mama (bekerja sebagai pemandu wisatawan asing membuat sang papa memiliki jam terbang yang bergantung pada ada dan ketiadaan tamu asing yang memesan jasanya melalui sebuah perusahaan travel).

Solusi tersebut cukup berjalan efektif selama 2 bulan lamanya. Tidak ada gangguan yang menghalangi kegiatan tukar-menukar jadwal dan waktu untuk merawat bayi yang tumbuh semakin besar itu. Tetapi, masalah yang sama muncul sampai pada suatu saat ketika masa liburan datang dan terjadi lonjakan wisatawan asing maupun domestik secara drastis. 

Sang papa diminta menjalankan tugasnya sebagai pemandu wisata untuk mengantarkan tamu asing ke luar kota dalam perjalanan liburan selama 4 hari atau lebih. Hal ini menyebabkan gangguan terhadap jadwal yang telah dibuat oleh mama dan papa anak tersebut. Sang papa lebih sering keluar kota beberapa bulan ini dan sang mama harus tetap bekerja setelah masa cuti kehamilannya. Lalu bagaimana dengan anak itu? Anak itu terpaksa harus dititipkan kepada tetangga mereka. Berbekal susu, popok bayi, bedak, dan makanan yang diberikan kepada tetangganya, sang mama meninggalkan anak itu untuk pergi bekerja. 

Masalah ini terus terjadi melihat keadaan papa dan mama yang sangat sibuk. Tidak ingin merepotkan karena anaknya terus-menerus dititipkan kepada tetangga, keputusan pun dibuat. Anak itu akan dirawat oleh neneknya yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebenarnya, mama adalah orang yang terlihat paling tersakiti dalam keputusan ini. 

Mengapa? Karena ia harus berpisah kembali untuk sementara waktu dengan anak perempuannya yang baru 3 bulan bersamanya setelah sebelumnya ia harus menunggu selama 8 tahun lamanya untuk melihatnya lahir ke dunia. Dengan berat hati mama dan papanya harus melakukan keputusan itu atas tuntutan pekerjaan yang terus bertambah.

Beberapa bulan telah berlalu, mama dan papanya sudah mulai terbiasa dengan keadaan mereka yang berada jauh dari putrinya dan melewatkan masa-masa melihat pertumbuhan sang anak pada usia dini. Hanya berlalu empat bulan lamanya, Anggita sudah tumbuh menjadi seorang anak yang lucu dan berbadan bulat. Anggi tumbuh begitu cepat. Bahkan ia sudah mampu menirukan beberapa kata yang diajarkan kepadanya, seperti mama, papa, uti, akung, ibu, dan ayah. Ia juga sudah bisa berdiri dengan tumpuan kakinya sendiri.

Tujuh bulan sudah usia Anggi sekarang dan pada usianya yang ke tujuh bulan ini, mama dan papa harus memenuhi janji yang mereka buat jauh sebelum kehamilan anak ini. Mereka akan bertemu dengan anak perempuannya di rumah sang nenek di Banyuwangi dan melaksanakan janji tersebut di rumah sang nenek. 

Apakah isi janji itu? Dan mengapa harus pada usia tujuh bulan sang bayi? Janji itu menyatakan jika mereka dikarunia seorang anak nanti, pada usia ke tujuh bulan sang anak, ketika mereka mengadakan acara syukuran ritual tedak siten atau turun tanah akan diadakan pagelaran wayang kulit sebagai puncak pemenuhan janji tersebut (pagelaran wayang kulit merupakan hal yang sangat luar biasa pada masa itu karena tidak sembarang orang bisa menghadirkannya). 

Lalu mengapa harus pada usia ke tujuh bulan? Karena 7 bulan adalah usia yang tepat untuk seorang anak untuk menginjak tanah atau bumi untuk pertama kalinya. Sebenarnya kita tidak bisa langsung mengartikan bahwa sang anak tidak pernah menginjak tanah atau bumi sebelumnya. Tetapi, arti yang sebenarnya adalah pada usia ke tujuh bulan ini sang anak akan memulai petualangan dan perjalanan hidupnya untuk belajar dan memahami arti kehidupan. 

Hal itu dikarenakan pada usia ke tujuh bulan seorang anak akan mulai belajar untuk berbicara, merangkak, berdiri, berjalan, dan berlari. Pada usia ke tujuh bulan juga sang anak akan mulai belajar dan mengerti tentang mana yang baik dan tidak. Semua hal inilah yang membuat mama dan papa Anggita senang. Ya, mereka tahu bahwa kini mereka memiliki seorang anak yang cantik dan janji yang mereka buat telah terbayarkan.

Juni 2004, Mama dan papa Anggita kembali memutuskan bahwa Anggi harus tetap tinggal bersama nenek dan kakeknya di Banyuwangi dikarenakan mama dan papanya sedikit kesulitan untuk mengatur waktu dalam menjaga dan merawatnya di rumah. Lagi-lagi, mama dan papanya harus melewatkan masa kecil putrinya yang sudah mereka tunggu kelahiraannya selama bertahun-tahun. 

Tapi, tenang saja, mama dan papanya tetap melakukan kegiatan yang rutin mereka lakukan sebelumnya, yaitu untuk selalu mengunjungi Anggi di Banyuwangi setiap bulannya. Walaupun mereka harus bersedih kembali beberapa saat mereka berpamitan untuk pulang ke Denpasar dan kembali bekerja.

 Ini adalah hari pertama Anggita masuk sekolah. Ya, ini adalah taman kanak-kanak---TK Kartika namanya. Selayaknya anak-anak seusianya, dia mempunyai banyak teman di sekolah. Bermain papan gambar bongkar pasang, ayunan, memanjat kubus-kubus besi, dan bermain di rumah bola. Tapi, satu hal yang paling diingatnya dan keluarganya adalah ketika Anggita melupakan bekal makannya. 

Anggi meninggalkan bekalnya di dapur sebelum dia berangkat ke sekolahnya. Ketika jam istirahat di sekolah tiba, ia kebingungan mencari dimana bekalnya. Kemudian ia teringat bahwa dia telah meninggalkan bekalnya sebelum ia berangkat. Tentu saja, tidak lama kemudian Anggi menangis dan sontak saja tangisan itu mericuhkan kelas dan membuat kepala sekolah harus turut menenangkannya. 

Ibu Supenah, begitulah beliau dikenal sebagai kepala sekolah yang ramah dan juga rendah hati. Mencoba menenangkan seorang anak yang sedang menangis dan kelaparan karena telah melupakan bekalnya. Akhirnya beliau memutuskan untuk membeli sebuah telur dadar dan sebungkus nasi di kantin sekolah untuk mengganti makanan milik Anggi. Namun sayangnya, Anggi menolaknya dan terus menangis sambil memanggil-manggil uti agar ada untuk menemaninya saat itu. Kepala sekolah pun menuruti kemaunnya dan segera melakukan panggilan telepon agar uti segera datang ke sekolah. 

Sesampainya di sekolah, uti beranjak ke ruang kepala sekolah dan Anggi berlari memeluknya dengan pipi tembab yang basah oleh air mata. Uti hanya tertawa melihat cucunya menangis karena hal sepele yang menimpanya. Setelah Anggi berhenti menangis, kepala sekolah mengizinkannya untuk pulang lebih cepat dibandingkan dengan teman-temannya. Hal ini adalah kejadian yang paling diingat oleh ia dan keluarganya. Mengapa? Karena ini hanya masalah sepele dan Anggi bisa menangis karenanya.

April 2006, ini tahun kelulusan Anggi di taman kanak-kanak. Ia akan naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Pada hari kelulusannya dari taman kanak-kanak, mama dan papanya datang mengunjunginya di Banyuwangi. Anggita yang mendengar kabar itu sangat senang tentang kabar itu. Ia akan bertemu dengan kedua orang tuanya, segera. Satu minggu kemudian, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba---hari kelulusannya. 

Pulang dengan gembira selayaknya anak kecil yang diberi hadiah. Anggita membawa rapor dan ijazahnya dengan memeluk erat keduanya. Sesampainya di rumah, senang bukan main rasanya ketika ia melihat mama dan papanya sedang duduk di teras rumah bersama kakeknya. "Mama! Papa!", begitu Anggita memanggil keduanya. Anggita berlari kearah mereka berdua dan memeluk mereka dengan erat sampai sampai ia tidak menyadari kalau ia telah menjatuhkan rapornya. Setelah Anggita melepaskan pelukannya, dengan bangga sang mama mengatakan, "Dik, tahun ajaran selanjutnya sekolah di Bali, ya?". 

Mendengar pertanyaan itu, sontak saja Anggita menyetujuinya. Dengan bersekolah di Bali, ia akan tinggal bersama mama dan papanya. Ini lah hal yang selalu diimpikan oleh anak kecil itu. Ia ingin selalu bersama dengan kedua orang tuanya. Lalu, bagaimana dengan jadwal pekerjaan mama dan papanya? Ya, tidak akan ada lagi gangguan yang dapat menghalangi jadwal keduanya. Anggita sudah besar sekarang. Ia bisa ikut papa atau mamanya bekerja. Dia sudah cukup cerdas untuk mengetahui bahwa ada hal yang seharusnya ia lakukan dan tidak ia lakukan.

Dua minggu menikmati libur sekolah bersama kedua orang tua dan nenek kakeknya di Banyuwangi, kini Anggita harus bersiap untuk meninggalkan nenek dan kakeknya yang ada di Banyuwangi dan kembali tinggal bersama papa dan mamanya di Denpasar, Bali. Sekarang, giliran sang nenek yang merasakan apa yang dirasakan sang mama ketika Anggita masih berusia tiga bulan dan harus diserahkan kepada sang nenek. 

Merelakan cucu perempuannya yang telah ia rawat lima tahun lamanya untuk kembali kepada orang tuanya. Anggita yang berusia lima tahun kala itu sudah mulai mengerti tentang perasaan sedih karena ia harus berpisah untuk sementara waktu dengan nenek dan kakeknya yang telah merawat dirinnya sejak usia tiga bulan. Dari dalam mobil Anggita menurunkan kaca mobil itu dan melambaikan tanugannya sebagai pertanda bahwa ia harus pergi sekarang. 

Ia berusaha menahan tangisnya, tapi sayangnya ia tidak mampu menahan air matanya ketika ia melihat neneknya membalas lambaian tangannya dan menangisi keberangkatnya. Mobilnya terus berjalan. Rumah uti sudah tidak tampak lagi. Anggita terus menangis di sepajang perjalanannya menuju Denpasar. Ia tidak bisa mengerti mengapa ia tidak bisa mendapatkan orang tuanya juga nenek dan kakeknya sekaligus. Air mata membasahi pipinya yang semakin tembam dan berwarna merah muda karena sudah terlalu lama menangis. Terlalu lelah menangis, Anggita tertidur dengan pulas hingga ia tidak tahu kalau dirinya sudah sampai di rumah.

 Oktober 2008, hampir tiga tahun sudah Anggi lewati dengan bersekolah di Denpasar dan tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Tidak ada banyak hal spesial yang terjadi semasa ia mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sama halnya dengan anak SD yang melaksanakan upacara setiap hari Senin, memakai seragam merah putih, mengepang rambut, dan mengerjakan tugas-tugas harian yang memenuhi kegiatannya. 

Hanya saja pada bulan kelahirannya ini, Anggita dikejutkan oleh papanya yang berkata bahwa ia akan menjadi seorang kakak. Mendengar berita ini, Anggita berlari mencari sang mama dan mencoba memastikan apakah hal itu benar. Ya, benar, ia akan segera menjadi seorang kakak. Ia melihat perut mamanya yang begitu besar kala itu. Dengan polosnya Anggita bertanya kepada mamanya apakah adiknya dapat mendengar ia berbicara, apakah adiknya bisa bermain dengan dirinya sekarang, dan mengapa sang adik tidak mau keluar dari perut sang mama. Mama dan papanya hanya tertawa mendengar pertanyaan putrinya itu.

Desember 2008, ruang bersalin ada dihadapannya. Dipisahkan oleh sekat dinding gypsum berwarna putih bersih dengan tempat ia berada. Anggita menatap seluruh sudut ruangan yang ia dan papanya tempati dengan tatapan yang aneh. Timbangan, meteran, bak mandi bayi, handuk, selimut bayi, dan segala macam perlengkapan bayi. Menengok ke luar dan tampak banyak orang berlalu-lalang di koridor. 

Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi dari luar ruangan yang Anggita tempati bersama papanya. Seorang suster masuk ke ruangan yang Anggita dan papanya tempati dengan menggendong seorang bayi yang masih berlumuran darah disekitar wajahnya. Anggita dibuat sedikit ketakutan kala itu. Ia tidak tahu menahu apa yang sedang dia lihat. Setelah suster itu memandikan sang bayi dan menyelimutinyanya dengan selimut bayi, papa Anggita bertanya kepada suster itu. "Bayi siapa ini, Sus?

Tubuhnya begitu besar sebagai seorang bayi yang baru dilahirkan.", seperti itulah tanya papanya. Kemudian suster itu menjawab, "Ini adalah putra Bapak.". Anggita dan papanya hanya terkejut mendengar perkataan suster itu. Jadi, singkat cerita, bayi yang terlahir dengan ukuran besar itu adalah putra kedua dari papa dan mama Anggita yang diberi nama Parama Wicaksana.

Ya, itulah dia. Kehidupan Sri Nararia Anggita Damayanti yang tidak akan cukup untuk dituliskan dalam 2000 kata saja. Kehidupannya masih akan terus dilanjutkan dalam ribuan bahkan jutaan kata yang akan diceritakan selanjutnya.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun