Pulang dengan gembira selayaknya anak kecil yang diberi hadiah. Anggita membawa rapor dan ijazahnya dengan memeluk erat keduanya. Sesampainya di rumah, senang bukan main rasanya ketika ia melihat mama dan papanya sedang duduk di teras rumah bersama kakeknya. "Mama! Papa!", begitu Anggita memanggil keduanya. Anggita berlari kearah mereka berdua dan memeluk mereka dengan erat sampai sampai ia tidak menyadari kalau ia telah menjatuhkan rapornya. Setelah Anggita melepaskan pelukannya, dengan bangga sang mama mengatakan, "Dik, tahun ajaran selanjutnya sekolah di Bali, ya?".Â
Mendengar pertanyaan itu, sontak saja Anggita menyetujuinya. Dengan bersekolah di Bali, ia akan tinggal bersama mama dan papanya. Ini lah hal yang selalu diimpikan oleh anak kecil itu. Ia ingin selalu bersama dengan kedua orang tuanya. Lalu, bagaimana dengan jadwal pekerjaan mama dan papanya? Ya, tidak akan ada lagi gangguan yang dapat menghalangi jadwal keduanya. Anggita sudah besar sekarang. Ia bisa ikut papa atau mamanya bekerja. Dia sudah cukup cerdas untuk mengetahui bahwa ada hal yang seharusnya ia lakukan dan tidak ia lakukan.
Dua minggu menikmati libur sekolah bersama kedua orang tua dan nenek kakeknya di Banyuwangi, kini Anggita harus bersiap untuk meninggalkan nenek dan kakeknya yang ada di Banyuwangi dan kembali tinggal bersama papa dan mamanya di Denpasar, Bali. Sekarang, giliran sang nenek yang merasakan apa yang dirasakan sang mama ketika Anggita masih berusia tiga bulan dan harus diserahkan kepada sang nenek.Â
Merelakan cucu perempuannya yang telah ia rawat lima tahun lamanya untuk kembali kepada orang tuanya. Anggita yang berusia lima tahun kala itu sudah mulai mengerti tentang perasaan sedih karena ia harus berpisah untuk sementara waktu dengan nenek dan kakeknya yang telah merawat dirinnya sejak usia tiga bulan. Dari dalam mobil Anggita menurunkan kaca mobil itu dan melambaikan tanugannya sebagai pertanda bahwa ia harus pergi sekarang.Â
Ia berusaha menahan tangisnya, tapi sayangnya ia tidak mampu menahan air matanya ketika ia melihat neneknya membalas lambaian tangannya dan menangisi keberangkatnya. Mobilnya terus berjalan. Rumah uti sudah tidak tampak lagi. Anggita terus menangis di sepajang perjalanannya menuju Denpasar. Ia tidak bisa mengerti mengapa ia tidak bisa mendapatkan orang tuanya juga nenek dan kakeknya sekaligus. Air mata membasahi pipinya yang semakin tembam dan berwarna merah muda karena sudah terlalu lama menangis. Terlalu lelah menangis, Anggita tertidur dengan pulas hingga ia tidak tahu kalau dirinya sudah sampai di rumah.
 Oktober 2008, hampir tiga tahun sudah Anggi lewati dengan bersekolah di Denpasar dan tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Tidak ada banyak hal spesial yang terjadi semasa ia mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sama halnya dengan anak SD yang melaksanakan upacara setiap hari Senin, memakai seragam merah putih, mengepang rambut, dan mengerjakan tugas-tugas harian yang memenuhi kegiatannya.Â
Hanya saja pada bulan kelahirannya ini, Anggita dikejutkan oleh papanya yang berkata bahwa ia akan menjadi seorang kakak. Mendengar berita ini, Anggita berlari mencari sang mama dan mencoba memastikan apakah hal itu benar. Ya, benar, ia akan segera menjadi seorang kakak. Ia melihat perut mamanya yang begitu besar kala itu. Dengan polosnya Anggita bertanya kepada mamanya apakah adiknya dapat mendengar ia berbicara, apakah adiknya bisa bermain dengan dirinya sekarang, dan mengapa sang adik tidak mau keluar dari perut sang mama. Mama dan papanya hanya tertawa mendengar pertanyaan putrinya itu.
Desember 2008, ruang bersalin ada dihadapannya. Dipisahkan oleh sekat dinding gypsum berwarna putih bersih dengan tempat ia berada. Anggita menatap seluruh sudut ruangan yang ia dan papanya tempati dengan tatapan yang aneh. Timbangan, meteran, bak mandi bayi, handuk, selimut bayi, dan segala macam perlengkapan bayi. Menengok ke luar dan tampak banyak orang berlalu-lalang di koridor.Â
Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi dari luar ruangan yang Anggita tempati bersama papanya. Seorang suster masuk ke ruangan yang Anggita dan papanya tempati dengan menggendong seorang bayi yang masih berlumuran darah disekitar wajahnya. Anggita dibuat sedikit ketakutan kala itu. Ia tidak tahu menahu apa yang sedang dia lihat. Setelah suster itu memandikan sang bayi dan menyelimutinyanya dengan selimut bayi, papa Anggita bertanya kepada suster itu. "Bayi siapa ini, Sus?
Tubuhnya begitu besar sebagai seorang bayi yang baru dilahirkan.", seperti itulah tanya papanya. Kemudian suster itu menjawab, "Ini adalah putra Bapak.". Anggita dan papanya hanya terkejut mendengar perkataan suster itu. Jadi, singkat cerita, bayi yang terlahir dengan ukuran besar itu adalah putra kedua dari papa dan mama Anggita yang diberi nama Parama Wicaksana.
Ya, itulah dia. Kehidupan Sri Nararia Anggita Damayanti yang tidak akan cukup untuk dituliskan dalam 2000 kata saja. Kehidupannya masih akan terus dilanjutkan dalam ribuan bahkan jutaan kata yang akan diceritakan selanjutnya.