Mohon tunggu...
Anggi Prihantoro
Anggi Prihantoro Mohon Tunggu... Penulis - seorang mahasiswa yang masih perlu banyak belajar

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi: Budaya yang Menjadi Bermasalah

27 September 2021   19:30 Diperbarui: 27 September 2021   19:48 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sudah tak asing lagi kata-kata tersebut terdengar ditelinga kita dari kecil sampai dewasa ini. Korupsi bukan saja mengambil yang bukan haknya tetapi juga penyalahgunaan wewenang jabatan yang dimiliki oleh salah satu pejabat baik dipemerintah maupun swasta, biasanya ketika ada mega proyek yang digunakan untuk memperkaya diri sendiri ataupun menguntungkan pihak lainya. 

Masalah yang tak pernah terselesaikan secara adil menurut masyarakat, bagaimana tidak? Jika para pelaku saja masih bisa mendapatkan fasilitas yang lebih di penjara serta hukumanya yang tak sebanding dengan apa sudah diambil dari negara. 

Tetapi mereka tersangka korupsi tidak secara gratis mendapatkan fasilitas yang mereka inginkan, seperti kasus fasilitas mewah yang didapatkan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat dengan tarif antara 200 juta sampai 500 juta. 

Itu hanya contoh kecil saja banyak kasus-kasus yang sidah diungkap tetapi ini memang dijadikan lahan bisnis tersendiri oleh oknum petugas lapas yang berwenang. 

Kalau samapai dengan proses hukumanya saja tersangka korupsi masih bisa menikmati layaknya orang yang tidak dihukum sama sekali lantas apa sebenarnya yang terjadi didalam proses pengadilan negeri kita sendiri?. Apa ini yang diturunkan atau diwariskan oleh penjajah Belanda dahulu kepada kita? Sebab korupsi ini terjadi juga pada masa penjajahan Belanda. 

Dampak yang ditimbukan juga tak tanggung Negara saja bisa merugi besar berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat nilai kerugian Negara akibat korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 805 miliar pada tahun 2020, angka ini turun 87% dari tahun yang sebelumnya sebesar Rp 6,2 triliun. 

Kinerja KPK juga mengalami penurunan dari jumlah kasus yang ditangani hanya 15 kasus dengan jumlah tersangka 75 dari tahun 2019 sebanyak 155 orang dengan 62 kasus.

Korupsi Budaya Lama?

Kalau bisa dibilang budaya memang tak etis karena budaya merupakan sebuah kultur yang dibentuk atas adat masyarakat, penyebutan korupsi sebagai budaya ini dikarenakan memang sebenarnya korupsi sudah mendarah daging dalam birokrasi di Indonesia. 

Tetapi menurut pendapat saya sendiri korupsi merupakan bagian Dark side of Human atau sisi gelap dari manusia yang kaya akan nafsu ketika ada kesempatan yang terbuka lebar. 

Sebab ketika manusia yang berakal tidak bisa mengimbanginya dengan iman atau kereligiusan atau ketakutan akan yang berada dilevel tuhan maka seperti rumah tanpa pancang tonggak, mudah rapuh serta riskan roboh. 

Sejarah dari korupsi sendiri di Indonesia memang terukur dari zamna penjajahan Belanda di Indonesia yang bisa dibilang lama. Studi kasus yang didapatkan sendiri kemiskinan yang melanda di Indonesia sewaktu pendudukan Belanda di Indonesia bukan hanya campur tangan dari pihak kolonial tetapi para pribumi yang menjabat sebagai bupati atau demang. 

Sebagian besar masyarakat zaman dahulu memang selalu tunduk kepada orang yang dianggap sebagai pemimpin atau dari kalangan bangsawan sebab doktrin masa lampau mengatakan bahwa bangsawan merupakan titisan dari leluhur yang wajib dihormati. Bukan untuk membela pemerintah kolonial tetapi campur tangan pribumi juga ikut berperan besar dalam kemiskinan waktu itu. 

Kita ambil contoh seperti pekerjaan mega proyek Anyer Panarukan yang dahulu memang dipegang oleh Herman Willem Daendels tak serta merta juga phak Belanda yang membayar kepada Bupati atau yang dituakan di Karesidenan yang dilewati oleh jalanya. 

Dari awal inilah yang menjadikan budaya korupsi menjadi darah daging di Indonesia. Survei tentang persepsi korupsi yang dilaksanakan oleh Transparency International dimana Indonesia menduduki peringkat 130 dari 163 negara tersurvei. 

Tetapi apabila ini dianggap rapor maka nilai kita masih lebih baik dari Myanmar walau tidak mencerminkan tingkat korupsi yang sebenarnya tetapi ini sebagai alat ukur terhadap sudut pandang masyarakat. 

Korupsi sendiri tidak ada hubunganya dengan melanggar budaya kita sebagai abngsa Indonseia yang menjujung asas kekeluargaan yang menimpa elemen masayarakat Indonesia  dan strata sosial manapun tak tergantung pada tingkat intelektualitas seseorang.

Media Kerja Sama Koruptor

Adanya penciptaan manusia yang merupakan makhluk sosial selalu menjadi dasar sesorang berbuat positif atau negatif tergantung apa yang mendasari tujuan perbuatan positif dan negatif tersebut. 

Seperti para koruptor yang bisa disebut “berselingkuh” karena punya cara yang banyak untuk memperkaya diri sendiri maupun “teman perselingkuhanya”. 

Adanya partai politik merupakan jalan yang sangat mulus menurut saya untuk menjadikannya media korupsi karena kebanyakan sekarang parpol akan berkoalisi untuk menentukan paslon di pilkada maupun presiden sekalipun sebab untuk tercapainya suara yang lebih dari 50% tak ayal hanya satu partai saja. 

Partai politik yang buruk menjadi ladang emas bagi koruptor dalam beraksi karena sumber keuangan Parpol dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dinyatakan bahwa sumber keuangan partai politik berasal dari iuran anggota, serta sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan  keuangan APBN/APBD. 

Celah inilah yang menjadika parpol sebagai sasaran empuk sebab sumbangan yang sah ini merupakan fee atau upah untuk memuluskan jalan perusahaan-perusahan milik politisi yang menang tender dari proyek pemerintah. Sebenarnya parpol berdalih kekuarangan uang untuk melakukan sosialisasi. 

Padahal yang terjadi sebenarnya negara setiap tahun mengeluarkan anggaran Rp 8 triliun sebagai bantuan bagi parpol, dilevel daerah sendiri parpol mendapat bantuan dari level kabupaten maupun provinsi. 

Selain itu parpol sebagai jembatan antara eksekutif dan legislatif seperti contoh kasus korupsi Wisma Atlet  Sea Games, Mindo Rosalina manulang sebagai direktur Marketing PT Anak Negeri tertangkap tangan bertansakasi  fee dengan sekretaris Kementerian Pemuda Dan Olahraga, Wafid Muharam dengan kesepakatan bahwa PT Graha menjadi pemenang akan memeberikan komisi 15% dari nilai proyek dengan komposisi 2% untuk sekretaris dan 13%  untuk Direktur PT Duta Graha Indah Muhammad El-Idris. 

Kesepakatan yang telah disusun rapi dengan pertemuan awalan antara Rosa dengan Wafid yang difasilitasi Muhammad nazarudin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Ini merupakan kasus lama yang sampai sekarang masih dikenang dan masih menjadi kasus besar yang terjadi di Indonesia.

Harapan Selesai

Mungkin kasus korupsi yang menjadi hal biasa saat ini tidak akan pernah selesai jika penjatuhan hukuman saja masih sama dengan pencuri buah atau sendal dimasyarakat. 

Memang yang selalu dibahas adalah keadilan tetapi bagaimana dengan adil itu sendiri? Apa memang disini di negara Indonesia kita sudah adil sudah sesuai dengan sila yang digaung-gaungkan?. 

Mungkin pertanyaan tersebut dijawab secara lisan atau teoritis tapi nyatanya secara nyata didalam penyelesaian kasus korupsi sendiri malah muncul korupsi bahkan suap sekalipun. 

Aparat hukum yang sebenarnya menegakkan tiang hukum nyatanya goyah akan iming-iming uang yang lumayan untuk mencicil rumah diperumahan elit. 

Gaya hidup dan gengsi yang terlalu berlebihan serta stigma masyarakat yang terus menekan menjadikan salah satu faktor paling riskan oleh manusia itu sendiri untuk dilakukan. 

Misal seperti ini, masyarakat menganggap PNS itu sebagian orang yang berkapasitas mampu karena gaji yang lumayan besar, tetapi disini point of view seseorang itu berbeda beda hanya melihat bahwa PNS itu pasti banyak duit. 

Nah hal seperti inilah yang menjadikan korupsi mendarah daging. Jadi kesimpulannya menurut pandangan sendiri korupsi merupakan tindakan kriminal karena dark of side  dari manusia sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun