Oleh Anggie D. Widowati
Berubah. Kesimpulan itu satu-satunya yang ada di benak perempuan itu sambil memandangi suaminya yang duduk di teras dengan kopi paginya. Kopi itu dibiarkan menguap dan menjadi dingin. Sejak disajikan, belum disentuhnya sama sekali, sibuk dengan lamunannya.
Sebelumnya, Zoel penyuka kopi panas. Kopi yang benar-benar panas. Air untuk menyeduhnya baru diangkat dari kompor. Meluap-luap seperti kawah Merapi yang akan Meletus. Tetapi belakangan ini, lelaki itu membiarkan kopinya begitu saja sampai menjadi dingin.
"Ada apa denganmu, Mas," keluh Hesti lirih.
Bukan hanya itu, Zoel sering uring-uringan bila mencari sesuatu. Marah-marah bila air ledeng mengalir terlampau kecil. Bahkan emosi ketika sup kesukaannya kurang asin. Dulu tidak begitu, bila mencari sesuatu tak ketemu, dia bilang pada Hesti dengan baik-baik, minta tolong dicarikan.
Bila air ledeng PAM itu mengalir tersendat, dia akan menjauhi kamar mandi, dan membiarkan ember mandinya penuh. Karena memang di musim kemarau biasanya air mengalir tersendat. Zoel melakukan kegiatan untuk menahan marahnya.
Apalagi soal makanan, Zoel bukanlah seorang pencela makanan. Makanan terlalu asin, kurang asin, terlalu manis atau kurang manis, diam saja. Bila kurang asin, dia jalan ke dapur menjumput garam lalu ditaburkan ke mangkuk sayur, tanpa komentar, lalu melanjutkan makan. Akhlaknya, akhlak nabi.
Semua perjalanan dengan tiga anak yang sudah mandiri terlampoi dengan mulus. Gajinya sebagai kepala bagian sebuah BUMN mencukupi kehidupan Jakarta dengan sederhana namun tidak kekurangan. Rumah tangga Hesti berjalan mulus, tanpa ada hambatan yang berarti.
Namun sekarang, bertambahnya usia justru membuat suaminya bersikap kekanakan. Setiap hari ada saja yang dilakukan lelaki itu, benar-benar membuat Hesti bingung. Katanya ingin menikmati masa tua dengan tenang, katanya ingin menikmati hasil semua perjuangan selama bekerja menjadi karyawan yang jujur dan baik. Ternyata malah sebaliknya dia  menjadi orang yang tak dikenali lagi.
Hesti memandangi Zoel yang sedang mematut dirinya di cermin. Pintu kamar dibiarkan terbuka. Wanita itu duduk tenang di meja makan. Suaminya sedang menyisir rambutnya, melihat mukanya dekat-dekat di cermin. Lalu jari jempolnya menarik lipatan kuit mukanya yang mengendur. Mengeluh pelan dan kengusap rambutnya yang sudah tersisir dengan rapi.
Mungkinkah dia sedang jatuh cinta? Memiliki perempuan lain hinga kelakuannya menjadi tidak stabil dan ganjen. Kalau memang iya, apa dia masih sanggup melakukan hubungan. Dengannya saja sebulan bisa dihitung dengan jari. Siapa perempuan yang mau dengan lelaki tua yang sudah pensiun?
Konon Wanita-wanita muda bukan hanya mengejar kekayaan lelaki yang sudah berumur. Tetapi mereka juga ingin disentuh, karena itu akan memiliki nilai tawar untuk dirinya. Tentu saja untuk mengeruk harta dan kekayaannya tanpa sisa. Tanpa seks, mereka hanya akan memiliki hubungan yang hanya di permukaan saja.
Meskipun serba tak mungkin tetapi dugaan Zoel berselingkuh menjadi salah satu kecurigaan Hesti melihat perubahan yang ada padanya. Dan bila dia memiliki perempuan lain, tidak ada pilihan bagi Hesti selain meninggalkannya. Tidak sudi dengan laki-laki yang berbuat nista justru di masa-masa tuanya.
Hesti tidak pernah memiliki sahabat dekat, karena dia memang sedikit menutup diri dengan sekitarnya. Itu adalah cara terbaik untuk menghindari berbagai kemungkinan orang yang ingin memanfaatkan jabatan suaminya.
Di kompleks tempatnya tinggal, hampir tidak mengenal para tetangga dengan baik. Dia malas berhubungan dengan mereka karena terlalu sering menemukan orang yang berteman karena ada motivasi terselubung.
"Aku punya proposal kegiatan, mungkinkah BUMN Pak Zoel bisa memberikan sedikit donasi?"
"Saya tidak ada hubungannya dengan urusan kantor."
"Tapi Jeng Hesti kan istrinya, masak nggak bisa meminta pada suami untuk memberikan donasi."
Hesti biasanya menjauhi orang orang semacam ini. Bukan hanya urusan proposal, ada juga yang ingin menitipkan anak untuk magang, ada yang ingin mendapatkan jatah lapak di kantin dan semacamnya. Demi ketenangan diri, Hesti menutup diri dari orang-orang. Dia hanya ingin mengurus anak dan suami.
Dia tak tahu apa yang berkembang dilingkungannya. Dia tak tahu bagaimana keluarga atau teman yang ditolak itu membicarakannya. Dia berhasil menjadi pribadi yang tidak mencampur adukkan pekerjaan suami dengan hal lain.
Dan sekarang, saat anak-anak sudah mendiri dan pisah rumah, saat suami sudah pensiun dan tidak berkantor, dia justru merasa kesepian. Tidak punya teman.
Hesti juga tak punya kesibukan seperti dulu, tak perlu menyiapkan keperluannya ke kantor, tidak perlu masak sebelum subuh untuk membuatkan bekel. Setelah purna tugas, suaminya dua puluh empat jam di rumah, tetapi malah semakin mejauh.
Hesti memungut selembat tisu di atas meja makan, lalu mengusap air matanya. Dia tak mau suaminya melihatnya menangis. Meskipun sudah tak tahan lagi dengan kelakuannya, dia ingin menutupi kesedihannya rapat-rapat.
"Mama..."
Suaminya memanggilnya. Jantungnya berdengup kencang. Rasa takut menyerang. Karena setiap suaminya memanggil  pasti ada yang salah. Wanita itu segera berdiri dan bergegas masuk kamar.
Suaminya sedang mencoba mengancingkan bajunya tetapi kesulitan karena tak menemukan lubang-lubang kancing.
Hesti menghampirinya. Meluruskan bagian bawah hem itu, lalu menyingkapkan segaris kain yang menutupi lubang-lubang kancing.
Bagian bawahnya diluruskan lagi, sampai benar-benar lurus. Pelan-pelan dia keluarkan kancing yang salah masuk, dan dia masukkan ke lubang yang seharusnya.
"Kenapa kau ulang lagi, aku salah ya?"
"Bagian bawah tidak sama, karena ada yang salah masuk," kata Hesti.
"Lepaskan, lepaskan, tinggalkan aku, aku sudah terlalu tua untuk melakukan ini, bahkan memasukkan kancing saja tidak bisa."
Hesti melepaskan baju yang dipegangnya dan berdiri. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis agar tak jatuh menetes. Zoel memalingkan muka darinya dan sekarang menghadap cermin berusaha mengancingkan baju sendiri.
"Kenapa masih disitu, keluar dari kamar, aku bisa melakukan sendiri."
"Aku hanya ingin menolongmu."
"Oh jadi menurutmu aku nggak bisa apa-apa ya, aku tidak mampu, aku lemah."
Tidak tahan dengan semua ucapan itu, Hesti meninggalkan kamar diam-diam. Entah sudah ke berapa kali dia dikata-katain seperti itu. Padahal tidak ada terbesit sedikit pun di pikirannya bahwa dia merendahkan Zoel, tetapi dia selalu berfikir begitu. Dia sudah tak mau berbicara baik-baik dan membicarakan segala hal dengannya. Dia mengira Hesti menganggapnya rendah. Padahal itu tidak benar, itu sama sekali salah, itu prasangka.
*
Pagi yang hangat. Hari ini Zoel pergi dengan putra sulungnya untuk memancing. Hesti diajak, tetapi dia tak mau ikut. Saat-saat suaminya pergi dengan Damar begini adalah saat yang menyenangkan buat dirinya. Dia tak ingin Damar tahu segala keresahan yang ditimbulkan ayahnya, dia tak pernah cerita apapun, dan ketiga anaknya menganggap semua baik-baik saja.
Setelah mobil Damar meninggalkan rumah, Hesti berdandang lalu memesan taksi. Dia sudah berjanji temu dengan seorang professional. Kali ini adalah pertemuan yang kedua. Sebenarnya, dia yang meminta Damar mengajak suaminya memancing, kesempatan itu akan digunakan untuk bertemu dengan psikolog wanita itu.
Bu Ilana menyambutnya dengan ramah. Rambutnya diikat di belakang kepalanya. Tubuhnya tinggi dengan gaun panjang semata kaki dan baju bercorak batik dengan model elegan. Bibirnya dipoles dengan lipstick tipis. Wanita itu berdiri di belakang meja kerjanya, di atas meja ada ada kotak kayu coklat gelap bertulis Namanya Ilana Dewi, S Psi.
"Silakan duduk."
"Makasih Bu."
Ketika Hesti duduk, Ilana pun melakukan hal yang sama.
"Bagaimana perkembangannya?"
"Saya tak habis fikir kenapa sekarang dia menganggap saya merendahkan," kata Hesti.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Kemarin, saya hanya membantunya memasang kancing baju."
"Hanya karena itu?"
"Iya Bu, saya tak pernah merendahkannya, itu hal yang biasa saya lakukan dulu, kalau mau berangkat ke kantor."
"Ya, ya, ya, hanya sekarang kan setelah pensiun?"
"Mungkinkah dia sedang tertarik dengan wanita lain?"
"Tidak Bu, dia sedang kehilangan rasa percaya dirinya. Pensiun membuatnya kehilangan segalanya. Apalagi waktu di kantor dia punya jabatan."
"Saya tidak menganggapnya rendah meskipun sudah pensiun Bu, itu prasangkanya saja."
"Saya tahu."
"Saya lelah bu, sudah setengah tahun ini, dia kerjaannya hanya marah-marah saja."
Psikolog itu mengangguk-angguk, bersimpati dengan wanita setengah baya tetapi masih terlihat cantik itu. Zoel mengalami post power syndrome. Sebuah kondisi kejiwaan yang dialami oleh seseorang yang kehilangan kekuasaan atau jabatannya dan tak bisa menerima perubahan itu. Istrinya terlihat sudah kewalahan melihat perilakunya yang sudah tidak stabil.
"Dia mengalami post power syndrome," kata Ilana kemudian,"dia merasa tidak dihormati lagi, merasa tidak berguna, dan merasa kehilangan arah hidupnya."
"Penyebabnya apa Bu?"
"Pensiun."
"Pensiun?"
Ilana mengangguk.
"Sekarang, apa yang harus saya lakukan?"
"Beberapa langkah bisa dilakukan. Kalau boleh tahu, apa hobinya?"
"Dulu dia suka memancing, tetapi kemudian tidak sempat karena kesibukan di kantor bertambah. Beberapa hari terakhir saya menyuruh anak sulung saya mengajaknya memancing. Maksud saya biar dia tidak uring-uringan saja di rumah."
"Itu bagus, tetapi seharusnya jangan dengan anak. Takutnya suamimu juga akan uring-uringan dan merasa tak berharga dimata anak."
"Lalu dengan siapa?"
"Orang yang sama dengan dia, para pensiunan. Biasanya mereka akan punya tempat bagi suami ibu untuk bercerita, curhat dan semacamnya."
Hesti memandangi wajah psikolog itu dengan mata berbinaran. Jalan sudah terbuka baginya untuk melepaskan masalah yang selama ini menghimpitnya. Psikolog itulah yang selama ini sudah membantunya. Mendengarkan keluhannya. Dialah satu-satunya yang mengerti apa yang meresahkannya.
"Ya udah, nanti saya akan mencoba menghubungi teman-temannya yang sudah pensiun."
"Kumpulkan mereka."
"Saya punya ide Bu. Sepertinya saya akan segera mencari info mengenai teman-temannya yang sudah pensiun dan mencari EO yang bisa membuat pesta terbaik di kota ini."
"Pesta?"
"Iya Bu, saya akan membuat pesta para pensiunan Bu."
"Itu langkah yang bagus."
"Doakan saya Bu."
"Pasti."
"Waktu suami masih menjabat, saya biasa membuat pesta Bu."
Ilana mengangguk, senyumnya membias ramah. Hesti berdiri. Psikolog itu juga berdiri dengan wajah gembira. Senang karena kliennya sudah menemukan jalan keluar untuk masalahnya.
Dia yakin Hesti akan mampu mengatasi dan menemukan jalan keluar yang terbaik. Wanita itu meninggalkan ruangannya, langkahnya ringan tapi pasti.
Jakarta, 14 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H