"Kalau dia suka, dia akan bilang sendiri," tutur Tubi kemudian.
Apa yang dikatakan Tubi disampaikan Siti kepada Sapan. Tanpa tunggu lama, Sapan pun menyampaikan perasaan sukanya pada Tubi. Mereka pun jadian. Kadang Sapan main ke kosan Tubi, atau sebaliknya, Tubi yang main dikosan Sapan.
Dalam hati kadang Tubi bertanya, kenapa udah usia segitu, Sapan belum menikah. Tetapi Tubi takut untuk mengungkapkan perasaannya. Pakai logika saja, kalau Sapan sudah beristri pasti akan menyewa rumah untuk tinggal sekeluarga. BUkan kos dengan para buruh pria.
Mereka berdua pun kemudian dimabuk cinta. Pada Sapan, Tubi menyerahkan kehormatannya. Dia yakin bahwa suatu hari akan menikah dengan lelaki kesayanngannya. Beberapa barang milik Sapan ada dikosan Tubi, begitu pun barang-barang Tubi, sebagian sudah di kamar Sapan.
Mereka memutuskan tinggal Bersama demi menghemat biaya kos. Keduanya memindahkan semua barangnya ke kamar baru itu. Perjalanan cinta mereka begitu mulus, tetapi bukannya tanpa gangguan. Baik orang pabrik maupun tetangga kos, tahu kalau mereka belum menikah. Mereka hanya kumpul kebo.
"Kita sudah setahun hidup bersama, bagaimana kalau kita menikah saja," ajak Tubi.
Sapan tidak menjawab. Malah melengos pergi. Tubi berfikir mungkin kekasihnya belum siap. Setiap ada kesempatan, Tubi menanyakan Kembali kesediaan Sapan untuk menikah. Kalau mereka menikah, mereka tidak menjadi bahan perbincangan orang. Namun Sapan masih belum memberikan tanggapan.
"Kenapa sih, kalau Mas mencintaiku, kenapa tidak mau menikah saja?"
"Tidak, karena aku sudah punya anak dan istri."
Tubi kaget mendengar jawaban itu. Hatinya merasa teriris-iris, karena sudah dibohongi. Dipukulinya laki-laki itu dengan tinjunya karena merasa kesal.
"Kenapa tidak bilang sejak dahulu? Sekarang aku sudah menyerahkan kehormatanku, dan dengan mudah kau tolak aku. Jadikan aku istri yang kedua," tangis Tubi.