"Itu mahal," kata penjual baju.
"Berapa?"
"Tiga ratus ribu, dapat kerudung, apa kamu punya uang segitu suamimu kan cuma tukang sampah. Mendingan kamu beli gamis batik ini saja, cuma 40 ribu, panjang juga, murah, bisa buat pengajian. Ingat ya bu Sabar saya tidak menjual baju dengan cara tempo, jadi harus kontan." jawab wanita itu menghina.
Istri Sabar mengeluarkan dompetnya. Lalu tiga lembar uang berwarna merah diulurkan pada penjual baju yang sombong itu.
"Cepat bungkus gamis coklat itu," katanya.
Mengumpulkan sampah daur ulang memang pekerjaan kere dan hina bagi para tetangganya. Dia sudah mirip pemulung saja, meskipun dia tidak mulung di jalan. Semua dibawa suaminya saat pulang kerja. Dan suaminya bilang uang sampah daur ulang itu bebas untuk dipakainya.Â
Sementara gaji suaminya yang tak seberapa itu, untuk makan dan biaya sekolah dua anaknya yang duduk di SD. Terserah apa kata orang, biar pun hanya istri pemungut sampah dia tidak peduli karena pekerjaan suaminya halal.
Sebenarnya bukan hanya dia yang dihina oleh warga kampung itu. Dua anaknya pun menjadi anak yang minder. Mereka jarang bermain dengan teman di kampung. Terutama anak-anak orang kaya di kampung itu selalu menghina anak-anaknya: anak tukang sampah, kotor dan bau.
Gang depan rumahnya makin ramai. Bu Sabar duduk di depan televisi bersama suami dan dua anaknya. Teriakan-teriakan di luar rumah masih menggema.
"Tolong Pak Sabar, kerjalah kembali," kata sebuah suara.
"Anda adalah pahlawan kota," seru yang lain.