Itu artinya setiap hari mereka harus bekerja, kalau sebelumnya, sampah diambil seminggu lima kali, sekarang mereka tambah sibuk. Bahkan kadang tidak bisa mengambil hak libur mingguan mereka. Untung para pemungut sampah kota itu kompak dan mereka mengatur jadwal libur mereka secara kekeluargaan.Â
Karena pengambilan sampah setiap hari, iuran pembayaran sampah pun dinaikkan. Yang awalnya tiap keluarga membayar 50 ribu rupiah perbulan, sekarang naik menjadi 75 ribu rupiah perbulan. Namun, gaji pemungut sampah tidak dinaikkan meskipun pekerjaan makin banyak dan iuran warga juga makin besar. Maka ramailah mereka dengan melakukan protes ke balai kota, menuntut kenaikan gaji.
Demontrasi pagi itu, --yang tentu saja dilakukan setelah mereka mengambil sampah kota-- tidak ditanggapi dengan bijak. Walikota tidak menampakkan batang hidungnya. Hanya polisi berseragam dengan wajah tegang berjaga memagari balai kota. Sabar yang ikut berunjuk rasa kenaikan gaji itu, juga tidak melihat mandor Jarwo dalam perlehatan itu.
Dengan tubuh capek, jam dua siang, mereka membubarkan diri. Sabar dan beberapa pemungut sampah yang memimpin demontrasi itu sempat membacakan tuntutan mereka di depan para wartawan. Dalam tuntutan itu, para pemungut sampah mengancam akan melakukan mogok kerja.
Siaran televisi menayangkan unjuk rasa itu. Tuntutan mereka untuk mogok kerja juga ditekankan dalam berita-berita tersebut. Bahkan banyak aktifis lingkungan yang ikut angkat bicara menuntut kesejahteraan para pemungut sampah itu. Isu unjuk rasa tukang sampah itu pun menjadi isu nasional.
Namun ternyata hanya ramai di media. Tetap tidak ada tanggapan dari pihak yang berkepentingan. Bahkan mandor Jarwo juga hilang dari peredaran. Para tukang sampah itu pun memboikot dan mogok kerja. Tidak mengambil sampah di seluruh kota. Sabar memerintahkan para pemungut sampah untuk berdiam di rumah atau pergi ke luar kota.
Hari pertama dan kedua pemogokan itu, tidak merubah apapun. Warga belum peduli bahkan masih bersikap seperti biasa. Hari ketiga pemogokan itu, baru keluar bau busuk dari tong-tong sampah yang mengendap di situ. Kotak sampah besar di tiap RT, sudah penuh, bahkan mulai melebar ke sekitarnya.
Warga mulai menjerit. Namun Sabar dan teman-temannya tetap keukeuh tak bergeming dengan keputusannya. Hari itu, sudah seminggu mereka mogok kerja, tetapi pihak balai kota masih belum memanggapi tuntutan mereka, bahkan mandor Jarwo belum kelihatab batang hidungnya. Sabar masih terus berkomunikasi dengan teman-temannya di grup WA, mereka hanya akan bekerja lagi kalau tuntutan mereka dipenuhi.
*
Istri Sabar masih berdiri di dekat pintu. Tetangga-tetangganya makin banyak, berkerumun membentuk kelompok-kelompok. Seorang laki-laki berkaca mata berdiri di pintu pagar bambu tua itu dan meminta suaminya keluar. Dia adalah ketua RW di lingkungan setempat.
"Pak Sabar, keluarlah, kami hanya ingin bicara," katanya.