Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Kebun Bunga

14 Oktober 2018   05:07 Diperbarui: 14 Oktober 2018   05:09 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ratih tersenyum dengan sorot mata sinis. Dengan tergesa dia menutup pintu rumahnya yang bergaya minimalis itu. Setelah pintu jati itu tertutup rapat, dia bergeser ke jendela dan mengintip di balik gorden. Seorang perempuan yang diketahuinya bernama  Anna  masih menyiangi rumput dan mengatur taman. Wajahnya putih, terkesan pucat dan datar.

"Kurang kerjaan, kalau aku sih malas menyiangi rumput begitu, bikin tangan kotor," kata Ratih pada Jati suaminya yang sedang membaca buku di ruang tamu.

"Siapa Ma?" tanya suaminya tak mengerti maksud istrinya.

"Tetangga depan tuh, sok sibuk, sok dekat dengan alam, sok baik. Kalau disapa saja mlengos, pura-pura tidak dengar," katanya geram.

"Oh Bu Anna itu, baguslah punya kesibukan berkebun, sehat," celetuk suaminya.

"Lho Papa malah membelanya?" Ratih makin geram.

"Membela siapa?" suaminya bingung meletakkan buku yang dipegangnya.

"Membela dia, perempuan sok cantik dan berbudi itu."

"Ya tidaklah Ma, untuk apa, kenal juga tidak."

"Nah kan sudah sebulan disini tetapi tidak mau kenal dengan tetangga, dasar perempuan songong."

Ratih mendengus kesal lalu meninggalkan suaminya yang terheran-heran dengan amarah istrinya yang tak ada ujung pangkalnya. Sampai tega mengeluarkan kalimat kebencian pada tetangga yang suka berkebun itu. Jati membuka sedikit gorden untuk melihat rumah tetangga depannya.

Lalu menutupnya kembali tanpa berkomentar. Dia tahu, apapun yang dikatakannya hanya akan membuat istrinya sinis. Begitulah wanita, selalu saling bersaing, iri hati, bahkan dengan wanita lain yang tidak dikenalnya.

Sebenarnya Jati lebih suka rumah itu ada penghuninya. Sebelumnya hanya rumah kosong dengan alang-alang setinggi manusia dewasa. Pohonnya besar-besar dengan buah-buahan yang penuh setiap tahun, tetapi tak ada yang pernah mengambilnya.

Konon rumah itu milik seorang penggede jaman Belanda. Ahli warisnya entah dimana. Namun hampir sebulan ini, rumah itu sudah dihuni oleh seorang perempuan yang telah mengubah padang alang-alang itu menjadi taman bunga.

Ketika pindah ke gang itu, Jati tak menyadari ada rumah kuno persis di depan rumahnya. Pagar batu bata itu sudah rusak, dan beberapa lempengan seng disandarkan di pagar, jadi rumah tua itu tidak terlihat dari jalan.

Alang-alangnya begitu rimbun, mungkin saja banyak ular yang bersarang di sana karena saking rimbunnya. Anak-anak kecil pun tak berani mendekat, dan mereka menyebutnya rumah hantu.

Setelah ada perempuan itu, rumah lebih hidup. Setidaknya ada lampu di malam hari dan tidak terkesan seram lagi. Bu Anna tinggal sendirian saja. Ratih dan Jati tak pernah melihat orang lain selain dia.

Rumah itu juga dicat putih dengan kusen-kusen coklat tua. Jati tak tahu pasti, kapan rumah itu dicat. Mungkin para tukang bekerja siang hari saat dia berada di kantor.

Di deretan jalan itu, hanya rumah kuno itu yang masih memiliki halaman luas dengan pepohonan yang rimbun. Letaknya memang di pinggiran kota, dan jalan di depannya hanya bisa dilalui satu mobil. Rumah-rumahnya di jalan itu sebagian besar sudah model baru, tak ada lagi bangunan lama.

Orang sekampung mempertanyakan perempuan itu. Tinggal di rumah tua sendirian, merupakan hal yang aneh bagi para tetangga. Dan dia nyaris tak pernah keluar rumah selain berada di kebunnya.

"Apa dia tidak takut ya?" tanya seorang tetangga pada Jati.

"Iyaa, aku saja ngeri," jawab Jati.

"Jangan-jangan," kata si tetangga.

"Maksudmu dia wanita jadi-jadian gitu?"

"Tidak mungkin deh wanita berani tinggal sendirian di situ."

"Rumah itu seperti rumah hantu."

Ketika rumah itu mulai dihuni, ketua RT menyebut sebuah nama, Anna. Ratih dan Jati sendiri belum pernah berkenalan langsung meskipun rumah mereka berhadapan.

Istrinya sedikit kesal dengan perempuan itu. Tapi Jati  jelas dia tak mau pusing dengan segala macam persoalan rumah yang seperti itu. Dia tahu benar bahwa masalah itu muncul karena pikiran istrinya sendiri, beberapa kali sudah dinasehati untuk tidak memperhatikan perempuan itu, atau perempuan manapun, bila tidak ada urusan. Kalau perlu tak usah basa-basi.

"Sombongnya, aku sudah tersenyum dia diam saja, menunduk," kata istrinya mengagetkan.

"Mama, ada apa lagi?"

"Perempuan itu, membuat aku kecele, aku sudah tersenyum dia diam saja."

"Ya sudahlah Ma, mungkin dia tak melihat."

"Beberapa orang mengalami hal yang sama, lama-lama kok aneh saja, sendirian, tak pernah keluar rumah,  tidak mau bertetangga, padahal sudah sebulan disitu, keluar hanya menyirami kebunnya," kata Ratih.

"Mama, biar sajalah, yang penting tidak mengganggu kita."

"Mengganggu sih tidak, cuma empet saja, apalagi rumahnya pas di depan rumah kita," kata Ratih.

"Orang kan beda-beda, Ma."

Saat akan berangkat ke kantor, Jati melihat seorang perempuan berambut panjang sedang berjongkok menyiangi rumput. Dengan mengenakan topi, dia membungkuk membelakangi jalan. Lelaki itu pun tak jadi menyapanya.

Perempuan itu juga menggunting daun-daun bunga semak dan memasukkan ke dalam keranjang sampah plastik. Sepertinya perempuan itu sedikit aneh, selalu menunduk dan menghindari tatapan mata dengan orang lain. Beberapa tetangga yang melihatnya pun tak pernah bersapa.

Dengan gaun kembang-kembang itu dia seperti bersuka ria di taman bunga itu, menikmatinya sendirian.  

*  

Minggu pagi sungguh cerah angin meniup pelan mengusik gordin-gordin jendela. Dedaunan berayun lembut. Mengikuti irama samba. Bersama istrinya Jati menikmati kopi pagi dengan santai di ruang tamu.

Keheningan itu berubah, pasangan itu dikejutkan oleh beberapa mobil yang berdatangan dan parkir di jalanan depan rumah. Salah satunya adalah sebuah mobil ambulan dengan lampu di atapnya. Jati menyibakkan gordin untuk melihat ada keributan apa.

Empat orang berbaju seragam rumah sakit mendorong bed beroda. Dan di atas bed beroda itu seseorang berbaring dengan ditutup selimut dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Apakah itu Bu Anna? Kenapa ditutup seluruh tubuhnya.

Jati menarik tangan istrinya dan mengajaknya keluar untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa tetangga juga terlihat hadir ingin tahu.

Seorang lelaki tengah baya berdiri sambil menelpon. Sepertinya seorang lelaki yang ramah dan baik. Jati dan Ratih, mendekatinya untuk menanyakan sesuatu.

"Maaf Pak, boleh saya bertanya, saya dan istri saya tinggal di rumah ini," kata Damar menunjuk rumahnya.

"Oh kenalkan saya Lukas, anak Bu Anna, saya kebetulan tinggal di Surabaya," kata lelaki itu.

"Terus ada apa dengan beliau, untuk apa ambulan itu, apakah beliau sakit?"

"Ini adalah rumah beliau saat masih kecil, sebulan yang lalu saya menyuruh orang untuk membersihkannya dan menanam bunga kesukaan ibu saya, lalu saya mengirim ibu ke sini. Dia ingin sendiri saja."

"Iyaa kami sering melihat beliau menyiram bunga," kata Ratih.

"Sebulan ini tidak pernah ada kabar, kupikir baik-baik saja."

"Emang kenapa?"

"Baru kemarin saya menghubunginya, tetapi telepon tidak diangkat. Lalu saya menyuruh saudara untuk memeriksa, ternyata ibu sudah tidak ada."

"Oh Tuhan, semoga beliau damai di sisiNya."

"Sedihnya, kenapa baru ketahuan sekarang," kata kelaki itu."

"Maksudnya?"

"Kata dokter tadi, ibu sudah meninggal sejak 30 hari yang lalu. Beberapa hari setelah menempati rumah ini. Kanker paru-parunya memang sudah parah."

"Apa?"

Jati dan Ratih saling berpandangan. Bulu kuduknya berdiri, Jati melihat raut muka ketakutan pada Ratih, dia pun memeluk istrinya erat-erat.

"Belum tahu pasti sih, sekitar sebulan lah, nanti akan diotopsi, terima kasih Pak, Bu, saya pamit," kata lelaki itu.

Dia masuk kedalam mobil, dan beberapa mobil termasuk ambulan yang membawa jenasah Bu Anna meninggalkan lokasi itu.

Pasangan suami istri itu tak berkata apa-apa hanya rasa takut yang menyelubungi pikiran mereka. Tanpa melihat rumah tua yang kembali kosong itu mereka masuk ke rumah, lalu menutup pintu dan gordin-gordinya. Jadi selama ini, perempuan yang berkebun itu siapa? Pertanyaan itu berkecamuk di pikiran mereka.

Jakarta, 13 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun