SERIAL SUZANNA FAMILI
Di dunia ini, ada dua kata yang paling aku benci: DEAD LINE! Â Dua kata itu bisa memacu jantungku bekerja dua kali lebih keras. Dan dua kata itu pula yang seringkali membuatku setengah gila. Setiap wartawan pasti merasakan hal yang sama. Liputan yang dilakukan dengan bertaruh nyawa pun tiada artinya kalau sudah lewat dead line, dan liputan itu kemudian menjadi sesuatu yang tak berguna.
Dead lineku besok malam. Tetapi aku mendapatkan kabar bahwa Miss Siska sakit. Dan sakitnya tidak di Jakarta, tetapi di Bandung. Aku hanya berharap Tuhan mencintai wartawan dengan detil, termasuk hubungan kasat mata yang mendalam dengan makhluk bernama dead line.
Aku mengumpulkan kertas-kertas catatan, hasil translate dari rekaman beberapa hari ini, dan memasukkannya di komputer. Salah satu sifat buruk seorang wartawan adalah menunda pekerjaan, sampai batas dead line memacu andrenalin mereka baru mereka tergerak untuk bekerja. Dan aku juga termasuk salah satu yang terinveksi virus itu.
Karena majalah mingguan, aku relatif lebih santai. Awal minggu, setelah lepas dead line minggu sebelumnya, adalah memburu nara sumber. Ini bagian tersulit, tetapi juga bisa mundur waktunya kalau sedang tak beruntung menemukan sumbernya. Setelah itu fase kedua, fase translate hasil wawancara dan mencari sumber bacaan sebagai menguat. Bagian terakhir adalah finising. Yaitu penulisan laporan secara utuh.
Beberapa hari lalu memang aku tak terlalu kesulitan menemukan sumber. Sampai pada tahapan kedua, semuanya juga berjalan mulus. Dan pada fase ini, aku menyempatkan bersantai bersenang-senang dan membiarkan pekerjaan terbengkelai, tepatnya menunda pekerjaan sambil menunggu waktu dead line tiba.
Ketika Lavenia puteri miss Siska menelponku bahwa ibunya dirawat di sebuah rumah sakit di Bandung, aku kelabakan. Orang sakit tak bisa ditunda, persis seperti juga dengan dead line. Tetapi karena Miss Siska sudah seperti ibuku sendiri, tak heran biarpun besok dead line, aku memilih untuk menjenguknya. Dan kini aku ngebut, Â semoga bisa mengejar dead line.
Aku turun dari kereta pukul sepuluh pagi. Langsung mencari taksi menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bergegas aku menyusuri koridor rumah sakit itu. Rasa was-was, rasa rindu, menyatu dalam jiwaku.
Aku memasuki bangsal kelas satu, untuk pasien penyakit dalam. Hatiku berdebaran, menyibakkan gordin-gordin putih yang melambai riang. Detak sepatuku memukul-mukul lantai keramik putih yang mengkilat itu.
Aku membuka gordin paling ujung, gordin itu tertutup dengan rapat, seakan orang yang ada di dalamnya tidak mau diganggu. Lalu aku dekatkan telingaku ke balik gordin itu. Tak ada suara, yang ada hanya dengus nafas tua yang mengeluarkan suara pelan, hanya mirip suara dengkuran. Aku yakin pasti pasien di dalam gordin itu sedang sendirian.
Aku sibakkan gordin itu pelan. Kudongakkan wajahku ke dalam ruangan kecil itu. Dan di kasur, berbaring seorang perempuan tua, tertidur dan terlihat letih. Aku masuk perlahan, dan melihat suasana sekitar. Ada meja kecil dengan makanan rumah sakit yang belum dibuka. Lalu beberapa cangkir berisi teh yang belum diminum, dan jarum infus masih menancap di salah satu punggung tangan keriput itu.