Aku harus dapat uang tambahan, karena kuliah itu memang mahal adanya.
Itu yang selalu ada di pikiranku saat ada buku tebal yang harus ku beli, maka tawaran untuk menjadi teman belajar seorang bocah SD ku terima saja.
"pelajaran kelas 4 SD pasti aku menguasai" pikir ku
Setiap malam kecuali malam sabtu dan minggu, aku berangkat ke rumahnya. Hanya beberapa blok saja dari tempat tinggalku.
Anak ini bernama Fitra Rahaditya, panggilannya Adit. Seorang anak kurus, berambut cepak dan saat itu tidak mau makan makanan lain selain dengan ayam ala KFC. Agak susah mengajari anak ini, susah fokus, tidak suka baca, tidak ada keinginan untuk menjadi bintang, karena yang dia suka hanyalah Play Station dan bermain di luar. Dia tinggal bersama orang tua tunggal, seorang perempuan yang bekerja menggunakan kereta, terbiasa pulang sore atau menuju malam. Adit bilang Ayahnya ada di kota lain dan jarang menelpon apalagi bertemu.
Adit terbiasa pulang sekolah sendiri, di rumah sendiri main Play Station atau main di luar bersama dengan temannya. Ia sering lakukan ini sampai Ibunya pulang bekerja, lalu makan ayam goreng tepung yang dibawa Ibunya.
Itu lah kebiasaan Adit yang ku tangkap selama 2 bulan ini. Pantas saja dia tidak terlalu lancar membaca dan tidak hafal perkalian diatas 5.
Berat mengajarkan hal-hal akademis untuk Adit.
Peranku ternyata bertambah, bersama Adit aku pun menjadi Kakak yang mendengarkan keluh kesahnya. Aku akhirnya tahu nama temannya yang jago silat, temannya sering dispensasi karena menjadi model cilik, dan temannya yang sering ia bagi uang jajan agar menemaninya saat istirahat.
Tidak banyak kemajuan yang berarti selama dua bulan aku menjadi teman belajarnya, membaca masih terbata-bata, perkalian sampai 5 lancar, selanjutnya masih harus lebih belajar.
"Punten ya, Bu. Belum ada kemajuan Adit nya"
"Ada kok, A. Minimal Adit sekarang jadi punya teman belajar"
Di bulan ke tiga, aku mulai mengetahui bahwa Adit adalah seorang anak yang berbeda dari teman sebayannya. Suatu waktu aku datang, aku mendapati dia sedang menangis. Dia tidak menjawab saat ku tanya, buku yang ku siapkan untuknya tidak diliriknya, apakah hari ini aku hanya melihat dia nangis saja?
"Dit, yuk mulai belajarnya"
Tidak dia gubris
"Dit"
"Dit"
Â
Aku mulai melihat ke arahnya, dia tidak menangis lagi tapi raut mukanya masih sangat sedih.
"Dit, kenapa? Mau cerita?"
Raut mukanya berubah, sedikit sedih lagi lalu kemudian cerita mengenai kesedihannya. Sekitar setengah jam dia bercerita mengenai keinginannya untuk mempunyai handphone baru biar bisa nambah game baru di handphone, tetapi ditolak Ibunya. Dia pun menyampaikan hal ini kepada Ayahnya, tetapi Ayahnya tidak merespon saat diberi pesan pendek dan tidak dijawab saat Adit menelponnya.
Dia bercerita hal ini berulang-ulang khas anak-anak dengan berbahasa Indonesia campur bahasa sunda khas Bandung.
Setelah bercerita, dia mau melirik buku yang dari tadi sudah ku siapkan. Hari itu aku tidak terlalu mengerti yang ku lakukan saat itu, yang pasti hari itu mau belajar mengenai ASEAN dan tidak terlalu terbata-bata di perkalian 7.
Selesai dari sana, malam itu aku pulang dengan berjalan kaki. Sedikit melamun atau mungkin bisa disebut merenung, betapa aku beruntung lahir di keluarga dengan orang tua yang lengkap walaupun sering dikejar-kejar keterbatasan uang.
Beberapa minggu setelahnya, tidak banyak kelakuan Adit yang membuat tercengang, entah karena aku sudah terbiasa atau memang cuma sebatas manja saja Adit itu. Dia memang susah dalam hal akademik, itu yang selalu ada di pikiranku. Aku pun tidak bisa berharap banyak, itu juga yang ku sampaikan kepada Ibunya.
Saat akan belajar bersama Adit, seperti malam-malam sebelumnya, Ibunya Adit ada di teras sambil merokok dan baca koran pagi yang ku pikir tidak sempat ia baca. Hanya kopi yang tidak ada, kalau harus disamakan dengan kebiasaan Ayahku di rumah.
Saat adit sedang belajar menulis kalimat bahasa indonesia, dia berkata dengan suara pelan.
"Kak, minggu depan Ibu ulang tahun. Adit udah nabung buat beliin hadiah ulang tahun untuk Ibu"
"mau beli apa, Dit?"
"ga tau, Kak. Menurut Kakak apa ya?"
Aku pun bingung ditanya seperti itu. Aku menyarankan.
"Adit beli aja sesuatu yang Ibu suka, lalu sesuaikan dengan uang yang sudah Adit tabung" sok bijak, pikirku dalam hati.
Dia pun terlihat berpikir sejenak. Selesai membuat beberapa kalimat bahasa indonesia, sesi belajar hari itu pun berakhir. Aku pamit kepada Adit dan Ibunya.
Besok saat sesi belajar, Adit belum menemukan hadiah yang cocok untuk Ibunya.
"memang uang yang sudah Adit kumpulkan berapa?"
"ada 300ribu, Kak"
"mungkin Adit bisa beliin Ibu baju baru, atau sepatu baru"
"oh iya ya"
Hari itu, aku agak sedikit flu karena sering kehujanan saat pulang kuliah. Walaupun begitu, aku masih sanggup untuk menjadi teman belajarnya Adit malam itu.
Saat masuk keluar belajar, Adit terlihat tidak senang melihatku karena dia tidak sabar untuk besok untuk memberi hadiah kepada Ibunya.
"Kak, aku jadinya beli ini untuk ulang tahun Ibu"
Alangkah terkejutnya diriku saat dia menunjukan satu slop rokok Marlboro.
"aku beli ini, karena Ibu suka ngerokok. Besok aku mau beli kertas kadonya" imbuhnya senang.
Ia menyimpan slop rokok itu di laci paling bawah dan dihalangi oleh buku, tentu saja agar Ibunya tidak tahu, karena ini adalah kejutan.
Aku kaget, tidak bisa berkata-kata, untuk senyum pun rasanya berat. Aku berada dalam kebingungan ketika melanjutkan menghabiskan satu jam bersama Adit untuk belajar bersamanya.
Sungguh Adit adalah seorang anak manis yang sialnya gagal menjadi perekat Ibu dan Ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H