Korea Utara, dan tantangan ekonomi yang dihadapinya
Korea Utara adalah salah satu negara di Asia Timur yang juga berbatasan langsung dengan Korea Selatan dan Tiongkok. tapi, dibalik banyaknya ketegangan dan konflik di perbatasan kedua negara tersebut yang berada di semenanjung Korea. bukanya menjadi terbuka dan banyak informasi yang tersebar. Korut justru menutup diri untuk menyebarkan informasinya ke dunia luar.
Korea Utara merupakan negara yang sangat mengisolasikan negaranya, sistem pasar dan industri yang ada juga sangat berbeda dengan kebanyakan negara lain di dunia. Pemerintah masih sangat tersentralisasi dan hampir semua kegiatan ekonomi diatur secara ketat oleh negara. Hal ini berdampak besar terhadap peluang kerja, karena sektor publik dan swasta saling terkait erat dan hanya sedikit lapangan kerja independen yang tersedia.
Sebagian besar pekerjaan yang tersedia dalam angkatan kerja Korea Utara dimilik pemerintah atau serikat pekerja dan beroperasi dibawah arahan dan kendali negara, pada tahun 2019, perkiraan total angkatan kerja di Korea Utara adalah sekitar 15 juta orang, dan lebih dari separuhnya menganggur.
Karena banyaknya pengangguran dan minimnya penghasilan yang didapatkan oleh rakyat, seperti pada tahun 2023 Perkiraan pendapatan nasional bruto (per kapita) Korea Utara adalah $1.147 per orang, jika dibandingkan dengan Indonesia, Produk Domestik Bruto negara kita pada tahun 2023 adalah $4.919 per orang. Pendapatan per kapita suatu negara dihitung dengan membagi pendapatan nasional negara tersebut dengan jumlah penduduknya.
Penurunan ekonomi di Korea Utara dipengaruhi oleh keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di negara, seperti yang di sebutkan diatas, hampir separuh dari angkatan kerja di Korea Utara menganggur, ditambah dengan iklim politik Korea Utara yang otoriter, rakyat dikendalikan ketat oleh negara, serta isolasi dari dunia luar.
Kebebasan berekspresi sangat terbatas, penduduk dibbuat tidak dapat mengkeritik pemerintah atau kebijakan yang dibuat tanpa mendapat resiko hukuman berat, tarmasuk penjara atau kerja paksa, akses terhadap informasi luar juga sangat dibatasi. Media masa dikontrol oleh negara, dan hukuman berat dijatuhkan kepada siapa saja yang ketahuan mengakses berita asing atau hiburan dari luar.
Ketidakpastian Ekonomi
Sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan, sistem ekonomi yang sentralistik dan sanksi internasional membuat ekonomi negara tidak berkembang. Banyak warga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Krisis pangan terus menjadi masalah kronis. Kelaparan sering kali terjadi, terutama di daerah pedesaan, meskipun pemerintah berusaha menjaga ketersediaan pangan melalui sistem distribusi.
Sistem distribusi di Korea Utara didasarkan pada sistem ransum negara, di mana pemerintah mendistribusikan kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar kepada warga berdasarkan hierarki sosial atau pekerjaan mereka. Sistem ini bergantung pada Public Distribution System (PDS), yang sering kali gagal menyediakan kebutuhan karena krisis ekonomi dan kelangkaan sumber daya.
Sebagian besar penduduk, terutama di luar Pyongyang, harus bergantung pada pasar gelap atau pasar jangmadang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar ini telah menjadi bagian dari ekonomi informal yang besaar di Korea Utara sejak bencana kelaparan di tahun 1990an. Distribusi sering kali tidak adil dan dipengaruhi oleh status sosial dan politik warga.
Jangmadang : Pasar Gelap di Korea Utara
Sedikit sejarah tentang pasar gelap Jangmadang, setelah perang dingin berakhir, krisis terjadi dimana-mana, termasuk Uni Soviet yang merupakan induk dari Korea Utara, refornasi yang dilakukan Mikhail Gorbachev menjadi akhir bagi ke digdayaanya Uni Soviet. Runtuhnya Uni Soviet turut mengubah situasi di Korea Utara dengan sangat cepat, Uni Soviet yang selama ini telah menjadi salah satu sumber dana utama Korut telah berakhir untuk selamanya.
Hal ini menyebabkan berbagai sistem di Korut mengalami guncangan hebat. Korea Utara secara de facto telah bangkrut. Sistem kesehatan dan pelayanan umum gratis dicabut. Ditengah buruknya situasi gagal panen besar-besaran juga terjadi pada pertengahan tahun 1995, itu yang menyebabkan sistem distribusi umum tidak dapat dilakukan.
Korea Utara memasuki era kelaparan paling parah sejak tahun 1995. Sekitar 3 juta orang mati kelaparan. Meski kematian yang tercatat sudah jutaan jiwa, pemerintahan korea dengan khas kediktatoranya tetap menolak untuk melakukan impor bahan makanan, karena lebih mengutamakan militer dari pada rakyatnya yang kelaparan, pemerintahan tetap berusaha memulihkan keadaan secara mandiri dengan membentuk “Zona perdagangan Bebas Najin-Sonbong” usaha itu mengalami kegagalan.
Insting bertahan hidup, melalui pasar gelap
Masyarakat yang lapar akhirnya mulai melakukan tindakan-tindakan yang melawan regulasi demi mengisi perut. Kepercayaan rakyat terhadap rezim pemerintahan sudah menurun dan tidak lagi menunggu situasi kembali seperti semula.
Korut sebagai negara dengan sistem ekonomi sosialis, melarang keras adanya pasar rakyat dan penjualan swasta, semua kegiatan jual beli di awasi dan di regulasi oleh pemerintah, namun sebagai Homo Sapiens yang dibekali insting bertahan hidup, para penjual dan pembeli bertransaksi di tempat rahasia. Dan pasar yang notabene produk kapitalis pun efektif untuk menahan laju kelaparan, banyak masyarakat terbantu dengan adanya pasar Jangmadang ini.
Selain tempat bertransaksi untuk mengisi perut, Jangmadang juga menjadi cara rakyat melihat keluar jendela, sebagai pasar gelap. Banyak barang barang terlarang yang dijual seperti USB dan CD berisi film, music, serial drama, bahkan culture dari negara saudaranya Korea Selatan, hal ini merubah perspektif generasi muda saat itu terhadap propaganda pemerintah yang menyebut Korea Utara tempat termakmur, dan Korea Selatan merupakan negara miskin.
Generasi muda melihat sebuah kenyataan yang berbanding terbalik, mereka sadar selama ini dibohongi, Korea Utara yang dipercaya menjadi tempat ter-aman, ter-makmur dan ter-kuat, menjadi tempat tanpa kebebasan dan tertutupi bayang-bayang utopia palsu.
Kim Jong Un dan ciri kepemimpinanya
Diktator Korea Utara ini, memiliki hobi untuk mengembangkan rudal balistik berhulu ledak nuklir, anggaran yang seharusnya bisa di salurkan untuk kepentingan rakyat seperti untuk memajukan ekonomi, pendidikan, pembangunan dan infrastruktur, digunakan untuk pengembangan militer yang tak pernah berkesudahan. Dibawah kepemimpinannya, sebagai penerus ayahnya Kim Jong Il ia merupakan generasi ketiga dari generasi Kim yang memerintah negara tersebut sejak 1948, dikenal dengan otoriter dan hanya berfokus pada program pengembangan nuklir yang terus menjadi perhatian internasional, karena dampak progress dari perkembanganya adalah “perang”.
Korea Utara mengalami isolasi internasional, dibawah kepemimpinannya ekonominya tertekan akibat sanksi internasional, itu salah satu factor yang mengakibatkan economic decreased di Korea Utara. Meski dewan keamanan PBB memperingatkan tentang situasi yang mengkhawatirkan tentang peng-isolasian diri Korea Utara dari dunia luar, nampaknya belum ada respon positif untuk negara tersebut mulai “membuka diri” untuk membenahi kestabilan dengan dunia internasional.
DPRK, Democratic Peoples Republic of Korea nampaknya menjadi ironi karena demokrasi tidak terjadi disini, Komisaris tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, menyampaikan bahwa Korea Utara merupakan lingkungan yang menyesakkan, dimana kehidupan adalah perjuangan sehari-hari tanpa harapan. Selain ekonomi yang buruk, Turk mengutip beberapa masalah krusial yang memperburuk kondisi di Korea Utara, penindasan kebebasan bergerak dan berekspresi, kondisi social-ekonomi yang buruk, serta praktik kerja paksa yang meresahkan. Alih alih bekerja untuk mendapatkan kemakmuran, rakyat justru bekerja tanpa memiliki hak sebagai pekerja dan makin menderita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H