Aparat penegak hukum wajib melindungi keamanan masyarakat dan negara bertanggung jawab menghormati hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan semua orang, termasuk mereka yang diduga melakukan kejahatan. Penggunaan kekuatan harus sesuai dengan standar-standar internasional seperti Kode Etik PBB untuk Aparat Penegak Hukum 1979 (CCLEO) dan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum 1990 (BPUFF). Kedua instrumen internasional ini berlaku untuk aparat penegak hukum dari institusi mana pun, termasuk personil militer yang memiliki kewenangan menangkap dan menahan seseorang. Instrumen internasional tersebut telah menjadi rujukan kunci bagi penggunaan kekuatan dan senjata api yang bertanggung jawab oleh penegak hokum, termasuk aparat kepolisian yang sedang tidak bertugas. Dalam kedua instrumen di atas, aparat keamanan dapat menggunakan kekuatan hanya jika benar-benar diperlukan saat bertugas. BPUFF secara gamblang menyatakan bahwa penegak hukum tidak boleh menggunakan kekuatan yang mematikan kecuali di situasi yang mewajibkan mereka untuk mempertahankan atau menghindari dirinya atau orang lain dari ancaman yang mematikan atau dapat menimbulkan cedera serius. Penggunaan kekuatan yang mematikan dengan sengaja hanya dapat digunakan jika tidak terelakkan untuk melindungi nyawa. Senjata api tidak boleh digunakan untuk membubarkan perkumpulan massa dan penembakan yang acak dan tanpa pertimbangan (indiscriminate firing) adalah tindakan di luar hukum. Alhasil, tujuan utama penggunaan senjata api adalah untuk melindungi nyawa. Tentunya aparat penegak hukum menghadapi situasi yang dinamis dalam menjalankan tugas dan respons mereka kerap bergantung pada keadaan, penilaian atas ancaman, kemampuan, ketersediaan peralatan, dan lain-lain. Alhasil, terdapat ruang kebijaksanaan personal untuk menentukan respons yang diperlukan. Namun, ruang tersebut wajib ditempatkan dan diperlakukan dalam bingkai hukum yang jelas, khususnya di kondisi saat kekuatan digunakan. Kekuatan hanya dapat digunakan atas dasar penghormatan terhadap hukum dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap HAM. Dengan demikian, penggunaan kekuatan wajib mengikuti empat prinsip, legalitas, keperluan (nesesitas), kewajaran (proporsionalitas), dan akuntabilitas.
KASUS PENYELEWENGAN KEKUATAN APARAT TERHADAP MASYARAKAT DI INDONESIA
Komnas HAM menyatakan menemukan fakta bahwa Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menggunakan kekuatan berlebihan dalam peristiwa kekerasan di Desa Wadas.
Konflik ini berlatar belakang rencana pemerintah dalam membuka penambangan terbuka batuan andesit yang berada di wilayah desa tersebut untuk dijadikan bahan baku pembangunan Bendungan Bener yang masih satu kecamatan dengan wilayah desa ini. Menurut masyarakat setempat, penambangan batu ini akan merusak lingkungan desa.
Konflik di antara kedua pihak membesar pada April 2021 dan Februari 2022, dengan laporan dari masyarakat bahwa beberapa warga mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi. Dari kedua peristiwa itu, sedikitnya total 78 orang dari pihak warga Desa Wadas ditahan oleh pihak kepolisian.
Warga wadas dihadapi oleh berbagai ancaman, seperti tindakan refresif aparat saat menyuarakan penolakan tambang, ancaman konsinyasi, sehingga para rakyat merasa takut. “kami selalu diintimidasi, besok kalau gak kasih berkas (tanah), akan dikonsinyasi dan tidak dapat apa-apa”
Konsinyasi sendiri merupakan mekanisme yang diatur dalam UU pengadaan tanah untuk kepentingan publik, pemerintah bisa memaksa mengambil tanah milik warga dan menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan setempat.
Beberapa pihak mengritisi masalah yang terjadi di Wadas. Agung Wardana, dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa alasan pengadaan tanah sebagai kepentingan umum tidak tepat digunakan untuk kepentingan penambangan. Ia menilai bahwa proyek bendungan dan tambang merupakan dua proyek yang berbeda sehingga tidak dapat menggunakan skema pengadaan tanah yang sama.
Kasus Kanjuruhan, Bukti buruknya hukum dan penegakan keadilan.
Berawal dari beberapa orang pendukung Arema FC kemudian merangsek masuk ke lapangan untuk memberi semangat ke pemain tuan rumah. Polisi kemudian merangsek ke para pendukung Arema itu. Cilakanya, mereka kemudian menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Tribun yang disesaki pendukung tuan rumah itu pun berubah jadi neraka. Asap pekat yang membuat dada sesak dan mata perih itu membuat ribuan orang kocar-kacir menuju pintu keluar. Terjadilah tragedi tersebut, pintu keluar yang kecil dan terbatas membuat penonton bertumpuk dan akhirnya saling injak. Korban tewas pun tak terhindar.