Hak mahasiswa terkait kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai juga berada dalam ancaman. Misalnya, terdapat anggota dari organisasi mahasiwa yang menerima serangan digital dan ancaman pembunuhan setelah mereka mengumumkan rencana untuk menggelar sebuah diskusi tentang kerangka hukum pemakzulan presiden dalam perspektif hukum konstitusi.
Terkait Papua, revisi UU Otsus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang membarui kewenangan pemerintah pusat menjadi lebih besar atas urusan daerah, sehingga berpotensi melemahkan otonomi institusi di Papua serta menghapus hak masyarakat Papua untuk mendirikan partai politik. Peraturan tersebut kemudian memicu sejumlah demonstrasi di Papua dan wilayah lain di Indonesia, yang mana kemudian aparat keamanan Indonesia merespon demonstrasi tersebut dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Sejumlah demonstran dipukuli, dilecehkan secara rasial, ditahan, dan ditangkap. Diskusi publik terkait UU Otsus pun juga direpresi. Saat Majelis Rakyat Papua (MRP), sebuah lembaga negara yang didirikan atas mandat yang diberikan di dalam UU Otsus, merencanakan untuk mengadakan diskusi publik terkait implementasi UU Otsus, dua anggota dan staf MRP ditahan atas dugaan makar.
Selama tiga tahun terakhir, pemerintah beberapa kali memutus atau membatasi akses internet di berbagai wilayah di Papua dan Papua Barat. Salah satunya terjadi di bulan Agustus-September 2019, saat terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran terkait anti-rasisme. Pihak berwenang mengklaim bahwa kebijakan tersebut diperlukan guna demi mencegah penyebaran berita bohong. Kebijakan pemutusan internet ini membatasi hak asasi masyarakat Papua dan Papua Barat, mencederai hak mereka atas kebebasan berekspresi, akses informasi, berkumpul secara damai, serta hak ekonomi dan sosial.
Walaupun pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menyatakan bahwa perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas, nyatanya terdapat kemunduran dalam penegakkan HAM dan reformasi hukum. Penerapan peraturan-peraturan yang represif memperparah kemunduran kebebasan sipil dan meningkatkan iklim ketakutan untuk berpendapat di dunia digital. Ketika masyarakat sipil menyuarakan kritik dan ‘turun’ ke jalan, mereka kerap dihadapkan dengan respon keras aparat keamanan. Aktivis, awak media, pengajar, termasuk juga ruang sipil tempat mereka bekerja, diserang, alih-alih didukung dan dilindungi oleh pemerintah.
Walaupun pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menyatakan bahwa perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas, nyatanya terdapat kemunduran dalam penegakkan HAM dan reformasi hukum. Penerapan peraturan-peraturan yang represif memperparah kemunduran kebebasan sipil dan meningkatkan iklim ketakutan untuk berpendapat di dunia digital. Ketika masyarakat sipil menyuarakan kritik dan ‘turun’ ke jalan, mereka kerap dihadapkan dengan respon keras aparat keamanan. Aktivis, awak media, pengajar, termasuk juga ruang sipil tempat mereka bekerja, diserang, alih-alih didukung dan dilindungi oleh pemerintah.
Â
Hukum Hak Asasi Manusia
KEBEBASAN BEREKSPRESI, BERKUMPUL DAN
BERSERIKAT SECARA DAMAI, DAN RUANG MASYARAKAT
SIPIL
Hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul dan berserikat secara damai diatur dalam Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR); di mana Indonesia merupakan negara pihak sejak 2006. Namun, penting untuk dicatat bahwa Indonesia belum menjadi negara pihak pada Protokol Opsional Pertama ICCPR yang memuat mekanisme pengaduan bagi individu yang merasa hak nya terlanggar serta Protokol Opsional Kedua ICCPR untuk penghapusan hukuman mati.