"Hmm ga tahu, Pak. Warungnya udah tutup kali.", jawabku apa adanya. Aku orang China yang tidak banyak mengetahui tradisi nenek moyangku sendiri.
Namun pertanyaan dan candaan nyeleneh itu tidak kalah mengherankan kalau dibandingkan dengan saat orang-orang tahu aku mahasiswa Al Azhar. Aku tidak bisa menghitung berapa banyak percakapan itu aku alami. Setiap kali, bahkan hingga kini, aku heran terhadap sterotipe yang disematkan padaku.Â
Hanya karena mataku sipit? Kulitku putih pucat? Al Azhar Indonesia itu universitas bukan tempat ibadah. Mengapa aneh? Tidak berlebihan kalau kubilang aku bermimpi kelak hal-hal itu tidak lagi dipertanyakan. Tanyakan sajalah aku sudah menikah atau belum... Belum. Atau tanyakan berat badanku berapa... Aku akan pura-pura tidak mendengar. Aku jengah menjelaskan kenapa aku kuliah di Al Azhar.
Jika ku ingat aku bertekad untuk tidak bersosialisasi, maka kehangatan dari teman-teman lah yang membuatku akhirnya menjadi wakil ketua himpunan mahasiswa di kampus. Meskipun seringnya kalau ikut acara lintas fakultas, aku dikira jurusan sastra China. Demi kemudahan, aku mengangguk saja mengiyakan.
Menjadi seorang minoritas memang menantang tapi ini adalah didikan dan berkat yang terbaik. Tuhan berbaik hati mengarahkan aku pada situasi sulit supaya aku belajar dan kelak aku bisa mengajar... Membagikan kisah ini pun bisa jadi adalah salah satu sebab mengapa aku harus melewati itu semua.Â
Dengan lantang kini aku bisa bercerita tentang keberanian untuk melawan hati yang sudah patah mau menyerah... Tentang mereka yang berbeda keyakinan dan latar belakang dengan kita, namun mau menangis bersama saat kita terluka. Tentang para pendidik yang menginspirasi dan membuatku mencintai belajar... Aku tidak akan mendapatkan itu semua jikalau hatiku sudah kecut melihat informasi beasiswa di laman website Universitas Al Azhar Indonesia.
Aku sadar tidak semua orang memiliki kisah semanis aku sebagai minoritas. Aku bersimpati dan berharap kelak masyarakat bisa lebih terdidik untuk melihat lebih dari sekedar ras dan agama. Teriakan mereka yang tertindas selalu terdengar pilu dan menyayat hati. Namun ada pula kisah manis sebagai seorang minoritas seperti yang ku alami ini.
Terlebih lagi kalau kuingat tentang ospek kampusku. Berhari-hari aku menginap di suatu ruangan lingkungan masjid Al Azhar. Teman-teman dan kakak kelasku menolongku dengan berbagai hal yang sulit kuurus sendiri. Suatu hari mereka ribut mendandaniku menggunakan hijab sebagai ketentuan mengikuti ospek. Sebenarnya mungkin saja aku bisa berargumen untuk menolaknya. Tapi lagi-lagi, memperoleh pengalaman itu lebih penting bagiku. Apa salahnya memang? Aku senang-senang saja.
Bagi kalian yang mungkin saat ini berada di posisiku saat itu, menjadi seorang minoritas, milikilah sikap yang fleksibel dan cerdik beradaptasi. Janganlah memiliki pemikiran yang terlalu mudah tersulut.Â
Kita tidak boleh menerima perlakukan diskriminasi, aku setuju. Tapi sudahkah kita memulai dengan prasangka yang baik dengan saudara kita yang berbeda itu? Aku yang bisa melalui perkuliahan ku dengan penuh makna tidak lepas dari keberuntunganku berada di tengah orang-orang terdidik. Maka, didiklah dirimu sendiri. Bukan gelar yang kubicarakan, tapi nuranimu untuk melihat dan menilai.
Manusia itu seperti halnya dengan gelombang cahaya. Sensor mata manusia terbatas hanya bisa mendeteksi 390 sampai 700 nanometer gelombang cahaya. Namun sejatinya masih begitu kaya dan berwarna apa yang tidak bisa kita lihat. Bukankah terlalu dangkal pikiranmu kalau kau mengira kau bisa mengadili seseorang hanya dengan terbatasnya apa yang bisa ditangkap matamu? Bukankah baik kalau kita semua bisa lebih bijaksana menerima bahwa mereka yang berbeda pun, adalah bagian dari gelombang cahaya yang selama ini belum pernah kita lihat.