Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengalaman Berkesan Menjadi Guru Relawan Anak-anak TKI di Johor Bahru

30 Mei 2020   13:07 Diperbarui: 31 Mei 2020   03:47 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara kemerdekaan di konsulat jenderal Indonesia di Johor Bahru (sumber: dokumentasi pribadi)

Bulan Agustus tahun lalu adalah bulan yang istimewa untukku. Aku berkesempatan mengikuti sebuah program dari organisasi International Youth Program (IYP) untuk menjadi seorang guru relawan di Johor Bahru, Malaysia. Terlebih lagi, anak-anak yang akan aku ajar adalah anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Terbayang aku bagaimana nanti bisa berkenalan dengan mereka. Aku bertekad untuk meninggalkan kesan yang baik dan pelajaran yang berguna selama aku di sana.

Program ini memang sangat singkat, tidak sampai satu minggu. Namun tidak berlebihan kalau kubilang pengalamanku di sana memperkayaku untuk durasi yang sangat lama. Besar harapanku kelak bisa kembali ke sana.

Sekitar satu minggu sebelum aku berangkat, pihak IYP menghubungkan aku dengan relawan lainnya dalam sebuah grup whatsapp. Kami bisa memilih untuk fokus pada tiga bidang: pendidikan, kesehatan dan budaya.

Tentu saja aku memilih pendidikan. Kami, para relawan, diminta mempersiapkan program-program yang ingin kami lakukan selama di Johor.

Aku mendapat bagian untuk bertanggung jawab tentang pendidikan sains bagi anak-anak. Rasanya detail sekali yang kami rencanakan. Setelah sampai di rumah persinggahan di Johor pun, kami masih rapat sampai lewat tengah malam untuk memastikan kegiatan relawan ini akan lancar.

Sebelum tiba di mana esok harinya kami bertemu dengan anak-anak, kami mengikuti upacara perayaan kemerdekaan Indonesia di lingkungan konsulat Indonesia di Johor Bahru. Di sanalah letak anak-anak TKI itu setiap hari datang untuk mengenyam pendidikan.

Upacara berlangsung ramai dan ada suatu kebanggaan tersediri kala menyanyikan Indonesia Raya di negeri orang.

Aku kira akan banyak anak-anak yang akan kutemui di sana, ternyata tidak. Baru kuketahui kemudian kalau mereka tidak leluasa untuk berjalan-jalan keluar.

Tentu saja ini berkaitan dengan status orang tua mereka. Kebetulan juga memang saat itu hari Minggu.

Upacara kemerdekaan di konsulat jenderal Indonesia di Johor Bahru (sumber: dokumentasi pribadi)
Upacara kemerdekaan di konsulat jenderal Indonesia di Johor Bahru (sumber: dokumentasi pribadi)

Sebenarnya di hari-hari lain pun anak-anak itu sangat terbatas untuk pergi ke mana-mana. Di hari sekolah, biasanya akan ada mobil dari Konsulat Indonesia yang akan menjemput mereka. Kemudian setelah jam sekolah selesai, mereka akan diantar kembali dengan mobil itu.

Aku sungguh kagum melihat bagaimana komitmen para pejabat di sana untuk memastikan keamanan anak-anak itu. Padahal rasaku, mereka bisa saja tidak mau ambil pusing.

Tetapi nyatanya, di dalam konsulat disediakan kelas-kelas untuk menampung anak-anak dari kelas 1 SD sampai kelas 9. Ada pula lapangan, perpustakaan dan ruang komputer. Anak-anak itu bersekolah gratis dan diberikan seragam juga. Benar-benar layaknya sekolah!

Namun oleh karena suatu hal yang tidak bisa aku tuliskan di sini, tempat itu tidak dinamakan sekolah, melainkan Indonesian Community Centre (ICC) Johor Bahru.

Tetapi tentu saja bagi orang dalam dan kami yang relawan di sana, tempat itu kami sebut SIJB (Sekolah Indonesia Johor Bahru).

Di SIJB ini memang kelas-kelasnya tidak banyak sehingga harus dipakai bergantian. Ada anak-anak yang mendapat kelas pagi, ada juga yang siang.

Ukuran kelasnya pun tidak besar namun nyaman dan ber-AC. Cukup layak sebagai tempat belajar meskipun jangan dibandingkan dengan dinding kokoh sekolah besar di Jakarta. Para gurunya pun tidak banyak.

Tapi jangan lihat jumlahnya, lihat kualitas dan komitmen mereka! Mereka adalah guru-guru dengan latar belakang luar biasa. Mereka bisa bekerja dengan karier dan penghasilan yang jauh lebih cemerlang.

Tetapi mereka memilih mengabdi untuk mengajar anak-anak TKI itu. Tanpa mereka, tanpa konsulat yang menyediakan wadah dan perlindungan, entah bagaimana nasib kawan-kawan kecil kita di sana.

Di hari Minggu malam, kami relawan merapat lagi untuk diskusi terakhir sebelum pelaksanan kegiatan mengajar. Aku sudah membeli bahan-bahan untuk percobaan sains di kelas, termasuk beberapa topik untuk mengenalkan ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang mumpuni pada mereka.

Segala rencana itu pun berubah karena kami mengamati kalau anak-anak ini sangat tidak familiar dengan negara asalnya sendiri. Mereka lebih mahir berbahasa Melayu dari pada bahasa Indonesia. Mereka memang masih kecil tapi dari usia yang sedemikian dini, mereka sudah merasa akhirnya akan seperti orang tua mereka: tenaga kerja yang entah bagaimana statusnya.

Sekolah benar-benar adalah hiburan mereka dan bagi beberapa keluarga, sekolah adalah tempat penitipan anak. Lalu bagaimana setelah mereka kelas 9 dan lulus dari sana?

Dengan status SIJB yang bukan sekolah resmi, melainkan hanya community centre, akan kemana mereka nanti? Pulang ke Indonesia sangatlah sulit dan pergi melanjutkan pendidikan di Malaysia pun tidak bisa.

Bersyukur hal ini pun dipikirkan oleh para guru dan pihak konsulat karena merekalah yang nanti bekerja keras membantu anak-anak yang sudah lulus.

Aku tidak diperkenankan mengetahui detail pelaksanaannya, namun ku dengar ada salah seorang anak di sana yang berhasil mereka carikan beasiswa dan bisa dipulangkan ke Indonesia.

Pilu memang membayangkan kalau tidak semuanya akan berhasil mendapat jalan nasib demikian. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan manusia yang terbatas ini? Bahkan setingkat konsulat pun...

Aku dan para teman relawan lainnya akhirnya mengganti program kami untuk memberikan semacam kelas inspirasi pada mereka. Tujuan kami ialah agar mereka tidak perlu merasa rendah diri dan putus asa memikirkan bagaimana masa depan mereka.

Bagi beberapa orang, mungkin saja apa yang kami usahakan ini selayaknya omong kosong. Memang kau bisa menjamin kalau mereka rajin belajar dan selalu bersemangat, lalu takdir akan berbaik hati pada mereka? Tentu tidak, kami pun selalu mengingat untuk tidak berjanji apapun di kelas.

Tidak berjanji bahwa kelak akan kembali dan bertemu mereka lagi. Tidak boleh berjanji sedikit pun karena mereka anak-anak yang akan selalu mengingat itu. Menambah lagi panjang daftar kekecewaan mereka adalah hal yang ingin kita hindari.

Hari Senin pun datang dan pagi-pagi para relawan sudah mengenakan topi dan rompi yang seragam. Kami berangkat ke konsulat dan anak-anak sudah berbaris di lapangan hendak upacara bendera. Sehabis upacara itu, kami para relawan maju ke tengah lapangan dan diperkenalkan.

Anak-anak terlihat sangat terkesan dan penasaran. Mereka katanya selalu begitu kalau melihat orang-orang Indonesia lain yang mengunjungi mereka. Lapangan dipenuhi anak-anak kecil, sementara kakak kelas mereka yang kebagian jatah untuk belajar di siang hari tidak banyak terlihat.

Ada beberapa yang nongkrong di pinggir lapangan menunggu upacara selesai untuk bermain bola sampai siang. Semua mata memandang kami dan ribut berbisik-bisik, juga menunjuk-nunjuk. Rasanya seperti selebriti.

Aku bertanggung jawab untuk mengisi kelas 8 dan sesekali membantu teman-teman relawan lain di kelas kecil. Kami sudah mempersiapkan berbagai bingkisan dan hadiah untuk anak-anak.

Seharian itu terdengar suara bising yang menyenangkan. Anak-anak tertarik mendengar cerita kami dan kami pun mengajak mereka merenungkan ingin menjadi apa mereka nanti. Berharap ada keberanian yang bisa kami pupuk dalam hati mereka untuk menatap lurus ke depan dan melangkah maju.

Di secarik kertas, anak-anak menuliskan dengan jujur dan mentah apa yang mereka rasakan tentang diri mereka sendiri. Malamnya, kami para relawan membaca dan menangis. Andaikan saja kami bisa merubah itu semua. Namun pertemuan kami begitu singkat dengan mereka. Selain dari kesan dan inspirasi, apa lagi yang bisa kami tinggalkan?

Hari-hari berikutnya kami lewatkan masih dengan antusiasme yang tinggi dari anak-anak. Para siswa kelas 8 pun tidak ketinggalan curhat colong-colongan mengenai asmara masa remaja mereka.

Para siswi terlihat culas dan tidak mau berdekatan, sementara para siswa tidak berhenti menggoda dan mengganggu. Benar-benar seperti layaknya kelas normal bagiku.

Selain dari kelas inspirasi, budaya dan bahasa Indonesia, kami adakan juga penyuluhan kesehatan bagi mereka. Anak-anak melolot memperhatikan para teman dokter yang kelihatan keren sekali bagi mereka.

Siswa-siswa di ICC (sumber: International Youth Program)
Siswa-siswa di ICC (sumber: International Youth Program)

Di hari terakhir, kami pun mengumpulkan kembali anak-anak di lapangan untuk mengucapkan perpisahan. Beberapa anak menangis karena merasa sudah menemukan sahabat baru. Beberapa anak memberikan bingkisan sederhana. Aku termasuk yang beruntung memperoleh karya seni dari salah satu anak itu.

Ada pula anak-anak yang merasa sangat terhormat dipinjami kamera digital oleh seorang kawan relawan. Lalu anak itu dan beberapa temannya dengan serius mengambil berbagai foto dari kegiatan perpisahan itu.

Beberapa kali anak itu dan temannya bertengkar karena sudah waktunya bergantian mengambil foto. Setelah beberapa rangkulan, lambaian tangan dan proses minta-meminta nama akun instagram, hari itu pun akhirnya selesai. Para guru turut mengantar kami dan kami bersalaman.

Malam harinya kami kedatangan tamu dari pihak konsulat yang mengapresiasi kegiatan kami bagi anak-anak TKI di SIJB. Tamu kami yang juga seorang guru di sana menceritakan pengalamannya sendiri selama mengajar. Sampailah ia akhirnya pada maksud kedatangannya itu bahwa kami tidak diperkenankan menyebarluaskan foto maupun informasi yang bisa membahayakan anak-anak di sana.

Pihak konsulat tidak bisa menjamin keselamatan mereka 24 jam. Terlebih lagi para orangtua yang juga tidak bisa bertindak banyak andaikan ada yang terjadi dengan anak-anak mereka. Oleh karena wejangan itu, maka beberapa foto yang dinilai sensitif hanya tersimpan menjadi kenangan.

Beberapa minggu setelahnya, aku mendapat kabar dari salah satu guru kalau beberapa anak terkena masalah dan ditahan di kepolisian lokal. Pihak konsulat turut membantu karena lagi-lagi, status anak-anak yang dipertanyakan legalitasnya.

Di tengah pandemi ini pun, Malaysia yang memberlakukan lockdown akhirnya membuat anak-anak belajar online. Dikarenakan keterbatasan fasilitas yang mereka punya, sebagian hanya belajar via obrolan whatsapp dengan guru-gurunya.

Meskipun kini aku telah kembali kepada pekerjaanku, aku tidak bisa berhenti mengingat anak-anak itu.

"Aku ingin menjadi menteri pendidikan, Ibu."

"Wah, hebat sekali. Kenapa kau mau jadi menteri pendidikan?"

"Supaya bisa sekolahin orang sampai tinggi."

Aku aminkan. Biarlah kau dengan sigap menatap ke depan, nak. Orang-orang seperti kau akan mengharumkan nama bangsa suatu hari nanti. Lalu aku akan menjadi salah satu orang yang beruntung pernah mengenalmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun