“Oke, Del.”
***
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit berlalu. Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Jam tanganku menunjukkan pukul dua siang. Lembar jawaban ulangan harian fisika kukumpulkan ke meja guru. Andin yang kemarin belajar sampai semalam suntuk, berharap usahanya membuahkan hasil yang memuaskan.
Setelah berdo’a dan menyanyikan lagu Bagimu Negeri, anak-anak menghambur keluar dari kelas. Dilanjutkan dengan melakukan aktifitas masing-masing. Anak kelas sepuluh mempersiapkan kegiatan Pramuka, anak kelas sebelas yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler hari ini pun bergegas menuju tempatnya masing-masing. Andin yang tengah duduk di bangku sebelah timur kantin seolah tak terlihat oleh sekian pasang mata yang berlalu lalang. Pandangannya kosong menatap ke arah kolam ikan yang sudah tak terawat. Andin berjalan pelan melewati tepi lapangan basket. Ia kembali mengingat seluruh memori kenangannya bersama Ello di tempat itu.
“Din?” sapa seseorang.
Suara itu sudah tak asing lagi di telinga Andin. “Ello?” jawab Andin tanpa menoleh. Ia tahu pasti siapa pemilik suara itu.
Seketika Ello duduk di samping Andin dan berkata, “Maafin aku, Din. Bukan maksudku untuk ngasih kamu harapan palsu. Aku emang cowok pengecut! Aku mudah terpengaruh oleh rasa iba. Aku masih mencintaimu, tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperjuangkan cintaku lagi. Aku tahu, aku emang salah. Tapi, asal kamu tahu, dibalik semua itu aku cuma sayang kamu! Hanya kamu, Din!"
“Maksudmu?” Andin tak mengerti.
“Aku punya temen, dari kecil aku udah temenan sama dia. Namanya Rachma. Dua bulan yang lalu, dia bilang kalau dia mencintaiku sejak lama. Dan dia bilang hidupnya udah nggak lama lagi, karena dia didiagnosa menderita leukimia. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya sama aku. Kata ibunya, hanya akulah yang bisa membangkitkan semangat hidupnya.” Ello diam sebentar.
“Aku emang sayang sama Rachma, tapi nggak lebih dari sahabat. Cintaku cuma buat kamu, Din.” sambung Ello.
“Gimana keadaan Rachma sekarang, El?” tanya Andin.