Salah satu tokoh yang dikisahkan pada epic Iliad karya Homerus adalah Achilles. Seorang prajurit tangguh dan pahlawan besar yang bersama bangsa Sparta ikut menyerang negeri Troya. Namun  Achilles akhirnya tewas dalam perang di Troya setelah kakinya tertembus panah yang dilepaskan oleh Paris. Nama Achilles sebagai seorang prajurit yang nyaris tak terkalahkan malah terbunuh oleh sebuah serangan yang tak terduga.Â
Mungkin sebelumnya Achilles sendiri tak pernah mengira bahwa ia akan mati begitu saja oleh sebatang panah yang menembus kakinya. Ya, itulah legenda mengenai Achilles dari tanah Yunani yang sarat mitologi. Ternyata memang tidak ada yang terlalu besar untuk jatuh atau terkalahkan.
Kisah tewasnya Achilles memang tidak diceritakan pada Iliad, tetapi penyebab tewasnya Achilles memberikan pelajaran bahwa sekuat apapun kita, perlu senantiasa waspada, karena banyak hal tidak terduga yang dapat menyebabkan kita jatuh. Termasuk dalam hal bisnis.
Nasib Achilles Seperti Industri Ritel
Jika Achilles ditewaskan oleh sebatang panah, maka dalam era serba digital seperti saat ini banyak sekali raksasa perusahaan ritel yang bernasib seperti Achilles, sebut saja H&M, Debenhams. Perusahaan ritel kelas dunia tersebut benar-benar dibuat  tak berdaya oleh lawan yang tidak terlihat, yaitu e-commerce, sehingga mereka akhirnya mengambil langkah menutup gerai.
Dan hal yang sama juga terjadi di Indonesia, para pemain yang sudah lama malang melintang di industri ritel seperti Matahari atau Ramayana pada 2017 ramai diberitakan menutup gerai. Tidak hanya gerai pertokoan yang mengalami kelesuan, bahkan pusat perbelanjaan seperti Mangga Dua dan Glodok yang dulu menjadi kiblat para pedagang malah mengalami kerugian. Nasib miris yang dialami oleh dunia ritel saat ini disinyalir salah satu penyebabnya adalah e-commerce.Â
Tak dapat dipungkiri e-commerce menjadi pesaing yang tidak terlihat bagi para pelaku usaha ritel. Tidak terlihat secara nyata tapi dampaknya sangat berpengaruh pada kelangsungan usaha konvensional. Apakah 10 atau 20 tahun yang lalu banyak orang akan berpikir mengenai dampaknya digitalisasi? Mungkin tidak banyak.
Perbankan di Era Digital
Jika dunia usaha ritel mengalami nasib seperti itu, lalu bagaimana perbankan? Menarik untuk dibahas. Pada era klasik ketika banyak bank bermunculan, semua berlomba untuk memperluas jaringan dengan beramai-ramai membuka kantor. Teknologi berkembang lalu muncul ATM, internet banking, mobile banking, bermacam-macam inovasi turut mempengaruhi tren di perbankan. Dan itulah yang memang terjadi. Diberitakan oleh banyak media bahwa pada tahun 2016 di Eropa tren digital menyebabkan ditutupnya 9.100 kantor bank. Jumlah itu tidak main-main, sangat banyak.
Mari kita lihat bagaimana dengan perbankan nasional. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2016 jumlah kantor bank di Indonesia sebanyak 32.730, dan pada November 2017 menurun menjadi 32.242. Memang berkurang jumlahnya. Lantas kita simak data untuk transaksi digital.Â
Otoritas Jasa Keuangan mengungkapkan data bahwa pada 2016 transaksi digital adalah sebanyak 405,4 juta transaksi dengan 50,4 juta nasabah, jumlah tersebut melesat cukup jauh dibanding tahun 2012 dimana transaksi digital adalah sebanyak 150,8 juta transaksi dengan jumlah nasabah sebanyak 13,6 juta. Silahkan anda simpulkan sendiri mengenai data transaksi digital tersebut.
Yang jelas memang telah terjadi pergeseran perilaku nasabah. Nasabah memang adalah pelanggan dan pelaku usaha sebagaimana yang bertransaksi sebagai penjual dan pembeli di dunia usaha. Jika industri ritel telah merasakan dampaknya transaksi digital, hal tersebut juga mulai berdampak pada perbankan sebagai industri lembaga keuangan.Â
Jika transaksi dapat dilakukan melalui smartphone, untuk apa harus susah payah datang ke kantor cabang bank. Saya rasa kebanyakan nasabah saat ini datang ke kantor cabang bank jika mereka benar-benar butuh alias terpaksa. Termasuk saya, mendatangi kantor cabang merupakan hal yang membosankan.
Perkembangan transaksi digital pada akhirnya membuat bank membatasi pembukaan kantor cabang baru, dan mau tidak mau banyak bank harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan perilaku nasabah yang bergeser kepada aspek digital. Artinya konsep bisnis yang berubah, pengembangan electronic banking mutlak diperlukan.
Electronic banking merupakan aspek penting pada saat ini, memang membutuhkan banyak biaya dan waktu pada awal pengembangan dan implementasi tetapi sangat mendukung usaha bank jika sudah berjalan. Bagi bank yang sudah sejak lama mengembangkan electronic banking dan memiliki infrastruktur yang menunjang, maka tren yang terjadi di industri saat ini menjadi sangat menguntungkan karena mereka akan menjadi pemain utama. Apalagi jika bank-bank tersebut juga telah memiliki jaringan kantor yang cukup luas.
Namun bagi bank yang sebelumnya terlaku ekspansif dalam membuka kantor cabang, atau sebut saja pada 10 tahun terakhir fokus pada pengembangan usaha dengan membuka kantor cabang tetapi tergolong kuper atau kurang pergaulan sehingga tertinggal dari sisi teknologi, saat ini menjadi sulit.Â
Pembukaan kantor cabang bank merupakan investasi yang cukup mahal, dan setelah kantor cabang beroperasi pun biayanya tergolong cukup tinggi membebani bank. Karena membutuhkan biaya perawatan, biaya tenaga kerja, dan masih banyak lagi. Berbeda dengan electronic bankingyang jika setelah berfungsi secara optimal justru membantu bank dalam hal efisiensi.
Pembukaan kantor baru memang masih diperlukan, tetapi sebaiknya fokus untuk menjangkau daerah yang belum terjamah oleh teknologi alias di pelosok. Masalahnya adalah apakah semua bank memiliki kemampuan untuk masuk ke pelosok daerah yang masih agak tertinggal secara teknologi? Saya rasa tidak banyak bank yang sanggup.
Bagi saya sangat aneh jika ada bank yang pada rencana bisnisnya masih bernafsu untuk membuka kantor baru, apalagi jika dipaksakan. Jika bank anda memiliki total 100 kantor, apakah seluruh kantor cabang tersebut menguntungkan? Apakah transaksinya signifikan? Jangan-jangan hanya satu atau dua kantor yang sibuk bertransaksi, sisanya hanya buka dan minim transaksi, ya jika seperti ini jangan mengharapkan keuntungan dari kantor cabang.
Re-Organisasi Atau Tutup Kantor
Pada akhir tahun 2008, salah satu petinggi di sebuah bank pernah berkata, "Jika ada ayam yang tidak lagi bertelur, lebih baik digoreng!" Hal tersebut diungkapkan di depan rapat dengan para bawahannya. Menarik, karena ungkapan tersebut sebetulnya adalah ancaman bagi para pegawainya yang tidak produktif. Saya berpikir sadis juga, ayam tidak bertelur lagi, tidak disembelih dahulu tetapi langsung digoreng. Pekerja yang tidak memberikan kontribusi memang menjadi beban bagi bank, tetapi belum tentu salah  pekerja tersebut. Bisa saja yang salah adalah strategi bisnis bank.
Biaya tenaga kerja merupakan komponen beban yang paling tinggi pada faktor keuangan. Bayangkan jika bank memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 1000 orang tetapi kantor cabangnya hanya sekitar 50. Diperlukan adanya pengkajian yang mendalam untuk mengalokasikan kebutuhan personel dengan sangat cermat.Â
Jika kondisi ini terjadi pada sebuah bank, sebaiknya dilakukan proses assessment untuk mengukur efektivitas dari unit kerja. Apakah satu unit kerja membutuhkan sekian banyak orang? Atau malah ada unit kerja yang memang sebetulnya tidak terlalu diperlukan. Jika ada unit kerja yang memang dibentuk untuk kepentingan segelintir pihak, dan itu terjadi di setiap divisi, Â maka berapa banyak pemborosan biaya yang dibuang? Sebaiknya hentikan pemborosan tersebut. Alokasikan kebutuhan tenaga kerja dengan cermat.
Lakukan analisa terhadap proses yang dilakukan oleh unit kerja, ukur dengan outputyang dihasilkan. Apakah yang dilakukan oleh unit kerja tersebut signifikan? Jika beberapa unit kerja memiliki fungsi yang terkait dan dapat digabungkan, sebaiknya digabungkan. Dan untuk unit kerja yang dianggap tidak diperlukan sebaiknya dihapuskan. Inilah yang dilakukan dalam proses re-organisasi.
Kemudian bagaimana dengan kantor cabang bank yang hanya menjadi beban operasional? Mengingat biaya operasional bagi kantor cabang bank cukup tinggi, saya berpendapat sebaiknya ditinjau kembali kelayakan bisnisnya. Untuk kantor-kantor yang prospeknya suram, saya rasa sebaiknya secara bijaksana dan dewasa manajemen bank mengakui kesalahannya.Â
Kantor-kantor tersebut sebaiknya ditutup, direlokasi ke tempat yang lebih berprospek. Sesuaikan dengan fokus dari rencana bisnis bank. Atau setelah kantor-kantor tersebut ditutup, bank dapat serius mengembangkan lini usaha baru, misalnya electronic banking, tentunya dengan alokasi dari biaya kantor bank dialihkan menjadi modal untuk pengembangan electronic banking.
Sedangkan untuk para personel yang tersisih dari proses re-organisasi atau penutupan kantor dapat dialokasikan menjadi tenaga marketing. Karena idealnya porsi tenaga kerja terbesar adalah marketing dan pengembangan bisnis. Jika porsi tenaga kerja terbesar dari unit pendukung atau non-bisnis, bagi saya sangat aneh.
Dalam membenahi organisasi memang diperlukan keseriusan, komitmen dan kesabaran, karena proses ini membutuhkan waktu. Terlebih bagi bank yang memiliki pola organisasi kekeluargaan atau dikelola sebagaimana perusahaan keluarga.Â
Ditambah adanya konflik kepentingan dari beberapa pihak di kalangan manajemen, sehingga visi dan misi menjadi semakin sulit untuk diarahkan. Atau bagi bank tersebut diperlukan figur kepemimpinan dengan konsep one man show dengan gaya otoriter. Mungkin saat ini banyak juga bank yang berhasil dengan gaya one man show. Jika demikian, memang jaman sudah edan!
(ilustrasi: shuttershock.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H