Beda era beda cara, mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan diri saya sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki ketertarikan dengan dunia jurnalistik sejak mengenyam Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2003 di Kota Palembang Sumatera Selatan. Sebagai seorang anak SMA banyak hal yang ingin dilakukan untuk menemukan suatu hal yang berkaitan dengan eksistensi diri, namanya juga anak SMA, jadi masih dalam masa pencarian jati diri. Bukan hanya aktif di kegitan internal di lingkup sekolah, tetapi juga mencari peluang di luar sekolah dan bisa meningkatkan kemampuan.
Pintu Masuk Menjadi Wartawan Pelajar
Ketertarikan dengan media massa khususnya tidak datang begitu saja, karena kebiasaan di rumah sudah berlangganan surat kabar harian, sehingga kadang ikut terlintas membuka lembaran demi lembaran yang. Tahun 2003 kala itu, ternyata ada sebuah kesempatan khusus anak SMA di Sumatera Selatan menjadi bagian dari sebuah surat kabar harian Sriwijaya Post (Sripo). Sripo adalah bagian grup Kompas Gramedia yang terbit harian untuk wilayah Sumatera Selatan saja.Â
Sripo sudah berdiri sejak tahun 1987 sehingga namanya begitu melekat di benak masyarakat. Di Palembang khusus untuk harian umum hanya didominasi Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres. Isi Sripo sebenarnya juga tidak semuanya berita lokal, ada juga komposisi muatan berita dari nasional satu halaman penuh, sisanya baru seputar persoalan sosial, hukum dan ekonomi di wilayah Sumatera bagian selatan.Â
Media massa kala itu seingat saya begitu masif dengan landasan regulasi yang diterbitkan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie yakni UU Pers No. 40 Tahun 1999.Â
Dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2 soal asas, fungsi, kewajiban dan peranan pers yang dijamin oleh negara dan tentunya sebagai hak asasi warga negara, bahkan secara lugas diterangkan terhadap pers tidak ada penyensoran kemudian pemberedelan sampai berujung pada pelarangan penyiaran. Bahkan dalam ayat 3 makin jelas terpampang, untuk menjamin kemerdekaannya maka pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.Â
Di era tahun 2000-an perkembangan pers termasuk surat kabar sebenarnya di Indonesia seperti cendawan di musim hujan. Dari data yang dirilis dewan pers melalui webistenya www.dewanpers.or.id pasca pemberlakuan UU 40/1999 pers tumbuh berkembang hingga mencapai sekitar 1.600 media cetak. Apalagi jejaring bisnis Kompas Grup yang sudah ada 150 merek media cetak, elektronik, hingga broadcast dalam klaster tersebut.Â
Saat saya menjadi perwakilan SMA bergabung dengan Sripo bersama 11 pelajar lainnya yang berasal dari lintas sekolah yang berbeda, kami diberikan tugas untuk meliput berbagai kegiatan yang punya korelasi dengan pelajar di tingkat SMP, SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Ada satu lembar penuh halaman tengah Sripo yang didesain khusus bagi para jurnalis yang dijuluki Lepass (Lembaran Pelajar Sumatera Selatan).Â
Halaman pelajar ini terbit satu minggu satu kali, setiap anak harus mengisi kolom yang dibagi berdasarkan cakupan rapat redaksi yang melibatkan jurnalis senior. Kami diberi 'amunisi' tentang bagaimana merumuskan sebuah berita yang memiliki value sehingga pembaca bisa dimanjakan dan dibuat ingin berlangganan harian tersebut.Â
Kuncinya ada pada kerja sama dengan setiap sekolah dan organisasi intra sekolah dalam hal ini OSIS, sehingga mau tidak mau, mereka juga merasa dilibatkan. Pelajar yang bergabung di Sripo hanya diberikan waktu setahun masa kontraknya. Namun dengan waktu yang relatif singkat tersebut banyak pengalaman berharga yang bisa diambil dari sisi mengasah mental menjadi jurnalis.
Kuliah Sambil KerjaÂ
Selepas SMA dari Palembang, saya memutuskan melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Jatinangor, Jawa Barat pada 2006-2010. Saya mengambil jurusan ANE (Admintrasi Negara) FISIP.Â
Namun saya masih memiliki hasrat mencari pengalaman di bidang jurnalistik. Sampai pada suatu titik, ada sebuah ajang pencarian bakat pembawa berita di tv 'plat merah' yakni TVRI untuk tingkat Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya TVRI Jawa Barat namanya TVRI Bandung pada tahun 1987.Â
Dan transformasi dari sisi pelabelan terjadi pada tahun 2003 di mana TVRI Bandung menjadi TVRI Jabar dan Banten, pertimbangannya agar secara branding dan ruang lingkup siaran lebih luas dikenal masyarakat. Baru setelah tahun 2007 namanya kembali berganti menjadi TVRI Jawa Barat sampai sekarang.Â
Saya terpilih untuk menjadi bagian dari televisi yang punya tagline media pemersatu bangsa. Berdasarkan penelusuran saya di situs TVRI.go.id memang sejak tahun 2000 status televisi ini sudah menjadi perusahaan jawatan dengan landasan Peraturan Pemeritah Nomor 36 Tahun 2000, dengan status hukum itu maka sebagai perusahaan jawatan ada penekanan bahwa TVRI melaksanakan aktivitas penyiaran tetap harus sesuai prinsip televisi publik yang independent, mandiri, netral dan program-program yang disuguhkan berorientasi dengan kepentingan khalayak serta patut digarisbawahi bahwa TVRI tidak semata-mata mencari keuntungan.Â
Hanya berselang dua tahun Televisi Republik Indonesia ini kembali berganti menjadi Perseroan Terbatas (PT) dengan landasan regulasi yakni PP No. 9 Tahun 2002 mengenai peralihan Perjan TVRI ke PT pada 17 April 2002.Â
Perbedaan yang mencolok pada saat perubahan dari Perjan ke PT adalah TVRI poin tentang TVRI dapat mengambil keuntungan atas dasar prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang profesional dan mengikuti perkemabangan era yang serba modern. Saat saya bergabung bersama TVRI di tahun 2004-2005 status TVRI kembali berganti dari PT menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dengan dasar PP Nomor 14 Tahun 2005.Â
Status LPP yang melekat pada TVRI menjadikan ruang gerak televisi ini tetap menyuguhkan informasi berita, pendidikan maupun hiburan yang terkontrol, sehat, dan menjadi bagian perekat bangsa. Serta ada poin tambahan yakni melestarikan budaya bangsa, karena waktu itu saya diberi program selain bersiaran di daerah Jabar Dalam Berita, ada pula program yang diberi nama Pelangi Desa, kontennya seputar pengembangan desa dan budaya di Provinsi Jawa Barat. saya merasa bekerja di TVRI dengan status freelance atau pekerja lepas namun ilmu yang didapat dari para jurnalis senior disana sangat mumpuni.Â
Dua tahun di TVRI Jawa Barat membuka relasi dan networking untuk bergabung ke kancah TV nasional. Saat itu sedang ada audisi besar-besaran yang diselenggarakan oleh tvOne pada tahun 2010 yang meliputi sejumlah Kota, baik itu Bandung, Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang hingga Makassar.
Dari TVRI Bergabung ke tvOne
tvOne yang masuk kategori televisi berita di Indonesia memang bukan pionir TV Berita, tetapi keberadaan tvOne yang mengalami transformasi penuh dari sebelumnya menggunakan nama Lativi dengan muatan program berbasis kriminalitas, klenik bahkan ada tontonan erotisme diubah total ketika tanggal 14 Februari 2008, Lativi secara resmi menjadi tvOne dengan 70% isinya adalah program-program berita, dan 30% komposisinya yakni olah raga dan religi. Kini di bawah naungan grup VIVA (PT Visi Media Asia Tbk) jaringan televisi tvOne berusaha bersaing dengan TV berita yang lebih dulu eksis.Â
Kemunculan TV swasta dengan muatan berita sebenarnya sudah tertancap pada benak masyarakat di RCTI dengan Seputar Indonesia dan Liputan 6 SCTV, hanya saja porsi tayangan berita tidak penuh sepanjang hari. Lahirnya TV swasta yang menjamur dengan siaran saluran umum dengan basis free to air dimana tanpa harus langganan, masyarakat bisa menikmati berbagai jenis siaran dan tayangannya. Dengan dasar regulasi yang jelas yakni UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, pada bagian perusahaan pers pasal 9 ayat 1 dijelaskan bahwa siapapun bisa mendirikan perusahaan pers dengan syarat harus Warga Negara Indonesia.Â
Dari regulasi yang dikeluarkan Pemerintah juga dipertegas pada ayat 2 nya tentang keberadaan perusahaan pers tersebut dengan badan hukum yang terang benderang. Oleh karena ini saya yang kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa melihat kehadiran televisi yang terbilang masih anyar ini menjadi peluang untuk mengembangan diri, karena tvOne sedang butuh banyak sumber daya manusia untuk jadi reporter maupun presenter.Â
Saya terpilih sebagai perwakilan dari Bandung untuk bekerja di tvOne pada tahun 2010. Karena seluruh muatannya adalah berita, jadi sebagai presenter baru mendapat kesempatan untuk siaran hari di banyak program, mulai dari Kabar Pagi, Kabar Terkini hingga Program Talkshow, Apa Kabar Indonesia Pagi. Tetapi sesunggunya selama bekerja di tvOne banyak juga pengalaman di mana reporter berbenturan dengan aparat saat berada di lapangan, bahkan kala itu saya dan camera person nyaris ricuh di tengah liputan demo mahasiswa di depan Istana Merdeka. Massa yang protes akan kebijakan kenaikan BBM tahun 2013 mencoba merangsek mendekat ke wilayah ring satu, otomatis kami awak media pun juga mendekat ke lokasi kericuhan tersebut.Â
Namun oknum aparat kala itu ada yang semena-mena dan menarik peralatan tim liputan saya, Â card yang merekam tindakan pemukulan aparat ke massa pun diambil. Akibatnya persoalan ini jadi panjang, karena kami tidak bisa menyuplai berita dalam konteks breaking news pada saat itu karena alat kami disita oleh aparat.Â
Sampai akhirnya Pimpinan Redaksi mengutus Wapemred dan Manager untuk membawa kami ke Dewan Pers agar kasus ini bisa dipersoalkan. Melalui tangan Dewan Pers, karena secara UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 15 Dewan Pers memiliki fungsi salah satunya untuk melindungi kami para jurnalis demi mendapatkan kemerdekaan pers dan mengupayakan solusi penyelesaian pengaduan dari wartawan itu sendiri ketika terjadi gesekan dengan pihak lain. Aduan kami ke Dewan Pers berbuah hasil dan aparat meminta maaf serta mengembalikan seluruh peralatan kami. Pengalaman bertemu dengan segala situasi dan narasumber menjadi sebuah hal yang sangat berharga, di satu sisi menjadi pengetahuan baru, di sisi lain mengasah diri beradaptasi cepat di lapangan.Â
Namun setelah 10 tahun bekerja di tvOne saya merasakan perubahan pola perilaku dan konsumsi berita dari khalayak, terlihat dari penuruan jumlah penonton yang diukur dari rating and share. Inovasi dan perkembangan teknologi tak bisa dilawan karena begitu 'deras', namun seiring berjalannya waktu fenomena disruptive innovation dan disruptive digital membuat redaksi melalukan perubahan dalam aktivitas pencarian berita.Â
Para pemangku program tvOne merasa bahwa disrupsi digital menjadikan arus informasi lebih cepat dan efisien sampai kepada masyarakat. Tapi kalau kontrol itu ada di platform pribadi individu maka yang punya kendali ada perorangan  tvOne, jadi posisi para jurnalis tetap menjalankan kaidah-kaidah jurnalistik dengan mengedepankan pengecekan dan pencarian data serta fakta ketika ada sebuah informasi yang beredar di dunia maya.Â
Bahkan seharusnya para jurnalis mencetuskan langkah bahwa kecanggihan teknologi akan memberikan dampak besar pada semua lini kehidupan manusia. Â Era disrupsi digital dapat memicu media konvensional 'berlari' cepat mengejar ketertinggalan aplikasi dengan menjadikan media sebagai ruang untuk disatukan dengan banyak pilihan format.Â
Istilah yang sekarang muncul adalah 'dunia dalam genggaman dengan gawai'. Jadi memang saya menggiatkan diri untuk belajar menjadi jurnalis yang multitasking. Bukan bermaksud memperdebatkan mengenai media atau jurnalis mana yang paling banyak ditonton dan dikonsumsi masyarakat tetapi lebih kepada fenomena media sosial dengan kemasan berita yang disuguhkan. Apalagi setelah Pemerintah resmi meneken Peraturan Menteri No.11 tahun 2021 soal penyelenggaraan penyiaran. Dari April 2022 hingga November 2022 lalu peralihan dari TV analog ke digital. Jika selama ini masyarakat mengakses tayangan TV melalui pemancar kini sudah tidak berlaku lagi.Â
Selain itu tayangan analog juga dinilai banyak noise dan tidak sejernih tayangan digital, tetapi akses publik terhadap digital harus menggunakan STB (Set Top Box) untuk menangkap sinya digital, mau tidak mau, suka tidak suka, semua TV termasuk tvOne melakukan pembenahan secara komprehensif, karena secara format, rasio dan peralatan juga harus mendukung siaran digital.Â
Otomatis warga yang tak bermigrasi akan kehilangan tayangan favoritnya, tvOne pun jika tidak menyesuaikan dengan perkembangan era maka akan tergilas dengan persaingan industry yang makin ketat. Saya khawatir akan nasib jurnalis kedepan, apakah masih bisa jadi tumpuan untuk mengawal kepentingan publik di tengah gempuran platform yang hadir dengan produk-produk jurnalisme?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H