Histeria Massal
Teori yang paling umum diterima oleh para sejarawan adalah bahwa wabah ini merupakan hasil dari histeria massal atau gangguan psikogenik kolektif. Wabah ini terjadi di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang berat, seperti kelaparan, penyakit, dan kesulitan hidup. Stres yang berkepanjangan bisa memicu reaksi emosional yang ekstrem, menyebabkan sekelompok besar orang mengalami gangguan psikologis serupa.
Keracunan Ergot
Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa wabah ini mungkin disebabkan oleh keracunan ergot, yaitu jamur yang tumbuh pada gandum dan dapat menyebabkan halusinasi serta kejang-kejang. Jamur ergot mengandung senyawa yang mirip dengan LSD, sehingga bisa menjelaskan mengapa penari-penari tersebut tidak bisa mengendalikan gerakan tubuh mereka.
Kepercayaan Agama
Pada masa itu, banyak masyarakat Eropa percaya pada kekuatan santo-santo tertentu yang diyakini bisa memberikan berkah atau kutukan. Salah satu santo yang terkait dengan wabah menari adalah Santo Vitus. Wabah menari ini mungkin dipicu oleh keyakinan bahwa Santo Vitus telah mengutuk mereka, dan sebagai bentuk penebusan, mereka merasa harus terus menari.
Penyakit Neurologis
Beberapa teori medis juga menyebutkan kemungkinan adanya kondisi neurologis seperti epilepsi atau ensefalitis yang bisa menyebabkan kejang-kejang atau gerakan tak terkendali. Namun, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa wabah ini secara langsung terkait dengan gangguan neurologis tertentu.
Akhir dari Wabah Menari
Wabah Menari akhirnya mulai mereda pada awal September 1518, setelah beberapa minggu yang penuh ketegangan di Strasbourg. Para pemimpin agama dan masyarakat setempat mulai mencari solusi spiritual untuk mengatasi fenomena aneh ini. Mereka membawa para penari yang terkena dampak wabah ke sebuah kuil yang didedikasikan untuk Santo Vitus, seorang santo yang diyakini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang-orang dari "kutukan menari." Masyarakat pada masa itu sangat percaya bahwa wabah ini adalah hukuman ilahi atau tanda kerasukan, sehingga ritual keagamaan dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan tersebut.
Di kuil Santo Vitus, para penari mengikuti prosesi religius yang mencakup doa, tindakan penebusan dosa, dan ritual lainnya. Melalui keyakinan bahwa mereka sedang dibersihkan dari kutukan, perlahan-lahan para penari mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Tarian yang tidak terkendali pun berangsur-angsur berhenti. Pada saat itu, fenomena aneh ini dianggap selesai. Meskipun wabah menari tidak sepenuhnya dipahami, kepercayaan dan ritual keagamaan terbukti menjadi kunci dalam meredakannya, dan Strasbourg kembali ke keadaan normal.