Nampaknya tak ada orang yang tahu dan menyadari kejadian itu, sebab tak ada bantuan yang datang. Namun anehnya berita yang menyebar kemudian seakan-akan perampokan itu telah disiarkan secara langsung di televisi. Membuat keluarga mereka menangis berhari-hari. Seolah-olah telah menanggung aib yang paling hina. Setelah kejadian itu perlahan-lahan bapaknya mulai tidak waras dan pergi meninggalkan ibunya yang sedang mengandung Marwan.
***
Siang itu Marwan baru saja menyelesaikan latihan pencak silat di sekolahnya. Saat beberapa bocah laki-laki dengan gaya setengah tengil datang menghampirinya. Mereka seolah muncul dengan sengaja untuk membikin gara-gara padanya. Entah ada persoalan apa diantara mereka sebelumnya, nampaknya kali ini akan menjadi ajang balas dendam salah satu di antara mereka.
Marwan tahu dan mengerti maksud kedatangan mereka. Ini mesti persoalan Wardi tempo hari. Mukanya sempat pucat sekaligus hampir menangis saat Marwan menemukannya dipepet oleh mereka di tempat kencing sekolah. Marwan lantas menarik rambut beberapa dari mereka, sempat ingin juga memukulinya. Namun kemudian ia hanya mengacungkan kepalan tangannya yang besar dan kekar. Sebuah isyarat agar mereka segera pergi, dan benar saja ancaman tersebut cukup membuat anggota geng mentah itu kabur kocar-kacir.
Kali ini mereka rupanya membawa lebih banyak nyali. Meskipun dari jumlah anggotanya tak bertambah. Nampaknya keberanian yang sedikit dilebih-lebihkan itu berasal dari ketua geng mereka yang sedari mula menatap remeh merendahkan sosok Marwan dengan matanya yang sedikit belo .
Entah senjata pamungkas apa yang ia bawa sampai-sampai bisa sedrastis itu kenekatan yang dipunyanya untuk mengusili sang jagoan pencak silat sekolah. Barangkali setelah peristiwa di toilet itu ia telah berguru pada salah satu pendekar paling sakti untuk minta dibekali satu dua ilmu kanuragan. Atau sebenarnya ia hanya merengek sambil mengadu pada orangtuanya karena telah diganggu oleh Marwan, yang pada akhirnya atas rasa jengkel karena anaknya seolah teraniaya oleh Marwan memaksa orang tua dari ketua geng itu untuk berlaku kotor dengan membisikan hal-hal yang sebenarnya tak pantas untuk anak mereka ketahui. Dari kedua kemungkinan itu nampaknya yang terakhirlah yang benar-benar terjadi.
Mula – mula mereka meledekinya dengan memanggil Marwan dengan sebutan kingkong. Namun ledekan itu nyatanya tak lebih dari sekedar becandaan saja baginya. Tak terpancing, anak sok jagoan yang sepertinya menisbahkan dirinya sendiri sebagai ketua geng itu, yang merengek-rengek mengadu pada orangtuanya karena tak bisa melawan Marwan kemudian bertambah kesal dan dengan sembrononya sambil tertawa meledek ia menyebut Marwan sebagai anak tanpa bapak. Namun sayangnya lagi-lagi Marwan tak terpancing sebab memang kenyataan bapaknya telah pergi untuk berselingkuh dan meninggalkan dirinya bersama ibunya, itu jelas tak jadi soal baginya. Sebab ia benar-benar tak mengharapkan bapaknya kembali, cukup ia dan ibunya bisa hidup bahagia berdua.
Entah setan apa yang merasuki otak bocah itu sehingga sepertinya ia harus benar-benar menghantam Marwan hingga jatuh. Meskipun dengan mulut berbusa-busa ia harus melakukannya. Sebab jelas adu fisik dengan Marwan ia tak akan mampu. Entah apa juga yang ada dipikiran orang tuannya saat membisiki anaknya itu dengan kata-kata jahanam yang kemudian diteriakannya di depan muka Marwan dan kerumunan teman-teman sekolahnya.
“Tanya ibumu apa rasanya digilir maling! tanya bapakmu apa rasanya liat ibumu ditiduri maling! Jangan – jangan kamu anak maling! Pantas saja bapakmu pergi meninggalkan ibumu untuk selingkuh”
kemudian anak itu dengan puasnya menertawai marwan, diikuti suara terbahak-bahak dari mulut kawan-kawannya di belakang.
Itulah ketika Marwan anak yang baik itu tak bisa menahan amarahnya. Ketika bogem mentah Marwan harus melesat menghantam wajah anak tetangganya sendiri hingga berdarah-darah.