Namun sebagiamana pertanyaan-pertanyaan itu datang padanya. Marwan hanya menunjukan sedikit-sedikit kata saja, jawaban seperlunya. Semacam penegasan bagi ibunya kalau anak lelakinya itu sedang tak ingin membicarakannya. Paham keengganan Marwan, wanita itu turut terdiam.
Bukan karena ia tidak hormat pada ibunya, jauh dilubuk hatinya ada rasa bersalah yang teramat besar. Ia berpikir telah gagal menjadi anak yang baik. Karena hanya dengan menjadi anak baiklah ia bisa membuat ibunya yang sangat ia jaga itu bahagia. Namun jauh dari penyesalan itu, sesungguhnya terdapat hal lain yang telah mengguncang jiwanya, yang membuat dirinya begitu terombang-ambing sepeti hilang jati diri. Hingga menariknya dalam pergolakan batin yang begitu dalam.
“Kenapa ibu membiarkannya?!”
“membiarkan apa, Nak?!”
“Bapak pergi!”
Sesaat ibunya terdiam. Lebih disebabkan oleh nada kesal yang terdengar jelas dari pertanyaan anaknya tersebut daripada fakta pertanyaan itu sendiri.
“apakah karena masalah Bapakmu kamu begini? bukankah kamu bilang kamu akan melindungi ibu?!”
Marwan hanya menunduk.
***
Sekitar setahun sebelum Marwan lahir. Bapak dan ibunya pernah dirampok. Rumah mereka disatroni garong. Entah bagaimana caranya orang-orang bisa punya cerita perampokan itu sedemikian lengkap. kisah yang beredar garong datang berkawanan kerumah mereka diwaktu pagi buta.
Bapak Marwan adalah seorang tentara, meski begitu tetap saja ia tanpa daya melawan kawanan garong yang tidak hanya banyak tapi juga bringas tersebut. Mereka disergap dalam keadaan terlelap. Bapaknya diikat kaki tangannya dan mulutnya di sumpal sarung bantal, lalu didudukan di lantai. Sementara ibunya tak bisa apa-apa lunglai tak berdaya dipukul bonggol golok akibat sempat melawan. Harta benda mereka digasak habis tak bersisa.