[caption caption="Ilustrasi: pendoasion.wordpress.com"][/caption]Entah bagaimana caranya mengembalikan keceriaan Marwan. Bocah laki-laki berusia lima belas tahun itu tiba-tiba saja menjadi pendiam. Bahkan dari raut wajahnya ia cenderung menjadi pemurung. Ia kini tak mau keluar rumah. Tak ada lagi minat baginya bermain sepak bola bersama teman-temannya sebagaimana biasa ia lakukan sepanjang sore selepas pulang sekolah.
Ia bahkan benar-benar sudah tak suka bertemu orang. Satu minggu lebih ia tak sekolah. Mengunci dirinya di kamar. Belakangan bahkan selera makannya hilang. Membuat cemas ibunya menjadi-jadi.
Marwan bukanlah anak cengeng, ia anak lelaki yang tangguh. Diantara teman-teman sepermainannya boleh dibilang ia adalah jagoannya. Badanya besar dan kekar. Meskipun Marwan bukan juara kelas, namun ia juga bukanlah anak yang bodoh. Nilai raportnya selalu masuk sepuluh besar.
Prestasinya di luar kelas juga tak sembarangan. Dari bela diri sampai olahraga lari ia adalah bintangnya. Bahkan Marwan sudah menjadi petugas langganan pengerek bendera di sekolah. Terutama untuk upacara kemerdekaan yang diadakan setiap 17 Agustus.
Marwan juga sosok anak lelaki yang gentle. Tak pernah menjaili teman perempuannya meski sekedar, apalagi sampai jumawa memamerkan nama besarnya pada anak lelaki lain di sekolah. Ia tak lebih dari seorang anak baik yang rendah hati, penurut-patuh pada guru dan kedua orangtuanya, lebih-lebih pada ibu yang begitu dicintainya.
***
Saat itu Marwan diantar pulang oleh wali kelasnya. Ia hanya menunduk dengan amarah yang tertahan-tahan. Di ruang tamu bu Wali menjelaskan kalau Marwan telah memukul salah seorang temannya di sekolah. Belakangan dari pertemuan mediasi di sekolah sehari setelah kejadian, ibunya tahu kalau anak yang dihajarnya itu tak lain tetangganya sendiri.
Kemudian ibunya tak bertanya apa-apa. Sebagaimana ia tahu sifat anak lelakinya itu; ia akan bercerita sendiri pada waktunya tiba. Sementara diantara banyak pikiran mengira-ngira, ibunya lebih berfikir tentang anak lelakinya yang sedang masuk masa pubertas. Barangkali ia hanya ingin menjadi sedikit bengal.
Namun lama menunggu ia tak jua mendapati anaknya mau bercerita mengenai kejadian itu, berhari-hari kemudian yang berkembang anaknya justru nampak semakin diam. Ia mulai cemas sampai didekatinya anak lelaki itu. Serupa hendak menjaga perasaan tak enak anaknya, sang ibu mulai menanyainya pelan-pelan.
Mula – mula ia bertanya tentang bagaimana keadaan Wardi, teman sekelasnya yang hampir berhenti sekolah karena ketiadaan biaya disebabkan bapaknya meninggal jatuh dari pohon kelapa. Masa itu Marwan penuh perasaan iba bercerita pada dirinya. Sampai haru ia meminta ijin untuk memberikan tabungan ayam jagonya demi keberlangsungan pendidikan sahabatnya yang satu itu.
Ia kemudian bertanya tentang pak Mahmud, penjaga sekolah yang tempo hari dalam ceritanya ia bantu mengangkat bak sampah yang menjadi teramat berat akibat beban kertas, plastik serta daun-daun yang mendesak. Yang bagaimanapun caranya tak akan mampu pak Mahmud angkat sendiri.
Namun sebagiamana pertanyaan-pertanyaan itu datang padanya. Marwan hanya menunjukan sedikit-sedikit kata saja, jawaban seperlunya. Semacam penegasan bagi ibunya kalau anak lelakinya itu sedang tak ingin membicarakannya. Paham keengganan Marwan, wanita itu turut terdiam.
Bukan karena ia tidak hormat pada ibunya, jauh dilubuk hatinya ada rasa bersalah yang teramat besar. Ia berpikir telah gagal menjadi anak yang baik. Karena hanya dengan menjadi anak baiklah ia bisa membuat ibunya yang sangat ia jaga itu bahagia. Namun jauh dari penyesalan itu, sesungguhnya terdapat hal lain yang telah mengguncang jiwanya, yang membuat dirinya begitu terombang-ambing sepeti hilang jati diri. Hingga menariknya dalam pergolakan batin yang begitu dalam.
“Kenapa ibu membiarkannya?!”
“membiarkan apa, Nak?!”
“Bapak pergi!”
Sesaat ibunya terdiam. Lebih disebabkan oleh nada kesal yang terdengar jelas dari pertanyaan anaknya tersebut daripada fakta pertanyaan itu sendiri.
“apakah karena masalah Bapakmu kamu begini? bukankah kamu bilang kamu akan melindungi ibu?!”
Marwan hanya menunduk.
***
Sekitar setahun sebelum Marwan lahir. Bapak dan ibunya pernah dirampok. Rumah mereka disatroni garong. Entah bagaimana caranya orang-orang bisa punya cerita perampokan itu sedemikian lengkap. kisah yang beredar garong datang berkawanan kerumah mereka diwaktu pagi buta.
Bapak Marwan adalah seorang tentara, meski begitu tetap saja ia tanpa daya melawan kawanan garong yang tidak hanya banyak tapi juga bringas tersebut. Mereka disergap dalam keadaan terlelap. Bapaknya diikat kaki tangannya dan mulutnya di sumpal sarung bantal, lalu didudukan di lantai. Sementara ibunya tak bisa apa-apa lunglai tak berdaya dipukul bonggol golok akibat sempat melawan. Harta benda mereka digasak habis tak bersisa.
Nampaknya tak ada orang yang tahu dan menyadari kejadian itu, sebab tak ada bantuan yang datang. Namun anehnya berita yang menyebar kemudian seakan-akan perampokan itu telah disiarkan secara langsung di televisi. Membuat keluarga mereka menangis berhari-hari. Seolah-olah telah menanggung aib yang paling hina. Setelah kejadian itu perlahan-lahan bapaknya mulai tidak waras dan pergi meninggalkan ibunya yang sedang mengandung Marwan.
***
Siang itu Marwan baru saja menyelesaikan latihan pencak silat di sekolahnya. Saat beberapa bocah laki-laki dengan gaya setengah tengil datang menghampirinya. Mereka seolah muncul dengan sengaja untuk membikin gara-gara padanya. Entah ada persoalan apa diantara mereka sebelumnya, nampaknya kali ini akan menjadi ajang balas dendam salah satu di antara mereka.
Marwan tahu dan mengerti maksud kedatangan mereka. Ini mesti persoalan Wardi tempo hari. Mukanya sempat pucat sekaligus hampir menangis saat Marwan menemukannya dipepet oleh mereka di tempat kencing sekolah. Marwan lantas menarik rambut beberapa dari mereka, sempat ingin juga memukulinya. Namun kemudian ia hanya mengacungkan kepalan tangannya yang besar dan kekar. Sebuah isyarat agar mereka segera pergi, dan benar saja ancaman tersebut cukup membuat anggota geng mentah itu kabur kocar-kacir.
Kali ini mereka rupanya membawa lebih banyak nyali. Meskipun dari jumlah anggotanya tak bertambah. Nampaknya keberanian yang sedikit dilebih-lebihkan itu berasal dari ketua geng mereka yang sedari mula menatap remeh merendahkan sosok Marwan dengan matanya yang sedikit belo .
Entah senjata pamungkas apa yang ia bawa sampai-sampai bisa sedrastis itu kenekatan yang dipunyanya untuk mengusili sang jagoan pencak silat sekolah. Barangkali setelah peristiwa di toilet itu ia telah berguru pada salah satu pendekar paling sakti untuk minta dibekali satu dua ilmu kanuragan. Atau sebenarnya ia hanya merengek sambil mengadu pada orangtuanya karena telah diganggu oleh Marwan, yang pada akhirnya atas rasa jengkel karena anaknya seolah teraniaya oleh Marwan memaksa orang tua dari ketua geng itu untuk berlaku kotor dengan membisikan hal-hal yang sebenarnya tak pantas untuk anak mereka ketahui. Dari kedua kemungkinan itu nampaknya yang terakhirlah yang benar-benar terjadi.
Mula – mula mereka meledekinya dengan memanggil Marwan dengan sebutan kingkong. Namun ledekan itu nyatanya tak lebih dari sekedar becandaan saja baginya. Tak terpancing, anak sok jagoan yang sepertinya menisbahkan dirinya sendiri sebagai ketua geng itu, yang merengek-rengek mengadu pada orangtuanya karena tak bisa melawan Marwan kemudian bertambah kesal dan dengan sembrononya sambil tertawa meledek ia menyebut Marwan sebagai anak tanpa bapak. Namun sayangnya lagi-lagi Marwan tak terpancing sebab memang kenyataan bapaknya telah pergi untuk berselingkuh dan meninggalkan dirinya bersama ibunya, itu jelas tak jadi soal baginya. Sebab ia benar-benar tak mengharapkan bapaknya kembali, cukup ia dan ibunya bisa hidup bahagia berdua.
Entah setan apa yang merasuki otak bocah itu sehingga sepertinya ia harus benar-benar menghantam Marwan hingga jatuh. Meskipun dengan mulut berbusa-busa ia harus melakukannya. Sebab jelas adu fisik dengan Marwan ia tak akan mampu. Entah apa juga yang ada dipikiran orang tuannya saat membisiki anaknya itu dengan kata-kata jahanam yang kemudian diteriakannya di depan muka Marwan dan kerumunan teman-teman sekolahnya.
“Tanya ibumu apa rasanya digilir maling! tanya bapakmu apa rasanya liat ibumu ditiduri maling! Jangan – jangan kamu anak maling! Pantas saja bapakmu pergi meninggalkan ibumu untuk selingkuh”
kemudian anak itu dengan puasnya menertawai marwan, diikuti suara terbahak-bahak dari mulut kawan-kawannya di belakang.
Itulah ketika Marwan anak yang baik itu tak bisa menahan amarahnya. Ketika bogem mentah Marwan harus melesat menghantam wajah anak tetangganya sendiri hingga berdarah-darah.
---o0o---
Jakarta, 14 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H