Empat tahun kita bersahabat, melewati hari-hari kuliah bersama. Bagas, ternyata kita sama-sama menyukai sastra inggris. Kau ingat saat pertama kali kita berkenalan? Waktu itu kita dan teman satu kelas lainnya terlihat antusias mengangkat tangan ketika kakak panitia ospek menanyakan; siapa saja yang ingin mendapatkan beasiswa ke negara Inggris? Kau masih ingat? lucunya hanya kita berdua yang memilih Birmingham saat kembali ditanya di kota mana tepatnya kita ingin melanjutkan pendidikan nantinya.
Aku dan kamu pasti punya alasan masing-masing kenapa memilih kota tersebut. Namun saat itu kita hanya saling pandang dan bertukar senyum. Kemudian kau melihat ke arah kertas karton bertuliskan namaku yang menggantung di dada. Akupun demikian padamu. Saat itu kita memang belum saling sapa, namun setidaknya kita sudah saling memperhatikan.
Bagas, apakah kau juga masih ingat? Saat itu kau satu-satunya orang yang datang memberikan pertolongan padaku. Pagi-pagi sekali aku tersedak, nafasku hampir putus karena sarapanku menyangkut di tenggorokan. Kau memberikanku sebotol air mineral.
Kau menertawai aku. Jujur saja sebenarnya aku hanya salah menafsirkan tugas yang diberikan oleh kakak-kakak panitia ospek. Namun setelah kupikir-pikir sebenarnya aku betul juga. Saat mereka bilang kita harus membawa sekepal nasi hitam, aku benar-benar membawanya, Bagas. Justru kalianlah yang salah.
Aku sempat berpikir panjang tentang salah satu tugas ospek itu. Ya kau tentu saja tahu, seperti yang kau alami sendiri, bahwa tugas-tugas ospek memang selalu tersirat dan membingungkan. Mana ada nasi berwarna hitam jika itu tidak berasal dari beras ketan hitam, bukan?
Aku mati-matian membela diriku. Aku berteriak - protes di depan kakak-kakak dan kalian semua; kalian bodoh, nasi goreng kecap itu berwarna cokelat bukan hitam! Dan yang kalian bawa itu bukan sekepal tapi satu piring. Namun sayangnya semua bergeming, tak ada yang menanggapiku serius.
Ya untung saja, sebab aku memang hanya berteriak di dalam hati. Tak terbayangkan jika aku benar-benar melakukahnya di depan kalian. Kecuali aku sudah tidak waras dan menginginkan hukuman yang akan membuat hari-hari ospek makin menyebalkan.
Protesku itu, sebatas unek-unek yang bergemuruh di dalam dada, yang membuat tenggorokanku menyempit hingga menyebabkan terjadinya insiden tersedak yang memalukan itu.
***
Kata orang; Sejatinya persahabatan tidak terjalin diantara pria dan wanita, dalam hubungan mereka cuma ada dua kepastian, perasaan suka dan tidak suka.
Bagas, aku tak tahu apakah kau pernah mendengar ungkapan itu. Jika belum, aku sangat berharap kau mendengarnya. Ingin sekali aku melihatmu mulai memikirkannya, memikirkan persahabatan kita ini.
Aku selalu berpikir jika pilihannya hanya dua, lalu yang mana perasaanmu padaku, Bagas? Jika suka, kenapa kau tak pernah mengutarakannya padaku? Jika tidak, kenapa sampai hari ini kau masih mau bersahabat denganku?
Kemana-mana kita selalu berdua. Ke perpustakaan, makan di kantin, mengerjakan tugas bahkan sampai membeli buku keperluan kuliahpun kita tak terpisahkan. Semua teman-teman sudah menganggap kita sepasang kekasih. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan penyangkalan-penyangkalanmu, Bagas.
Kau memang menganggapku sebagai sahabat. Setidaknya itu yang selama ini kau katakan di depan mereka. Namun mereka juga sering bertanya padaku, dan aku selalu menjawab; tanya langsung saja sama Bagas.
Kau tahu kenapa? Karena aku takut memberikan jawaban yang berbeda denganmu, Bagas. Andai kau tahu, bahwa sudah sejak lama telah kuanggap kau lebih dari sekedar seorang sahabat di hatiku.
***
Suatu sore selepas kuliah aku melihatmu berjalan di depan ruang kuliah. Saat itu aku sedang membahas tugas kuliah dengan Dina. Kau tak menyapaku, Bagas. Mungkin karena kau tidak menyadari keberadaanku saat itu. Tapi anehnya kenapa hal itu terjadi sampai beberapa hari kedepan?
Aku menemuimu, kita berbicara di sebuah pendopo tempat biasa mahasiwi seni tari mempresentasikan koreografi buah karya mereka. Kau menunduk sepanjang pembicaraan. Aku baru mengerti masalahnya setelah kau mulai menyebut-nyebut nama Rendi. Oh jadi itu masalahnya, pikirku.
Tapi bukankah sebagai sahabat kau seharusnya senang mendengar aku telah memiliki kekasih, Bagas? setelah hampir empat tahun aku tak memilikinya. Lalu kenapa semua menjadi begitu bermasalah buatmu? Bukankah seperti yang selalu kau bilang bahwa kita hanya bersahabat.
Kau ini aneh Bagas. Aku benci dengan sifat pengecutmu. Kau tak memiliki keberanian, bahkan untuk jujur pada sahabatmu sendiri. Kau seperti bukan seorang laki-laki. Kau selalu saja diam dan membuatku menunggu.
Satu hal yang tak pernah terpikirkan olehku. Ternyata kehadiran Rendi benar-benar telah menghapus jejak-jejak persahabatan kita. Kau mulai menghindari aku Bagas. Kau mulai menghilang dari hadapanku. Bahkan meski kita berada dalam satu ruang kuliah sekalipun, kau selalu memilih tempat yang dapat menciptakan jarak dengan diriku. Seolah kau sudah tak ingin mengenalku.
Bagas, apakah kau tahu? semua hal yang pernah kau lakukan untukku kini telah digantikan oleh Rendi. Meskipun sesekali aku masih lupa dan salah memanggil Rendi dengan namamu, Namun perlahan aku mulai terbiasa dengan semua perubahan itu. Dan kau tahu, Bagas? Rendi tidak pernah marah mengenai kesalahan-kesalahanku itu. Ia sepertinya mengerti dan memaklumi kedekatan kita sebelumnya. Bahkan aku sempat percaya kalau Rendi sebenarnya tahu bagaimana perasaanku padamu.
***
Aku melihat kau berdiri di depan pintu rumahku. Menggunakan kemeja berwarna biru gerau dengan kaos putih di dalamnya. Celana jeans selalu menjadi favoritmu. Sepasang sepatu kets berwarna merah dengan tali berwarna putih melengkapi gaya casualmu hari itu. Tak lupa topi hitam bertuliskan “Queen” pemberianku melekat manis di kepalamu. Semua yang kau kenakan selalu saja terlihat serasi dengan warna kulitmu yang putih bersih serta parasmu yang selalu membuatku tersipu malu.
Ekspresi wajahmu ragu, antara ingin tersenyum namun juga ingin terlihat serius. Terus terang aku sangat terkejut mendapati kehadiranmu yang tiba-tiba itu. Meskipun ada juga sebuncah rasa senang yang tiba-tiba menyeruak dari lapisan terdalam hatiku; yang sebenarnya aku sendiri tidak menyadari kalau selama ini perasaan itu masih ada dan bersembunyi di dalam sana. Namun sebisa mungkin aku menahan diri, menahan ekspresi mukaku yang hampir merekah seperti bunga matahari yang akan mekar.
Aku mempersilahkan kau masuk. Lalu kita duduk di ruang tamu. Kau terlihat begitu kikuk, dengan lebih banyak melihat pada majalah yang berada di atas meja daripada memandang diriku. Kemudian tanpa basa-basi seperti; menanyakan kabar karena- setelah satu tahun lulus kuliah-kita baru sekali ini bertemu lagi, kau memberikan sebuah kabar yang membuatku bahagia sekaligus sedih.
“Volin, aku akan ke Birmingham, minggu depan. Beasiswa yang dulu kita coba-coba untuk diajukan ternyata diterima”
Aku terkejut dengan mulut sedikit terbuka. Tatapanku tak mau lepas dari bola matamu yang bulat dan hitam. Lantas senyummu tiba-tiba saja merekah, membangunkanku dari kebisuan. Segera kuucapkan selamat padamu.
“Selamat Bagas! Aku turut bahagia, akhirnya cita-citamu terwujud”
“Cita-cita kita, Volin! bukankah kita dulu berencana melanjutkan pendidikan di sana? di salah satu kota di negara favorit kita?!”
Kau kembali tersenyum padaku, aku cepat melempar pandangan ke arah jendela samping ruang tamu.
“Kenapa Volin? Kau tidak senang mendengar berita ini?”
Aku menarik pandanganku dan meletakannya kembali pada wajahmu yang rupawan. Aku berusaha tersenyum dan menantang diriku untuk terus berani menatap padamu. Saat itu kau terlihat punya banyak kata-kata untuk diucapkan Bagas. Terus terang aku selalu suka untuk mendengarkanmu berbicara.
Namun waktu berjalan begitu cepat. kau lantas pamit untuk segera pergi. saat itu aku mengangguk padamu. Masih banyak hal yang perlu dipersiapkan katamu, dan kebetulan hari memang telah beranjak sore. Aku mengantarmu keluar, kita berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak halaman rumahku, yang di kanan-kirinya tumbuh rumput serta bunga bougenville.
Dan tepat di tengah halaman itu, beberpa meter menuju gerbang pagar rumah, kau tiba-tiba saja menarik kedua bahuku. Menghadapkan wajahku pada wajahmu, lalu kau menciumku. Aku menahan nafas untuk sesaat karena begitu terkejut. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu.
Ada perasaan yang tiba-tiba mencair setelah begitu lama membeku, ia mendesak keluar bersama air mataku yang perlahan mulai menetes.
"Aku akan menunggumu di sana! Kita akan melewati hari-hari kuliah bersama lagi, seperti dulu. Aku berharap kau mau melanjutkan pengajuan beasiswa itu, Volin!"
Aku hanya menunduk, kemudian sambil menggelengkan kepala aku menatapmu. Suaraku terdengar begitu bergetar;
"Aku akan menikah, Bagas..! Bulan depan.." Isak tangiskupun kian tak terbendung. Kau menatapku dengan ekspresi terkejut, terdengar nada kecewa sekaligus tak percaya dalam suaramu.
"Rendii..?!"
Aku menghalau suara tangisku dengan kedua tangan. Kau segera melepaskan tanganmu dari bahuku dan melemparkan pandanganmu jauh kearah tembok halaman. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, kau perlahan melangkah pergi meninggalkan diriku, meninggalkan hidupku.
Aku memandangmu untuk terakhir kalinya, dalam keikhlasan hatiku aku berkata; Bagas, mungkin kau hanya akan menjadi masa laluku, yang akan terus tumbuh di sini, di halaman rumah ini.
---o0o---
Depok, 05 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H