Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Jingga Senja Kita

7 Desember 2015   11:35 Diperbarui: 26 Februari 2017   04:01 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Jingga. Aku berusia 16 tahun. Ayahku sangat menyukai warna jingga. Jingga yang ada pada senja. Sehingga ia menamaiku demikian. Tante Grace yang memberitahuku. Aku memiliki saudari kembar. Namanya Senja. Ia lahir lima menit setelahku. Perihal namanya itu, tante Grace juga memberitahunya. Katanya ibu kami yang menyukai senja. Senja yang berwarna jingga.

Sejak kecil kami sudah dititipkan pada tante Grace. Orangtua kami meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Saat itu usia kami baru dua tahun. Tante Grace adalah adik dari ayah kami. Tante Grace hidup sendiri. Ia bilang suaminya telah meninggal saat kami belum dititipkan padanya. Namun tante Grace tak pernah menikah lagi. Ia juga tak memiliki seorang anak. Mungkin karena itu ayah menitipkan kami padanya. Dengan harapan kami juga bisa mengisi kekosongan hidupnya.

Tante Grace sangat sabar mengurus kami. Bagaimana tidak, mengurus dua anak kembar seorang diri saja sudah begitu merepotkan. Apalagi mengurus anak kembar dengan kondisi khusus seperti kami berdua.

***

Dari balik jendela rumah tante Grace. Tiap pagi aku selalu memandangi pohon-pohon pinus yang tumbuh memagari halaman samping rumahnya. Di sana, di pucuk pohon itu, aku biasa mendapati sepasang burung gelatik yang sedang menari-nari. Sang betina akan meloncat-loncat berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya. Sedangkan sang jantan mengiringinya dengan nyanyian lagu cinta mereka.

Menjelang sore hujan biasanya akan turun. Rintiknya akan mengetuk-ngetuk kaca jendela. Aku segera menempelkan telingaku padanya. Aku penasaran pada apa yang sebenarnya sedang mereka katakan. Namun sebagaimana nyanyian burung gelatik di pucuk pohon cemara itu. Sebenarnya aku juga tak pernah tahu bagaimana suara ketukan rintik hujan pada kaca jendela. Aku sebenarnya tak dapat mendengar apapun. Karena kedua telingaku tuli.       

Sedangkan Senja, ia tak pernah menghampiri jendela seperti yang sering aku lakukan. Ia paling senang duduk di atas sofa sambil mendengarkan tante Grace bercerita. Senja memang terlihat lebih dekat dengan tante Grace dibanding aku. Selain karena memang ia lebih manja. Ia juga tidak tuli seperti diriku.

Namun sayangnya Senja tak pernah tahu seberapa bulat mata dan mancung hidungya. Ia juga tak pernah tahu bagaimana rupa wajah ayah dan ibu dari foto yang pernah ditunjukan tante Grace pada kami. Karena Senja, adikku itu terlahir dengan kondisi buta.

***

Suatu hari aku mendapati tante Grace sedang menangis di dalam kamarnya. Di tangannya terdapat selembar foto. Air matanya begitu berderai. Aku tak sengaja melihatnya dari ujung celah pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.

Di sebuah lemari kecil tempatnya menyimpan buku-buku. Aku menemukan sebuah foto yang tersimpan di dalam sebuah amplop berwarna putih. Di dalam amplop tersebut terdapat juga selembar surat. Ternyata itu adalah foto kedua orangtua kami. Ayah terlihat sedang merangkul ibu dengan mesra. Senyum mereka mengembang. Di belakang mereka semburat senja berwarna jingga terlihat begitu indah melengkapi kebahagiaan mereka.  

Beberapa minggu kemudian. Setelah kami genap berusia 17 tahun. Tante Grace mengirim kami ke sebuah panti. Sebelumnya Ia tak berkata apa-apa pada kami. Tante Grace seolah mengusir kami begitu saja. Senja hatinya sangat terpukul. Di panti itu ia hanya menangis sepanjang waktu. Ia tak mau beranjak dari tempat tidurnya. Ia bahkan tak mau makan.

Aku berusaha menghiburnya. Aku berusaha menghilangkan kesedihannya. Namun bahasa isyaratku tak pernah sampai padanya. Aku bahkan tak pernah bisa memanggil namanya. Kami begitu dekat, namun kami seperti terpisah berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Kehadiranku bagi Senja hanyalah sebuah kesunyian yang lain. Kesunyian yang semakin membuatnya bersedih.

Dalam keadaan setengah putus asa aku berlari menuju sebuah hutan kecil yang terletak tak jauh di belakang panti. Kemudian aku menangis di antara pohon-pohon akasia. Aku berharap mereka dapat mendengar tangisanku. Mendengar isi hatiku. Dan menyampaikannya pada Senja yang sedang berbaring tak berdaya itu.  

Tiba-tiba saja daun berjatuhan tersapu angin. Derai – derainya berbisik pada tangisanku. Kemudian aku menuruti bisikannya. Aku berlari menuju bukit yang bersembunyi di balik hutan itu. Aku berteriak pada awan-awan di sana. Dan kemudian mereka seolah berbicara dalam hatiku “bawalah Senja pada hujan”  

 ***

Aku menuntun langkah Senja. Aku menyandarkan kelemahan tubuhnya pada bahuku. Aku mengajaknya ke atas bukit. Saat itu tepat matahari akan tenggelam. Aku mendudukannya di atas rumput. Di ujung cakrawala semburat cahaya jingga mulai menampakan dirinya. Aku menghadapkan senja padanya. Aku sejenak memandanginya. Memandangi diri kami. Jingga dan senja. Hingga sesuatu yang aku tak mengerti terjadi. Sebuah rintik hujan turun di antara cerahnya langit sore. Hujan itu membasahi tubuh kami.

Perlahan Senja menegapkan dirinya. Hujan itu tiba-tiba saja mendera gendang telinganya. Dalam rintiknya, aku seolah-olah mendengar suaraku sendiri. Suara yang belum lama aku tangiskan pada hutan dan awan. Dan kini rintik hujan sedang menyampaikan tangisanku itu padanya. Senja kemudian membentangkan tangannya. Menghadapkan mukanya pada langit. Ia berusaha untuk menangkap tiap kata yang hendak disampaikan oleh rintik hujan padanya. 

Adikku,

Aku hanya ingin memberitahumu bahwa senja yang ada di ujung langit sana berwarna jingga pekat. Tetapi bunga-bunga yang tumbuh di sekitar kaki kita berwarna jingga kulit jeruk. Memang keduanya jingga, tetapi jingga yang berbeda, Adikku. [1]

Adikku, aku membaca dalam sebuah surat yang dititipkan bersama foto kedua orang tua kita pada tante Grace dalam sebuah amplop berwarna putih. Di dalam surat itu Ayah memohon padanya, agar ia mau membesarkan kita berdua sampai usia kita cukup dewasa.

Adikku, ayah dan ibu tak pernah sempat memberikan nama pada kita. Jingga dan Senja adalah nama pemberian tante Grace. Ia tahu bahwa ayah dan ibu sangat menyukai senja yang berwarna jingga.

Adikku, selama lebih dari 17 tahun kita telah membuat luka hati tante Grace tak pernah mengering. Ternyata tante Grace adalah istri ayah. Dan ibu kita, ia adalah seseorang yang sebenarnya tak pernah diharapkan kehadirannya dalam hidup tante Grace.

Adikku, kumohon jangan pernah membenci tante Grace yang telah mengirim kita ke panti ini dan kumohon berhentilah untuk menangis. Aku akan selalu menerangi gelap harimu. Menjadi Jingga Senjamu. Jingga Senja Kita

---o0o---

Depok, 07 Desember 2015

[1] Sajak Buat Istri Yang Buta Dari Suaminya Yang Tuli, Aan Mansur

Ilustrasi   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun