Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Grandi Navi Veloci

25 November 2015   11:48 Diperbarui: 26 November 2015   10:53 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Andri Sipil, No.13

Edisi Rectoverso, Soundtrack: "Feeling" by Morris Albert 

Seorang perempuan berdiri di ujung lorong cahaya. Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku berusaha menggapainya. Namun tanganku tak pernah bisa menyentuhnya. Hanya kehampaan yang terus saja coba ku genggam. Perempuan itu kemudian memanggil-manggil namaku.

“Rann..!!Rann..!!”

“Ibuuu…..!!”

Aku terbangun. Nafasku terengah-engah. Aku melihat ke arah weker. Pukul dua pagi. Sebuah perasaan aneh kembali menelusup kedalam hatiku. Menarik lelap tidurku untuk kembali tersadar. Perasaan ini, yang terasa begitu kelabu. Adalah perasaan yang sama yang hadir 22 tahun yang lalu. Saat aku masih berusia tujuh tahun. Saat itu aku sedang duduk menghadapi jenazah ibuku. Kanker di tubuhnya telah membawanya pergi. Aku tak menangis. Aku hanya memandangi wajah pucatnya. Kebisuannya sangat mengabaikanku.

Sebenarnya aku ingin berteriak di depan kematiannya. Dan bertanya kenapa ia begitu tega telah meninggalkanku. Namun ku urungkan. Aku tak ingin membuat ibu kembali menangis. Aku ingat, ibu pernah berkata bahwa ia sangat ingin berhenti menangis. Dan kini di depanku do’anya telah terkabul. Meski dengan kematian ia harus mendapatkannya.

Aku tak mau menangis. Karena aku tak ingin membuang air mata. Tentu saja kematian ibu sangat menyakitkan. Namun aku tahu, menjalani hidup sebatangkara. Tentu kepiluannya akan jauh lebih menusuk. Jadi ku putuskan untuk menyimpan air mataku. Akan ku gunakan nanti. Saat bertemu kepahitan hidup yang sudah menungguku di depan. Dengan air mataku, akan ku bujuk agar ia mau sedikit lebih bermurah hati pada kesendirianku.

Kepergian ibu terasa begitu mendadak. Ia memang sudah lama sakit. Tapi belakangan kondisi kesehatannya sebetulnya sempat membaik. Namun sayang Tuhan berkata lain. Aku berharap sebelum ia pergi. ia sempat memberitahuku siapa keluarga yang harus kutemui setelah kematiannya nanti. Namun nyatanya mengucapkan kata perpisahan padaku saja tidak.

Pada Ibu, bahkan aku belum sempat bertanya tentang satu hal. Tentang sebuah nama “aneh” yang diberikannya padaku. “Grandi Navi Veloci”. Belakangan aku baru tahu bahwa ternyata nama itu adalah nama sebuah kapal pesiar di Italia. Kemudian aku mulai menebak-nebak. Jangan-jangan tidak hanya namaku saja yang berasal dari Itali. Bisa jadi sebagian darahku juga. Melihat pada rambut ikalku yang sedikit agak pirang serta kulitku yang cokelat cerah kemerahan. Nampak seperti photo pria yang ada di dompet ibu itu. 

Dan aku juga kembali menebak. Bahwa dari kata “Grandi” lah nama panggilanku berasal. Entahlah aku tak dapat memastikan semua terkaanku itu. Penjelasannya sudah terkubur bersama jenazah ibuku. Aku tak mungkin menggalinya kembali.

***

Nampaknya Gie, kepergianmu telah membuka kembali kotak kecil tempatku menyimpan perasaan itu. Ia memang selalu terbuka. Terutama saat aku tak bisa menangisi kepergian orang-orang yang ku sayangi. Ya kau tentu saja tahu kalau aku begitu menyayangimu bukan? Namun kali ini kotak itu tidak hanya sekedar terbuka. Ia juga terangkat kepermukaan hatiku Gie. Dan mengingatkan kembali aku pada kepergian Ibu. Sebagaimana aku pada kepergiannya. Aku juga tidak menyukai kepergianmu Gie. Namun tangisanmu malam itu. Menyadarkan aku kembali. Tentang siapa dirimu, aku dan semua kekacauan ini.   

Aku bukanlah orang yang berhak atas cintamu. Aku hanyalah seorang pecundang. Yang datang merusak cinta kalian. Ya cinta kau dan Rheinara, Gie. Rheinaralah yang paling berhak atas hatimu. Setelah semua yang terjadi padanya. Aku mungkin tak pantas untuk dimaafkan. Aku hanya berharap, semoga masih memiliki waktu untuk bisa memperbaiki kekacauan ini. Memperbaiki hubungan kalian. Dengan begitu setidaknya aku bisa memaafkan diriku sendiri.

Gie, sebagaimana yang telah kukatakan padamu, bahwa James yang biasa mereka panggil Mr J itu adalah orang dibalik konspirasi ini. Aku memang turut campur di dalamnya. Namun percayalah Gie, semua itu atas perintahnya.

Jika saja James tak mengetahui tentang lamaranmu pada Rhein. Barangkali ia tak akan jadi segila ini. Ya Gie, James. Tidakkah kau mengerti. Kenapa ia begitu bersedia berinvestasi besar di perusahaan mu itu. Mempertaruhkan uangnya pada usahamu yang jangankan sukses, bisa bertahan saja masih belum pasti. Atau saat ia memintamu untuk merahasiakan identitasnya. Kemudian menempatkannya sebagai manager di sana. Tidakkah kau mengerti Gie?. Aku beri tahu padamu. Dia sedang mengincarmu Gie. Dia mengincar ketampananmu.

Lalu bagaimana dengan diriku?! Bagaimana mungkin seorang karyawan baru sepertiku ini bisa bekerja di kantormu tanpa ada proses rekrutmen sebagaimana biasa kau lakukan pada karyawan lainnya? Jelas Gie, James sedang menggunakan kuasanya di kantormu. Dan kau rupanya benar-benar tidak menyadari itu.

Jika saja kau tahu. Sudah pasti kau akan menolak menuruti perintahnya untuk pergi ke London. Mengurusi beberapa masalah perusahannya di sana. Aku juga tahu Gie, kau diminta untuk merahasiakan kepergianmu bukan?! Bahkan kepada Rhein sekalipun. Kau tidak tahu bahwa James saat itu sedang mengisolasimu dari Rhein?!

Saat kau mulai menghilang. James menempatkanku di sebelah meja Rhein. Saat itu Gie, peranku baru saja dimulai. Dan aku tahu kalau James mulai membisikan padamu informasi tentang kedekatanku dengan Rhein bukan? Dan akhirnya kau percaya Gie. Bahwa kami telah memiliki affair. Dan sayangnya kau begitu saja mengikuti kata-kata James. Terlebih saat memutuskan untuk benar-benar menghilang dari Rheinara. Dengan alasan untuk melihat kedekatanku dengan Rhein secara diam-diam.

Sampai akhirnya aku membawamu kembali pada Rhein. Bukan untuk mengembalikanmu padanya. Melainkan sebagai awal untuk James mulai memainkan dramanya. Aku tak sepenuhnya menyalahkan ketidaktahuanmu itu Gie. Jika saja aku jadi dirimu. aku juga pasti akan mempercayai semua perkataanya. Seperti yang telah kau lakukan itu. Bagaimana tidak, bisa dibilang ia adalah Bos besarmu.

Seandainya saja kau lebih membuka mata pada cinta Rhein daripada perusahaanmu. Barangkali kegilaan James tak kan pernah menyentuh kebahagiaan hidupmu Gie. Setahuku Bukankah alasanmu mendirikan perusaahn itu hanyalah untuk Rhein? Namun Ironisnya ambisimu pada perusahaan itu malah membuat hatimu meragukan kesetiaan Rhein.

***

Gie, setelah kepergian Rhein. Saat itu tiba-tiba saja kita menjadi dekat. Buatku tentu saja itu tidak aneh. Karena aku sedang menjalankan skenario James. Namun terus terang aku tak menyangka pada caramu menerima kedekatan kita tersebut. Terlebih setelah beberapa kali aku mendapatkan kehangatan bibirmu. Kau seolah menikmatinya Gie. Meskipun kemudian aku tidak menganggapnya serius. Aku tahu kau hanya sedang bingung dengan situasi hatimu saat itu.

Aku memang penyuka sesama jenis Gie. Namun saat itu sebenarnya aku tak berniat menciummu. Jika bukan karena James ingin mengambil gambar ciuman kita secara diam-diam. Dan aku sangat yakin ia kini telah memberikan photo itu pada Rhein. Untuk mengacaukan pikirannya. Meyakinkan pada dirinya kalau kau sama seperti diriku.

Kedekaan kita itu Gie. Tanpa ku sadari ternyata telah menumbuhkan perasaan yang lain padamu. Perasaan yang membuatku ingin tersenyum sepanjang hari. Perasaan yang menahanku untuk tidak beranjak dari tempat tidur karena ada dirimu di sana. Membuatku ingin menyandarkan kepalaku pada kelelakianmu.

Aku tahu perasaan ini tentu saja melewati batas dari skenario James. Aku menyadarinya Gie. Tepat saat malam di mana kau menangisi ketidakhadiran Rhein di sisimu. Kau merindukannya Gie. Saat itu akupun menyadari bahwa aku sedang mencintai sebuah kehilangan lainnya. Aku takkan mungkin memilikimu Gie. Bukan hanya karena James. Tapi juga karena cintamu pada Rhein. Kau benar-benar mencintainya Gie. Dan aku tahu itu dari caramu menangisnya.

Aku telah lama menjadi - ah aku tak tahu bagaimana harus menyebutnya. Yang jelas aku tak sama sepertimu. Aku tak memiliki harga diri lagi Gie. Mungkin bisa dibilang aku hanyalah seorang “pelacur”. Ya pelacur yang dipelihara James. Dan aku tak ingin kau bernasib sepertiku Gie. Kau berhak untuk bahagia bersama Rhein. Kau berhak menentukan arah hidupmu.

Aku tak akan menceritakan bagaimana aku bertemu James dan mengapa ia bisa begitu mengendalikan hidupku. Biarlah aku menyimpan cerita itu dalam kotak perasaanku Gie. Jika kau ingin pergi, maka pergilah. Berhati-hatilah pada kegilaan James. Demi keinginannya apapun bisa ia lakukan. Bahkan membunuh Rhein sekalipun. Aku tahu semua kejahatannya pada Rhein. Namun sandiwaranya seolah-olah ia orang paling peduli pada Rhein. Ia tak akan benar-benar melepaskan. Sebelum Rhein benar-benar lupa pada dirimu.

***

Aku sebenarnya sudah tahu dimana Rhein berada. James telah memberitahuku beberapa waktu yang lalu. Namun setelah beberapa kali diam-diam aku mengunjunginya. Nampaknya Rhein belum juga mengenaliku. Kejiwaannya masih terguncang. Saat itu ia hanya memberikan pandangannya yang dalam kearah wajahku. Sebuah pandangan seperti sedang menikmati raut wajah seseorang yang begitu hangat. Aku yakin ia mengenaliku, hanya saja pikirannya masih terlalu kacau.

Hingga pada kedatanganku hari itu. Aku membuka pintu kamar Rhein. Dan ia pun tiba-tiba memanggil namaku. Saat itu aku tahu kalau Rhein telah kembali.

“Ran?!”  

“Rhein...?!”

Aku segera menghampirinya. Tubuhnya sangat kering. Ia masih nampak begitu bingung. Ia mungkin tahu Ran, Nugie, Nina dan beberapa tokoh khayalannya. Namun sepertinya ia telah sedikit lupa dengan wajah-wajah kami.

“Rann..?!” Rhein terus saja menyebut-nyebut namaku. Ia hampir saja berteriak. Ia baru menyadari orang yang telah merebut kekasihnya telah berada di hadapannya. Aku mendekap mulutnya dan berbisik padanya.

“Sssssstttttt…!! Kita sedang diawasi Rhein..” Aku melihat ke sebuah CCTV yang menempel pada salah satu sudut kamar. Tak ingin mengundang kecurigaan. Kemudian aku melepaskannya.

“Namamu Rhein!!, Rheinara Yuki. Bukan Anna!!" Aku mencoba mengingatkan.

“Rhein..?! Rheinara..?!”

“yaa..!!” kataku berbisik

“Rhein aku kesini hanya ingin megatakan bahwa semua kabar tentang Nugie yang telah kau dengar tidak sepenuhnya benar. Nugie bukan penyuka sesama jenis Rhein..!! Sebagaimana yang telah kau dengar dari Mr.J. Nugie masih sangat mencintaimu Rhein..!!” Wajahku tiba-tiba saja sudah berada di depan wajah Rhein. Aku menatap matanya dengan tajam. Aku terus meyakinkannya.

“Rhein mungkin kau tak lagi percaya padaku. Tapi percayalah pada cintamu kepada Nugie..!! Bukankah kau masih mencintainya?!”

“Nugiee..?!!!” Rhein menyebut nama Nugie. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca

“Dimana Nugie Ran?!” Rhein kini berbalik menatapku

Aku menurunkan nada bicaraku dan menjelaskan pada Rhein secara perlahan.

“Gie telah pergi Rhein. Ia kembali menghilang. Namun kau tak perlu khawatir. Gie telah meninggalkan sesuatu untukmu” Aku mengeluarkan setangkai bunga kering dan kertas memo berwarna biru. Kertas itu bertuliskan “untuk Rhein: Jingga Senja Kita”. Aku menyerahkannya padanya.

Bunga itu telah menipis. Karena Gie telah menyimpannya begitu lama di dalam dompet. Melihatnya Rhein tiba-tiba mendekap mulutnya. Mendekap suara tangisnya yang tiba-tiba saja mulai pecah.

“Rhein, waktumu tak banyak. Segeralah pergi dari tempat ini. Dan temui Nugie..!”

Aku kemudian berdiri. Namun sebelum melangkah pergi. Aku kembali berbisik pada Rhein.

“Jangan percaya pada Mr. J! Suatu hari kau akan mengerti kenapa aku berkata begitu. Ikuti saja kata-kataku. Jangan mempercayai siapapun.Terutama pada seseorang dengan inisial “J”. Termasuk pada Doktermu  itu.

Kemudian aku melangkah pergi. Meninggalkan Rhein dengan mulut yang masih terbuka.

---o0o---

Depok, 25 Nopember 2015

 

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

      Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

---

Ilustrasi      

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun