Bicaranya amat lembut. Kata-katanya pun sopan. Jujur-patuh pada orangtua. Lenggogeni, ia adalah anak perempuan yang baik. Bahkan tidak berlebihan bila ia disebut sebagai anak yang berbakti. Ia pandai memasak. Kemahirannya itu turunan dari ibunya. Ia selalu dibawa ke mana pun ibunya pergi memenuhi panggilan memasak. Biasanya memasak untuk acara-acara hajatan warga di kampung. Sedari kecil ia juga sudah pandai mengaji. Dulu ia sering membantu almarhum bapaknya. Mengajarkan anak-anak mengeja huruf-huruf Hijaiyah. Mereka biasa memanggilnya Mbak Geni.
Jika tidak ada panggilan memasak, sehari-hari, setiap pagi buta, Lenggogeni pergi ke pasar. Bukan untuk membeli sayur atau beberapa ekor ikan untuk diolah menjadi lauk. Melainkan membantu ibunya menjual kue-kue basah hasil buatan sendiri di rumah. Menyusuri jalan kampung yang gelap, Geni akan menjunjung tampah berisi berbagai macam penganan yang menggunung. Kabut dan udara kaki gunung yang menggigil sudah sangat bersahabat dengan langkah-langkah kakinya. Seperti biasa, ia hanya menggunakan kebaya tipis. Kain batik yang ia lipatkan sampai ke mata kaki menjadi satu-satunya penghangat di tubuhnya. Ia bergegas - mengejar gelap yang perlahan mulai terisap di ufuk timur. Ia harus sudah sampai di ujung perbatasan desa. Sebelum langit menjadi terang.
Bermacam kue dihasilkan Geni bersama ibunya. Ada kue bugis, cucur, talam, klepon, maupun kue pisang. Sesampainya di pasar, ia akan duduk menggelar kue-kuenya di salah satu sudut. Tepat di bagian orang lalu lalang. Ia meletakkan tampah kuenya di atas meja kayu kecil yang selalu ia tinggalkan bersama sebuah jengkok tua. Senyumnya akan mengembang sepanjang pagi. Menyapa kesibukan orang-orang. Membujuk mereka untuk membeli kuenya beberapa potong.
***
Sehabis magrib pelataran rumah berpagar bambu itu selalu ramai dengan suara anak-anak mengaji. Cahaya lampunya terlihat lebih diterangkan dari rumah-rumah di sebelahnya. Membuat anak-anak tidak terlalu memicingkan mata. Geni akan duduk di atas tikar pandan. Ia menyandar pada salah satu tiang penyangga atap krepyak rumahnya.
Anak-anak akan duduk mengerubung. Mereka serentak - berbarengan akan membaca dengan lantang beberapa surat-surat pendek. Setelah itu, mereka akan bergantian menyodorkan hafalan bacaan masing-masing. Tak ada yang berebut. Tak ada yang saling desak. Apalagi menyalip antrian. Mereka hanya sedikit mencuri kedekatan secara diam-diam. Menggeser - melipat jarak duduknya, menempel pada pangkuan Geni.
Perhatiannya akan selalu jadi rebutan anak-anak. Tak jarang dari mereka begitu mengharapkan usapan lembut tangannya di kepala. Senyum sederhana Geni sungguh mengemong. Membuat beberapa anak secara tiba-tiba ingin tertidur di atas pangkuannya. Jika mereka mulai sedikit tidak sabar, banyak yang tiba-tiba menjadi nakal. Terutama anak laki-laki. Mereka akan berlarian atau mengganggu anak perempuan. Hanya untuk merebut konsentrasinya. Geni sudah hapal itu. Ia bagi beberapa anak, mungkin lebih keibuan dari ibu mereka sendiri.
***
Pagi itu Geni bersama ibunya menuju rumah seorang kerabat dekat. Ia sedang tidak pergi ke pasar. Seperti biasa ia libur berjualan jika panggilan memasak hajatan sudah di tangan. Geni sangat suka memasak untuk banyak orang. Ia akan membumbui masakannya dengan banyak cinta. Sepupu perempuannya baru saja mendapat lamaran. Ia pun turut bahagia.
Geni dan ibunya membagi tugas. Ibunya menangani olahan lauk tanpa kuah. Sedangkan ia harus mematangkan semur daging dan sayur kentang. Usia telah menggerogoti kecekatan tangan ibunya dalam meracik beberapa bumbu masakan. Kini menu-menu utama sudah jadi bagian Geni. Banyak orang telah mengakui. Olahan dagingnya lebih baik dari ibunya. Teksturnya begitu empuk. Hancur di mulut saat gigitan pertama.
Para kerabat yang lain berkumpul di ruang tengah. Kebanyakan terdiri dari ibu-ibu yang selalu senang berhaha-hihi. Di hari bahagia seperti ini tak ada obrolan yang terlalu serius. Yang terdengar hanyalah suara tawa mengisi sudut-sudut ruang, tempat orang-orang menitipkan kue dan makanan. Geni sesekali datang ke ruang tengah. Bukan untuk ikut bersenda gurau. Ia hanya meletakkan beberapa hidangan yang telah selesai dimasak. Atau sekedar merapikan jejeran penganan.
“Oalahhh Mbak Geni toh?! Apa kabar?!” sapa Mbok Ratmi. seorang kerabat dari bapaknya.
“Iya Bu, baik. Ibu apa kabar?!”
“Ooohh aku sih selalu sehat alhamdulillah. Gimana sudah ada yang lamar belum?!” mendengar pertanyaan Mbok Ratmi, tiba-tiba saja ruangan menjadi sepi. Senyum-senyum senyap menatap Geni. Saking canggungnya, beberapa wajah bahkan melempar pandangan pada benda-benda yang sebenarnya tak menarik untuk dipelototi.
Entah keceplosan atau memang sengaja. Mbok Ratmi telah menyodorkan sebuah ketidaknyamanan pada Geni. Ia tersenyum dengan entengnya. Namun senyumnya terasa kecut. Sekecut pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Geni hanya mejawab dengan sebuah senyuman. Disusul dengan anggukan kepala - permohonan pamit untuk kembali ke dapur.
Ibunya sudah menanti. Ia tahu pasti apa yang barusan terjadi di ruang tengah. Sambil mengaduk osengan buncis, ia menoleh ke arah Geni.
“Sudahlah Nak...! jangan terlalu dipikirkan...!”
“Ndak Bu...” Geni santai menjawab. Ia tersenyum kepada ibunya. Senyumnya ingin menunjukkan kalau ia baik-baik saja. Ibunya balas tersenyum. Mereka sudah biasa dengan situasi seperti ini. Sudah terlalu sering. Sampai-sampai mereka seperti sudah hafal dialog masing-masing. Dan tahu apa yang harus dilakukan jika hal ini terulang kembali. Seperti yang sudah-sudah mereka akan kembali memasak.
Diam-diam sang ibu kembali menatap Geni. Adegan ini tidak ada sebelum-sebelumnya. Kali ini kekhawatiran yang lama tumbuh di raut wajah ibunya, nampak telah menjadi dewasa. Geni terlihat masih menyisakan sebuah senyuman di ujung bibirnya. Namun kali ini senyumnya ditemani oleh beberapa tetes linangan air dari sudut matanya. Barangkali karena ia sedang tersenyum pada puluhan siung bawang merah yang sedang diirisnya.
***
Geni bukanlah seorang anak perempuan yang memiliki aib di kampung. Tak ada yang buruk darinya. Ia memang tidak secantik Rohimah sepupunya yang baru saja dilamar itu. Namun ia anak yang baik. Pak Ustad juga bilang begitu pada beberapa lelaki yang pernah didatangkan ke rumahnya. Lelaki yang tidak pernah kembali lagi untuk menemui Geni. Ia memang hanya seorang penjual kue basah di pasar. Tapi ia juga seorang guru mengaji.
Namun orang-orang selalu memandangnya demikian. Di pasar maupun di tempat hajatan. Tatapan mereka membuatnya merasa seperti orang pesakitan. Seolah ada kotoran menempel di mukanya. Seolah ia telah menerima sebuah kutukan. Sebuah aib besar. Sebuah keburukan yang paling hina.
Geni, meskipun begitu ia akan tetap tersenyum. Ia akan tetap ramah pada semua orang. Meski mereka berbisik-bisik tepat di depan batang hidungnya. Meski mereka memberikan tatapan mencibir padanya. Meskipun sedih, Geni akan selalu menguatkan dirinya. Ia tak akan mengeluarkan air mata hatinya. Ia tidak akan murung, sedikit pun. Ia tidak ingin membuat ibunya semakin khawatir. Semakin gelisah akan nasib anaknya – yang belum juga menikah, di usianya yang kini sudah 40 tahun itu.
------o0o------
Depok, 17 November 2015
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H