“Oalahhh Mbak Geni toh?! Apa kabar?!” sapa Mbok Ratmi. seorang kerabat dari bapaknya.
“Iya Bu, baik. Ibu apa kabar?!”
“Ooohh aku sih selalu sehat alhamdulillah. Gimana sudah ada yang lamar belum?!” mendengar pertanyaan Mbok Ratmi, tiba-tiba saja ruangan menjadi sepi. Senyum-senyum senyap menatap Geni. Saking canggungnya, beberapa wajah bahkan melempar pandangan pada benda-benda yang sebenarnya tak menarik untuk dipelototi.
Entah keceplosan atau memang sengaja. Mbok Ratmi telah menyodorkan sebuah ketidaknyamanan pada Geni. Ia tersenyum dengan entengnya. Namun senyumnya terasa kecut. Sekecut pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Geni hanya mejawab dengan sebuah senyuman. Disusul dengan anggukan kepala - permohonan pamit untuk kembali ke dapur.
Ibunya sudah menanti. Ia tahu pasti apa yang barusan terjadi di ruang tengah. Sambil mengaduk osengan buncis, ia menoleh ke arah Geni.
“Sudahlah Nak...! jangan terlalu dipikirkan...!”
“Ndak Bu...” Geni santai menjawab. Ia tersenyum kepada ibunya. Senyumnya ingin menunjukkan kalau ia baik-baik saja. Ibunya balas tersenyum. Mereka sudah biasa dengan situasi seperti ini. Sudah terlalu sering. Sampai-sampai mereka seperti sudah hafal dialog masing-masing. Dan tahu apa yang harus dilakukan jika hal ini terulang kembali. Seperti yang sudah-sudah mereka akan kembali memasak.
Diam-diam sang ibu kembali menatap Geni. Adegan ini tidak ada sebelum-sebelumnya. Kali ini kekhawatiran yang lama tumbuh di raut wajah ibunya, nampak telah menjadi dewasa. Geni terlihat masih menyisakan sebuah senyuman di ujung bibirnya. Namun kali ini senyumnya ditemani oleh beberapa tetes linangan air dari sudut matanya. Barangkali karena ia sedang tersenyum pada puluhan siung bawang merah yang sedang diirisnya.
***
Geni bukanlah seorang anak perempuan yang memiliki aib di kampung. Tak ada yang buruk darinya. Ia memang tidak secantik Rohimah sepupunya yang baru saja dilamar itu. Namun ia anak yang baik. Pak Ustad juga bilang begitu pada beberapa lelaki yang pernah didatangkan ke rumahnya. Lelaki yang tidak pernah kembali lagi untuk menemui Geni. Ia memang hanya seorang penjual kue basah di pasar. Tapi ia juga seorang guru mengaji.
Namun orang-orang selalu memandangnya demikian. Di pasar maupun di tempat hajatan. Tatapan mereka membuatnya merasa seperti orang pesakitan. Seolah ada kotoran menempel di mukanya. Seolah ia telah menerima sebuah kutukan. Sebuah aib besar. Sebuah keburukan yang paling hina.