Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Anak-anak Pematang

31 Oktober 2015   05:02 Diperbarui: 2 November 2015   05:14 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayu berdiri diujung ladang. Ladang kosong tempat mbah Imin beberapa bulan yang lalu menanam mentimun. Ia baru saja memanennya. Kini yang tertinggal diladang itu hanyalah barisan gunduk tanah yang sudah ditumbuhi rumput liar. Gunduk tempat lanjar-lanjar bambu sebelumnya didirikan. Menopang batang –batang pohon mentimun tumbuh menjulang. Sehingga tidak menjalar liar di atas tanah. ladang mbah Imin bersebelahan dengan petak-petak sawah tempat mereka biasa berpetualang. 

Tangan Bayu sigap memegangi layang-layang. Menempelkannya pada dadanya yang kerempeng. Sementara itu Damar berdiri berlawanan diujujng sisi lainnya. Memegangi benang kendali, saling berhadapan. Pada hitungan ketiga, Bayu melepaskan pegangannya. Damar menarik kuat benang yang sudah digenggamannya tersebut. Dan layang-layangpun terbang.

Dibawahnya, Bayu dan Teguh loncat-loncat kegirangan. Sesekali mereka bertepuk tangan. Kepala mereka mendongak. Bergerak kekanan – kekiri mengikuti arah pergerakan layang-layang, yang terbang liar kesana-kemari. Layang – layang pun terbang memutar sebelum akhirnya terjun menabrak gunduk. Mereka kemudian mengulangnya. Mencoba menerbangkannya kembali. Begitu seterusnya. Sampai layang-layang itu benar-benar terbang, atau berhenti karena layang-layang telah sobek terinjak Teguh yang kelewat antusias.  

***

Suatu sore mereka pulang dengan wajah penuh kegembiraan. Ditangan Bayu terdapat sebuah layang-layang berwarna merah. Layang – layang itu mereka dapatkan setelah susah payah mengejarnya. Mereka harus berlomba-bersaing-berebut dengan anak-anak yang tubuhnya jauh lebih besar. Layang-layang itu hasil jerih payah bersama. Esok mereka akan memainkannya di ladang mentimun milik mbah Imin.

Bayu berhenti diujung jalan. Ia diam mematung. Sebuah truk berwarna kuning terparkir tepat dimuka rumahnya. Truk itu sudah penuh berisi perabot-perabot rumah milik ibunya. Kasur, lemari, kursi terlihat berada ditumpukan bak truk yang menggunung. Tak ketinggalan sepeda roda tiga usang miliknyapun ikut terangkut.

Damar dan Teguh berdiri disamping Bayu. Mereka ikut memandangi truk angkut tersebut. Bayu segera menyerahkan layang-layang merah itu kepada Damar. Ia langsung berlari meninggalkan dua sahabatnya itu.

Tak berapa lama Bayu keluar dari rumah. Bersama ibunya, ia kemudian duduk disamping kursi pengemudi. Mesinnya mulai meraung-raung. Kemudian truk perlahan berjalan meninggalkan rumahnya. Meninggalkan tempat kelahirannya. Meninggalkan sebagian masa kecilnya. Meninggalkan Damar dan Teguh.

Lewat kaca jendela truk. Bayu menatap kedua temannya itu. Sorot matanya hening. Sehening hati Damar dan Teguh. Bayu pergi begitu saja. Tanpa ada kabar sebelumnya. tanpa ada kata-kata perpisahan yang diucapkan.

Kini Bayu menjalani petualangannya sendiri. Menyusuri pematang sawahnya sendiri. Tanpa Damar dan juga Teguh. Mungkin ia akan tetap bermain layang-layang. Mencari ikan cupang. Bersama teman yang lain setiba dirumah barunya nanti.

Tak bisa memilih dimana harus tumbuh. Dengan siapa ingin berteman. Anak-anak, mereka hidup mengalir. Mengikuti jalan hidup orang tua masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun