Bayu dan Teguh sontak mengejar Damar. Mengejar temannya yang tak kalah cerdik itu. Meninggalkan jejak-jejak kaki dan tubuh mereka di atas rerumputan. Kemudian dengan sedikit keceriaan yang tersisa, mereka bergegas kembali ke rumah.
Burung-burung kembali ke sarangnya di atas pohon pinang. Matahari di tepian langit telah tenggelam. Meninggalkan jejak berwarna jingga keemasan.
***
Setiap hari, sepulang sekolah. Damar, Bayu dan Teguh. Pergi menuju petak-petak sawah diujung desa. Mereka berjalan menyusuri pematang seharian. Menangkap hewan apa saja yang hidup diantara batang-batang padi yang masih hijau. Mencari setumpuk kesenangan. kemudian melalui gelak tawa, mereka akan membaginya kepada angin, awan, serta burung-burung emprit yang diam-diam menyemai padi.
Ikan cupang, katak, bahkan belalang. Selalu menjadi target utama perburuan bocah-bocah itu. Sesekali mereka me-nyelepet burung-burung emprit. Yang begitu asik menunggangi tangkai-tangkai padi.
Pencuri – pencuri berparuh itu terlalu licik. Mereka menipu, mempermainkan mbah Munir. Mereka berpura-pura terbang menjauh ketika bunyi-bunyian kaleng itu nyaring mengelontang. Namun mereka akan berbelok-memutar arah. Kembali menyusup diantara rerimbunan padi, Saat Mbah Munir sudah kembali lengah. Karena sudah terlalu lelah.
Rumput - rumput yang mencuri kesuburan ikut tumbuh diantara batang padi. Daun-daun genjer tak ketinggalan memanfaatkan melimpahnya genangan kehidupan. Daun dan batangnya kokoh menghijau. Menggoda untuk di tuai. Dimasak tumis sungguh aduhai.
***
Teguh melompat kaget. Ia berlari terbirit-birit menuju pematang. Barisan padi tak lagi dihiraukannya. Ia terabas habis. Berantakan terinjak-injak. Damar dan Bayu yang berdiri hanya beberapa meter darinya. Kontan ikut berlarian kocar-kacir. Terprovokasi.
Dengan nafas tersengal Damar menarik tangan Teguh.
“Ada apa sih?!”