Tinus merasa tidak asing dengan pertanyaan tersebut. Ya tentu saja. Ini materi fisika kelas tiga. Belum lama ia mempelajari materi ini. Ada sedikit keraguan. Namun ia tetap saja melaju. Ia tak mau peluang kemenangannya didahului oleh grup lawan. Dengan cepat Tinus mengangkat tangan.
“ya, grup Bintang Laut!” pemandu acara menunjuk ke arah meja Tinus.
Kemudian dengan tegas ia menjawab. “Gaya Magnet pak!”
Terjadi keheningan sesaat. Sebelum akhirnya pemandu acara mengatakan “salahh!!”
“ya, grup Kutikula!”
“Gaya Listrik pak!”
“Benarrrrr.....!!!” dengan demikian grup Kutikula memenangi perlombaan dan meraih juara pertama.
Tinus tertunduk. Ia tak menyangka jawabannya akan salah. Ia lunglai, lemas. Mukanya diletakan diatas meja, diatas dua tangan. Ia telah membuat sekolahnya kalah. Tepukan demi tepukan mendarat di bahunya. Ucapan selamat atas raihan juara keduapun mulai berdatangan dari teman-teman dan gurunya. Meski kemudian ia harus bisa menerima. Ia merasa ada penyesalan terhadap sebuah keraguannya.
Ya, sebuah keraguan yang sempat mampir disaat-saat ia akan menjawab pertanyaan terakhir tadi. Keraguan yang tidak sempat ia pastikan dalam belajarnya tadi malam. Tidak sempat membuka buku-buku pelajaran kelas tiga. Karena ia terlanjur tertidur kelelahan. Ini karena semalam tak ada listrik. ya listrik. Karena “gaya listrik” pula ia kalah. Tinus mulai menyalahkan keadaan. dan tiba-tiba saja saat itu ia sangat membenci mendengar kata listrik.
***
Tinus menyusuri jalan pulang menuju rumah. Ia menolak ikut rombongan sekolah. Ia masih kesal pada dirinya karena tak mendapat juara pertama. Ia ingin marah kepada tiang listrik. Melampiaskan kekesalannya itu pada batang-batang besi hitam yang berjajar congkak dipinggir jalan, seolah tak punya salah. Setiap tiang yang ia temui dihadiahkannya makian-makian Mamak. Sesekali ia menendang keras seolah-olah tiang itu bisa merasakan sakit.