Tinus berlari kencang menuju rumahnya diujung padang. Semangatnya menerabas, melibas pagar rumput ilalang yang menjulang, sepinggang. Memotong jarak, mencari jalan pintas, bergegas. Langkah cepatnya lincah seperti pemain bola menghindari hadangan lawan. Kekiri-kekanan mencari celah yang bisa dengan mudah dilewatinya. Tangan kanannya menggantung, memegangi tas kain selempangnya yang ikut terbang, pontang-panting.
“Mamakkk...Mamakkk....!!” teriaknya antusias
“Martinusss...!, Mamakmu dibelakang..!!” Mamak balas berteriak.
“Mamak, Tinus berhasil Mamak”
“Juara berapa kau Nak?!” Tanya Mamak penasaran.
“Belum Mamak, Tinus baru lolos ke babak final besok.”
“Ohh, Mamak kira kau sudah juara Nak”
“Belum Mamak…belum..!!” intonasi suaranya menurun.
Mamak kemudian memegang kedua sisi kepala Tinus, sedikit membungkuk, ia dekatkan mukanya dan berkata:
“Nak, Mamak doakan besok kau juara!”
“Terimakasih Mamak..!” Tinus kembali tersenyum, sebuah pelukan hangat diberikannya pada Mamak.