Mohon tunggu...
Andri Imam Fauzi
Andri Imam Fauzi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Traveler

Explore the outdoor

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Fort Willem I Ambarawa, Menyeramkan tapi Wajib Diabadikan

7 April 2019   10:16 Diperbarui: 7 April 2019   20:23 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benteng, sejarah, dan wisata, yaitu tiga hal yang punya keterkaitan satu sama lain. Berhubungan dengan memori panjang dan sejarah suatu wilayah, baik itu negara atau kota, benteng menyimpan hal-hal yang menarik buat ditelusuri lebih lanjut dan mendalam dengan cara yang berbeda saat ini, yaitu melalui wisata.

Ambarawa, jadi salah satu saksinya. Sebuah wilayah di Semarang, Jawa Tengah ini jadi lokasi kelahiran sebuah benteng yang masih bisa dilihat fisiknya hingga saat ini. Saya bilang masih bisa dilihat fisiknya, karena meskipun masih tegak berdiri, tapi bagian kulit atau dinding luar benteng ini nunjukkin kesan "sebentar lagi juga..."

Dinding-dinding yang ibarat kulit manusia, yaitu kulit manusia yang makin menua dengan keriput di sekujur tubuh. Keriput bagi benteng ini, yaitu ngelupasnya lapisan luar dan adanya lumut-lumut yang menutupinya. Ditambah lagi, dengan pilar-pilar penyangga yang terbuat dari kayu, yang saat ini udah mulai rapuh kondisinya.

Hadirnya benteng ini di wilayah Ambarawa yang terkenal dengan perkebunan dan pertanian, secara gak langsung membantah kalo sebuah benteng itu harus ada di pinggir atau tepi pantai, dan sebuah benteng harus ada di pusat kota. Fort Willem I ini ada di tengah-tengah persawahan. 

Kalo diperlebar lagi, wilayah benteng ini berada, dikelilingi oleh beberapa gunung. Yang secara gak langsung bahwa kota ini sebenarnya udah dilindungi sama alam, lewat "benteng-benteng" yang bumi lahirkan, tapi dengan hadirnya Fort Willem I ini lebih memperkuatnya. 

Oh, iya selain berada di wilayah persawahan dan dikelilingi oleh pegunungan, benteng ini juga berdekatan dengan Rawa Pening, dan stasiun kereta api Ambarawa. Jadi, meskipun ada di wilayah pelosok, tapi lokasi benteng ini cukup strategis.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Meskipun lokasinya ada di pelosok Semarang yang jauh dari pusat kota. Akses buat ke benteng ini gak susah kok, kalo titik awal perjalanan kita ke tempat ini dari pusat kota Semarang. Kita bisa manfaatin transportasi umum BRT Trans Jateng buat ke sana, dan turun di pemberhentian terakhir, terminal Bawen. 

Dari terminal itu, kita harus usaha lagi buat sampe ke sana. Bisa pake jasa ojek online yang gampang ditemuin dan diorder dari terminal Bawen buat ngejangkau benteng itu. Jaraknya, dibilang dekat ya enggak, tapi dibilang jauh ya juga enggak.

Beberapa belas menit kurang lebih perjalanan menuju ke sana, gak bikin bosen mata kok, karena sepanjang perjalanan bakal nemuin hal-hal yang bisa manjain mata. 

Sampai pada akhirnya saya mulai ngeliat dari kejauhan, ada sebuah bangunan yang menarik perhatian mata, yang lokasinya ada di tengah sawah, yang saat saya datang ke sana, persawahan tersebut baru masuk masa tanam. Sebuah bangunan tua yang terlihat kontras dengan keadaan sekelilingnya.

Meskipun dari tepi jalan raya udah kelihatan bangunan bentengnya, tapi kita masih harus masuk ke sebuah jalan kecil yang hanya muat dua motor (yang berjalan berdampingan), atau jalan untuk ukuran satu mobil. Jalan kecil yang belum tersentuh aspal, tapi hanya jalan yang ditutupi oleh bebatuan paving block (konblok), dengan beberapa pohon di kanan-kiri jalannya. 

Sebuah jalan setapak yang berbeda dari jalan-jalan setapak yang ada di tepi sawah bukannya? Iya. Hampir gak ada rumah warga di sepanjang jalan menuju ke sana. Kalo dilihat dari jejak yang ada di atas permukaan jalannya, kelihatan sebenarnya kalo jalan ini adalah jalan yang aktif dilalui, dan bukan cuma dilalui sama manusia, tapi terlihat juga jejak kendaraan yang melintasinya. "Oh, mungkin itu jejak kendaraan wisatawan." 

Pikiran di atas gak salah, tapi masih kurang penjelasannya. Apalagi setelah jalan beberapa menit, yang saya kira gak bakal nemuin rumah warga di sana, ternyata salah. Ada satu rumah di sisi kanan jalan (kalo arahnya dari jalan masuk tadi). 

Sebuah rumah sederhana yang didiami oleh beberapa orang. Saya diminta untuk ke sana oleh dua orang ibu yang lagi bercakap di atas dipan. "Mas, mau ke mana? Mau ke dalam? Sini, beli dulu tiket masuknya." Ya, ternyata rumah itu jadi lokasi penjualan tiket masuk buat ke benteng ini. Tiket seharga Rp 5.000 jadi bukti masuk ke lokasi ini.

Persis di depan rumah itu, ada banyak MCK yang kalo dihitung mungkin belasan jumlahnya. Tapi, sayangnya MCK itu gak terawat dan terbengkalai, dengan ornamen-ornamen MCK yang udah mulai rusak. Hmm... kesan pertama yang muncul, kok agak seram ya. 

Ditambah lagi, pas ke sini keadaan benteng ini sepi, gak ada wisatawan lainnya. Di lain hal, kok, ada beberapa baju tergantung di lantai dua benteng ini. Yang kalo saya perhatiin, itu baju masih dipake, dan kondisinya kayak lagi dijemur setelah dicuci. Dan itu masih jadi pertanyaan.

Benteng yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Willem II ini punya pintu masuk yang cukup pendek buat bangunan sebesar ini, dan bentuk pintu masuknya membulat di bagian atasnya. 

Dari langkah pertama saat masuk dari pintu ini, hingga sampai di bagian dalam bentengnya, kita harus menghabiskan beberapa belas langkah. Itu artinya, benteng ini "tebal". Ya, namanya juga benteng. Kesan pertama saat masuk ke benteng ini, "Wah, udah usang dan seram ya."

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dinding-dinding benteng usang dan rapuh di berbagai sisinya ini seolah menyapa kehadiran saya dengan sambutan "mau apa ke sini?" Dinginnya suasana di dalam benteng, dan sepinya suasana seluruh benteng, mulai menaikkan rasa ngeri berada di lokasi ini. 

Tapi, benteng yang pembangunannya makan waktu kurang lebih 19 tahun dan baru selesai pada tahun 1853 ini, bikin saya mikir lain kalo sebenarnya benteng ini masih dipake. 

Pertama, karena ada jemuran yang tergantung di lantai dua benteng ini, kedua dengan adanya mobil terparkir di salah satu lorong benteng ini, dan terakhir adanya tempat sampah yang ada di beberapa sudut benteng ini, dan itu sampah baru. Tapi, kok sepi?

3338490484491302081-img-0671-5ca96b3d3ba7f7199554a103.jpg
3338490484491302081-img-0671-5ca96b3d3ba7f7199554a103.jpg

Sampailah rasa penasaran saya terjawab dengan keluarnya beberapa orang dari salah satu ruangan di benteng ini. Saya gak ngira kalo mereka adalah wisatawan karena dari tampilan mereka saat keluar ruangan tersebut, nunjukkin kalo mereka bagian dari benteng ini. Ternyata benar, mereka adalah warga yang tinggal dan menjadikan benteng ini sebagai tempat tinggal mereka. 

Terjawab sudah rasa penasaran saya seputar beberapa hal yang saya dapati dari pintu masuk tadi, sampai ke titik ini. Baru tahu saya kalo ada orang yang tinggal di benteng setua ini, dan mereka tidak sendiri, tapi ada beberapa kepala keluarga yang menempatinya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Lepas dari fakta-fakta yang ada soal benteng ini dijadikan sebagai tempat tinggal, pesona yang dihadirkan oleh benteng ini, sukses bikin saya merasa berdecak beberapa kali saat memandangi kondisi benteng ini. Antara miris dan "wow". Miris melihat keadaan benteng yang terlihat terbengkalai di berbagai sisinya. Padahal benteng ini punya potensi buat dikembangkan dan dikenal lebih luas. 

Bukan gak mungkin kalo terus dibiarkan, benteng ini nantinya harus mengalah dengan alam dan kembali ke alam, dan di sini peran manusia hadir buat memperlambat proses itu, bahkan buat mencegah proses itu. Jangan sampai nanti cuma menyisahkan pondasi dan kenangan. 

Sayang, bukannya? Tapi di satu sisi, yang bikin saya berdecak "wow" karena dengan perawatannya yang sederhana atau mungkin tidak dirawat, benteng ini tetap menunjukkan dirinya yang kuat dan teguh berdiri di atas keterbatasan.

Instagram: andrimam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun