Menjelang Imlek, kampung Pecinan di Solo, yang terletak di belakang kawasan Pasar Gede, semarak dengan berbagai hiasan khas. Jalan-jalan dipenuhi lampion merah, dan aroma masakan khas keluar dari rumah-rumah warga keturunan Tionghoa. Di tengah keramaian itu, Arya, seorang siswa SMA kelas 11, berjalan menuju toko milik keluarga Ing, teman sekelasnya yang cantik dan cerdas.
Arya telah lama menyimpan perasaan pada Ing, tetapi ia selalu ragu untuk mengungkapkannya. Ing adalah ketua kelas yang dikenal tegas, sementara Arya hanya siswa biasa dengan bakat teater karena ayahnya seorang pemain wayang orang di Gedung Sriwedari. Namun, keduanya memiliki satu kesamaan: mereka sama-sama menyukai melukis.
Suatu hari, saat jam pelajaran seni, Arya memberanikan diri mendekati Ing.
"Gambar yang indah," katanya canggung.
Ing tersenyum tipis. "Terima kasih, Arya. Kamu juga suka melukis, kan?"
Percakapan itu menjadi awal dari persahabatan mereka. Arya sering membantu Ing menyiapkan dekorasi Imlek di toko keluarganya, menggantung lampion dan mengecat poster ucapan selamat Imlek.
Namun, di balik semua itu, Arya menyimpan rasa khawatir.
"Tak mungkin aku punya hubungan khusus dengan Ing. Kami beda budaya dan status ekonomi," batinnya.
Malam Imlek tiba, kampung pecinan itu dipenuhi warna merah dan emas, dengan suara petasan menggema. Arya diundang ke rumah Ing dan membawa lukisan lampion merah yang ia buat sendiri.
Di taman kecil di belakang rumah, mereka duduk di bawah cahaya lampion. Arya akhirnya mengungkapkan perasaannya.
Ing terdiam sejenak, lalu berkata, "Arya, aku juga suka kamu. Tapi aku takut perbedaan budaya jadi masalah."