Jangan heran kalau di sekelilingmu banyak anak-anak umur 7 tahun hafal lagu "Jarang Goyang" yang dinyanyikan Nella Kharisma. Ada juga yang meniru Younglex dan Awkarin dalam teknik rap yang penuh hujatan pada liriknya. Barangkali sekarang yang sedang marak yaitu lagu "DDU-DU DDU-DU" milik Blackpink.Â
Tidak tanggung-tanggung, bahkan mereka para bocil (bocah cilik) juga hafal koreonya sampai tamat. Fakta ini bisa ditemukan di keluarga kita, anak dari sahabat kita, anak dari tetangga kita, dan masih banyak lagi anak-anak lainnya yang notabene masih terlalu kecil untuk mengkonsumsi lagu seperti itu.
Fenomena ini pernah menjadi obrolan saya dengan bapak sebelum beliau meninggal. Beliau pernah berpesan pada saya "Tolong, kalau kamu sudah pintar bermusik, ciptakan beberapa lagu anak. Karena bapak takut suatu saat generasimu kehilangan stoknya." Ini menandakan bahwa sebenarnya sudah ada ketakutan dari generasi bapak saya tentang minimnya ketersediaan lagu anak-anak di masa mendatang.
Sewaktu saya kecil, bapak sangat gemar menyanyikan dan mengajari saya bernyanyi lagu anak seperti milik Trio Kwek-Kwek, Joshua, Tasya, dan lainnya.Â
Bapak selalu percaya bahwa lagu anak adalah salah satu media yang mudah untuk mendidik perilaku saya sebagai anaknya. Contohnya, saat saya susah diatur oleh ibu, ibu marah. Lalu bapak menyanyikan "Surga di Telapak Kaki" Ibu milik Dea Ananda.Â
"Sembilan Bulan Ibu mengandung dan melahirkan kita ke dunia. Siang dan malam ibu menyusui, tiada merasa lelah dan letih..."
Seketika saya merasa bersalah saat itu karena menyakiti ibu dengan tingkah rewelku. Saya merasa keinginan saya tidak ada apa-apanya dibanding pengorbanan ibu melahirkanku. Lalu saya menangis sambil meminta maaf pada ibu waktu itu. Saya tak berani lagi untuk membuatnya marah.Â
Menandakan misi bapak saya berhasil, mendidik anaknya dengan media lagu tanpa ada pukulan dan bentakan keras. Cukup dengan sadarkan kelakuannya, saya sebagai anak sudah bisa mengambil keputusan untuk tidak lagi berbuat rewel.
Lagu anak sebenarnya memiliki jangkauan tema yang luas untuk bisa dipilih. Membicarakan tentang merawat alam, hormat kepada orang tua, budi pekerti, pertemanan, cinta tanah air, sekolah, permainan, apa saja kecuali percintaan dan urusan orang dewasa lainnya.Â
Semua itu direduksi dalam lirik yang sederhana namun diharapkan adanya muatan pesan moral. Ini dimaksudkan untuk mendidik, agar anak-anak tidak bosan mendengar nasihat dari guru maupun orang tua.Â
Musik bisa menembus batin dan otak mereka untuk mau berbuat yang benar dan baik. Selain itu, lagu anak juga sarat akan imajinasi yang memantik pengetahuan yang tidak didapatkan di buku pelajaran.
Memasuki jenjang akhir sekolah dasar, saya berkenalan dengan lagu anak yang cukup sulit untuk dinyanyikan. Sebutlah seperti lagu "Kupu-Kupu" milik Melly Goeslaw. Dengan ambitus dan interval nada yang rumit cukup menyulitkan saya untuk menyanyikannya.Â
Lalu original soudtrack film "Petualangan Sherina", cukup membuat saya terpukau dengan aransemen musiknya. Ini menegaskan sebenarnya lagu anak tidak berhenti di level sederhana. Mereka bisa dikemas dalam musik yang elegan maupun aransemen yang rumit.
Namun berbeda jika kita mendengarkan petuah A.T Mahmud. Dilansir dari perbincangan saya dengan kawan yang pernah mengikuti workshopnya, beliau berkata bahwa membuat lagu anak seharusnya dibuat dengan interval sedekat mungkin, passing melodi yang melangkah, karena dimaksudkan agar tidak menyusahkan saat menyanyi.Â
Coba dengarkan karya beliau seperti "Bintang Kejora", "Amelia", "Hati Gembira", dan lain sebagainya. Satu gaya dengan Ibu Sud, Pak Kasur, yang membuat lagu sederhana namun bermutu.
Tergesernya kepopuleran lagu anak di masa kini adalah banyak disebabkan oleh minimnya regenerasi pencipta lagunya. Era sebelum tahun millenium, kita masih banyak memiliki stok pengarang lagu anak yang konsisten menciptakan.Â
Lagu anak di era itu dijadikan industri oleh label rekaman kepada penikmat musik nasional. Banyak artis cilik yang bermunculan sebagai seorang figur yang bisa diidolakan.Â
Kepopuleran lagu anak terangkat karena program stasiun televisi juga masih banyak yang berlomba untuk menayangkan. Kaset, CD, bahkan radio yang berisi lagu anak masih banyak diproduksi.
Masalah yang ada saat ini adalah anak-anak tidak lagi tertarik untuk memilih lagu anak dalam mendengarkan musik. Minimnya lagu anak yang bermutu membuat anak-anak condong kepada tren musik dewasa.Â
Mengakibatkan mereka menelan musik yang tidak sesuai dengan nalar yang berkembang di usianya. Ini gawat, mereka bisa kehilangan masa kanak-kanaknya yang membutuhkan kejernihan persepsi dalam memandang dunia. Apalagi, dengan masifnya perkembangan gadget saat ini, mereka semua bisa mengakses banyak pilihan musik yang ditawarkan. Lagu anak sudah tidak menjadi tren yang populer yang bisa disandingkan dengan lagu dewasa.
Kalau diingat-ingat, sebenarnya yang turut andil dalam mengubah citra anak yang membicarakan soal asmara adalah Ahmad Dhani melalui project "Lucky Laki" tahun 2009. Ketiga Anak kandungnya diprospek untuk menjadi band cilik bernuansa cinta.Â
"Aku bukanlah superman. Aku juga bisa nangis. Jika kekasih hatiku. pergi meninggalkan aku." Project ini menurut saya mempunyai pengaruh kepada psikologis anak-anak bahwa kalau ingin dianggap keren harus tau artinya jatuh cinta kepada kekasih hatinya. Mulai berfikir bahwa ketertarikannya kepada teman lawan jenis sekelasnya adalah hal yang wajar di usianya.
Namun, selama gaya rambut Kak Seto Mulyadi masih sama, saya optimis tren lagu anak yang bermutu bisa tumbuh dan viral lagi. Beberapa bulan lalu saya mendapatkan angin segar dari band HiVi! yang membuat lagu "Merakit Perahu".Â
Mungkin lagu itu tidak hanya untuk anak-anak, tetapi sarat akan pesan moral dan nuansa keceriaan anak-anak di dalam musiknya. Walau sepertinya karya ini malah tidak populer dikalangan anak-anak.Â
Usaha band Mocca dalam membuat lagu "Happy" juga merupakan sumbangsih bagus dalam meramaikan lagu anak. Melly Goeslaw dalam "Guruku Tersayang" juga bisa dijadikan panutan dalam mengkompos musiknya.
Media dan teknologi sudah berkembang canggih dan tak bisa kita hindari. Anak-anak sudah lebih pintar dalam mengoperasikan gadget dari pada orangtuanya. Yang jadi masalah adalah ketimpangan tren antara musik dewasa dan musik untuk anak-anak.Â
Kuantitasnya jauh sekali, lagu dewasa mendominasi platform streaming musik. Lagu anak dinyanyikan kadang hanya untuk peringatan hari besar seperti Hari Guru, Hari Kemerdekaan, dan hari-hari penting lainnya. Ini yang membuat generasi penerus kita overdosis dalam mengkonsumsi musik yang bukan untuk ukuran umurnya.
Semoga kita semua masih tetap optimis dalam menghidupkan lagi lagu anak. Baik arranger, komposer, song writer, lulusan akademisi, guru kelas, orang tua, semua bisa mempunyai andil dalam meningkatkan kualitas lagu yang didengar anak-anak Indonesia. Karena melalui musik, mereka tersentuh secara alami tanpa paksaan dalam menanggapi ajakan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Selamatkan Lagu Anak !
Andri Asmara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H