Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Bijak Bermusik #1

9 April 2019   23:37 Diperbarui: 10 April 2019   00:22 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

ALERGI

Persoalan dalam dunia musik memang kompleks dan memusingkan bagi orang yang terjun langsung didalam dunia praktisi, pengamat, maupun pendidik musik. Perbedaan perspektif dan mazhab berpikir yang tidak hanya dengan satu jalan membuat kritikus satu dengan lainnya, pemusik satu dengan lainnya, pendidik satu dengan lainnya, saling meramu argumen demi mempertahankan produk intelegensinya yang paling ilmiah. Namun untuk pendengar musik yang awam, mungkin persoalan tersebut tidak ada urusan dengan kehidupannya. 

Mereka (pendengar awam) kerap kali di hapuskan keberadaannya, mengingat para cendekia musik biasanya alergi dengan kata industri (menurut pengalaman saya) yang akhirnya semua dipukul rata bahwa selera pasar selalu buruk dan tak bergengsi untuk dilakukan uji penelitian. Hasilnya, pendengar tak punya pilihan, ia santap semua produk industrial yang disuguhkan oleh oknum yang mungkin tidak paham ilmu musik sama sekali. Mulailah sedikit demi sedikit industri musik meluntur kewibawaannya. 

Proses kreatif sudah menjadi metode yang usang, yang paling penting bisa menjual, viral, persetan dengan tingkat mutu musiknya. Selama pendengar bisa larut dalam bius-bius kepasrahan, tak ada lagi yang dikhawatirkan, industri "kacang gorengan" yang akan terus mendominasi. 

KESALAHPAHAMAN

Keadaan menurut saya sudah menjadi semakin chaos. Teringat pada tahun lalu ketika "Indonesia Raya" menjelma menjadi versi bebunyian kekinian yang sebenarnya merupakan kesalahan interpretasi nilai dan kesalahan penafsiran hukum, lalu semakin kacau ketika sosok pemecah masalah bukan dari cendekia musik yang sebenarnya, melainkan hanya pelaku musik industri yang banyak subscribers di akun Youtube nya. 

Semua menjadi semakin abu-abu, baik dari perspektif hukum dan musik, dikarenakan sang arranger yang salah tempat dalam meluapkan jiwa nasionalisme-nya dan terjadi cuitan komentar antara yang pro dan kontra. Lalu beberapa bulan lalu kasus "sunset di tanah anarki" yang menjadi sengketa perizinan dan interpretasi pembawaan musiknya, mirip dengan kasus "Akad" yang sudah di monetize tanpa izin oleh musisi cover di platform digital pada 2 tahun lalu. Semua serba kacau, apalagi sudah ada campur tangan netizen yang berkicau, mendadak menjadi pakar bidang , padahal tak satu solusipun ia tandang. 

KURANGNYA SOSIALISASI

Lalu persoalan hak cipta yang ternyata belum diketahui banyak penggubah musik, pengguna musik, serta penikmat musik. Ini fatal, sebab dalam prakteknya yang bersangkutan (badan hukum, akademisi, media)  gagal mengedukasi khalayak umum tentang seluk beluk hak intelektual. Bagaimana mau mengedukasi, banyak dari musisi akademis menggunakan partitur repertoar musik dengan cara copy sana-sini tanpa tahu etika penggunaannya. 

Sebenarnya informasi di internet dan buku sudah banyak yang memaparkan tentang seluk beluk hak intelektual, hanya saja didalam prakteknya birokrasi Indonesia belum siap dengan pelayanan tersebut. Sedangkan teknologi sudah semakin maju, sistem online sudah nyata dalam kehidupan berwarta. Tiap detik informasi diakses, dari musik zaman kolonial sampai millenial tersaji di layar gadget kita. Maka jika hak cipta masih juga menjadi kendala, sebaiknya menjadi perenungan di segala lini kehidupan ekosistem masyarakat musik dan pemerhati hukum untuk segera membuat kebijakan yang praktis solutif.

HASRAT APRESIASI YANG TAK BERIMBANG

Kemudian persoalan pendengar yang tak budiman, baik yang awam maupun yang bercita-rasa. Banyak dari pendengar musik tidak sadar benar bahwa musik yang didengarkan didapatkan secara illegal. Mereka menikmati musik, merasa nyaman, merasa termotivasi, merasa terwakili emosi jiwanya, bahkan merasakan kebahagiaan melalui musik yang didapatkan secara illegal. 

Apakah pernah terbesit bahwa musik yang kita nikmati sekarang hasil buah pikiran dan modal materi yang tidak murah dari musisi yang membutuhkan kehidupan yang layak juga? "Ah gapapa, sudah untung didengerin." Dan si musisipun terpaksa menerima konsekuensinya, bahwa musik yang dibuat sebaik mungkin akan tertutup dengan musik-musik viral yang mudah dan murah didapati di masyarakat.

APA YANG SALAH ?

Jika kita mau merenung sebentar saja, dan berusaha berpikir jernih, sebenarnya yang membuat keruh keadaan ekosistem bermusik adalah hilangnya kebijaksaan dalam memaknai musik di setiap pilarnya. Disini dapat diartikan sebagai kegagalan dalam memaknai musik sebagai bentuk produk intelegensi manusia yang bisa memberi manfaat hidup atau bahkan kebaikan di setiap yang mendengar. 

LANTAS PENDENGAR HARUS BAGAIMANA ?

Memang, karya seni jika sudah di publish ke publik seutuhnya merupakan hak penikmat untuk mengapresiasi dalam berbagai bentuk. Namun yang terluput dari penikmat seni (khususnya pendengar musik) adalah tak dibekalinya jiwa menghargai. Contoh : Memang kita sudah mengapresiasi musisi dengan cara mendengarkan dengan jiwa yang besar terhadap karya mereka. 

Namun kita sering berubah menjadi "miskin" bila ditawari rilisan fisik, merchandise, tiket konser atau apapun yang berkaitan dengan mengeluarkan uang demi pundi-pundi kelancaran mereka berkarya. Jika kita tidak mampu menghargai dari sisi material, kita bisa memfilter diri untuk tidak memasukan mp3 bajakan / hasil download illegal dari karya mereka (musisi) di berbagai gadget. 

Lakukan dengan legal, yaitu streaming situs resmi baik dari Youtube maupun paltform digital lainnya yang saya rasa lebih menguntungkan para musisi. Mindset perlu diluruskan, bahwa musik untuk kebutuhan jiwa bisa didapatkan secara gampang, tapi tidak patut untuk dihargai secara murah.

MENJADI PELAKU INDUSTRI YANG BERMARTABAT

Teringat argumen Ted Gioaia setelah membaca buku Jurnalisme Musik karya Idhar Resmadi, bahwa musik saat ini tak lebih dari sekedar hiburan atau bagian gaya hidup yang lekat dengan kebanalan komersialisasi. Disini, Argumen ini saya rasa mengalami proses pematahan. Mengingat betapa suramnya rentang tahun 2005-2010 dimana saat itu Indonesia dilanda keseragaman gaya musik melayu yang sangat tinggi frekuensi pemutarannya. Kini setelah revolusi media sosial yang kian masif, selera musik masyarakat menjadi kian sulit untuk diseragamkan. 

Di titik inilah pelaku industri musik mengubah arah strategi dan konten musik mereka menjadi sedikit berbobot dan beragam. Sebagai contoh Kunto Aji, Yura, Raisa, Tulus, para penyanyi solo yang kian berani menyajikan musik yang berbobot dan lirik yang jauh dari kata receh. Atau bahkan se-militan Four Twenty dan Fiersa Besari digemari anak-anak sekolah yang tergolong masih ABG. 

Ini menandakan masyarakat sudah mulai jadi pemegang kuasa atas selera yang ia inginkan, tak usah bergantung rating atau acara TV pagi hari yang dulu menjadi barometer musik industri Indonesia. Keadaan sudah berbalik, membuat musik tak hanya seperti membuat telur ceplok, para pelaku industri musik di tuntut membuat musik yang bermartabat bagi dirinya sendiri maupun bagi pendengarnya agar tetap hidup dari karir bermusiknya.

MUSIK INDUSTRI LAYAK DIJADIKAN RISET

Terkadang, musik yang bagus lahir dari kemurnian intuisi penciptanya. Dan musik yang bagus tidak memilih untuk diciptakan oleh siapa. Jika para musikolog atau peneiliti memandang segala yang berbau populer dan di distribusikan pasti hanya soal komersil, berarti ada yang salah dengan pencarian dari substansi sebuah musik. Terkadang penciptanya tak tahu yang ia ciptakan lebih dari estetika sebuah musik populer, namun karya tidaklah bisa berbohong. Karya musik yang bagus akan tetap menjadi bagus dan layak dijadikan sebuah riset. 

-Andri Asmara-

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun