Kemudian persoalan pendengar yang tak budiman, baik yang awam maupun yang bercita-rasa. Banyak dari pendengar musik tidak sadar benar bahwa musik yang didengarkan didapatkan secara illegal. Mereka menikmati musik, merasa nyaman, merasa termotivasi, merasa terwakili emosi jiwanya, bahkan merasakan kebahagiaan melalui musik yang didapatkan secara illegal.Â
Apakah pernah terbesit bahwa musik yang kita nikmati sekarang hasil buah pikiran dan modal materi yang tidak murah dari musisi yang membutuhkan kehidupan yang layak juga? "Ah gapapa, sudah untung didengerin." Dan si musisipun terpaksa menerima konsekuensinya, bahwa musik yang dibuat sebaik mungkin akan tertutup dengan musik-musik viral yang mudah dan murah didapati di masyarakat.
APA YANG SALAH ?
Jika kita mau merenung sebentar saja, dan berusaha berpikir jernih, sebenarnya yang membuat keruh keadaan ekosistem bermusik adalah hilangnya kebijaksaan dalam memaknai musik di setiap pilarnya. Disini dapat diartikan sebagai kegagalan dalam memaknai musik sebagai bentuk produk intelegensi manusia yang bisa memberi manfaat hidup atau bahkan kebaikan di setiap yang mendengar.Â
LANTAS PENDENGAR HARUS BAGAIMANA ?
Memang, karya seni jika sudah di publish ke publik seutuhnya merupakan hak penikmat untuk mengapresiasi dalam berbagai bentuk. Namun yang terluput dari penikmat seni (khususnya pendengar musik) adalah tak dibekalinya jiwa menghargai. Contoh : Memang kita sudah mengapresiasi musisi dengan cara mendengarkan dengan jiwa yang besar terhadap karya mereka.Â
Namun kita sering berubah menjadi "miskin" bila ditawari rilisan fisik, merchandise, tiket konser atau apapun yang berkaitan dengan mengeluarkan uang demi pundi-pundi kelancaran mereka berkarya. Jika kita tidak mampu menghargai dari sisi material, kita bisa memfilter diri untuk tidak memasukan mp3 bajakan / hasil download illegal dari karya mereka (musisi) di berbagai gadget.Â
Lakukan dengan legal, yaitu streaming situs resmi baik dari Youtube maupun paltform digital lainnya yang saya rasa lebih menguntungkan para musisi. Mindset perlu diluruskan, bahwa musik untuk kebutuhan jiwa bisa didapatkan secara gampang, tapi tidak patut untuk dihargai secara murah.
MENJADI PELAKU INDUSTRI YANG BERMARTABAT
Teringat argumen Ted Gioaia setelah membaca buku Jurnalisme Musik karya Idhar Resmadi, bahwa musik saat ini tak lebih dari sekedar hiburan atau bagian gaya hidup yang lekat dengan kebanalan komersialisasi. Disini, Argumen ini saya rasa mengalami proses pematahan. Mengingat betapa suramnya rentang tahun 2005-2010 dimana saat itu Indonesia dilanda keseragaman gaya musik melayu yang sangat tinggi frekuensi pemutarannya. Kini setelah revolusi media sosial yang kian masif, selera musik masyarakat menjadi kian sulit untuk diseragamkan.Â
Di titik inilah pelaku industri musik mengubah arah strategi dan konten musik mereka menjadi sedikit berbobot dan beragam. Sebagai contoh Kunto Aji, Yura, Raisa, Tulus, para penyanyi solo yang kian berani menyajikan musik yang berbobot dan lirik yang jauh dari kata receh. Atau bahkan se-militan Four Twenty dan Fiersa Besari digemari anak-anak sekolah yang tergolong masih ABG.Â