Mohon tunggu...
Andrianto SatriaUtomo
Andrianto SatriaUtomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Economics Undergraduate Student/Universitas Airlangga

Economics student who interested financial and natural science

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Social Loafing: Faktor, Dampak, dan Solusi

31 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 31 Mei 2024   18:10 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena Social Loafing: Faktor, Dampak, dan Solusi


Fenomena social loafing atau pemalasan sosial adalah adanya individu yang berkemungkinan untuk mengurangi performansi, dalam bentuk motivasi dan usaha, ketika dihadapkan dalam kegiatan yang dikerjakan secara berkelompok, dibandingkan ketika bekerja secara individu (Sumantri and Pratiwi 2020). 

Akibatnya, hal ini berdampak pada kinerja kelompok yang akan mengalami penurunan dan menyebabkan beberapa individu lain harus ekstra dalam pengerjaan tugas yang sebenarnya dilakukan berkelompok. Maka dari itu, dampak dari social loafing lebih kearah negatif yang bisa berefek pada hubungan individu yang melakukan social loafing dengan individu-individu lain di suatu kelompok. 

Bentuk social loafing bisa bermacam-macam, serta banyak faktor yang menpengaruhi individu melakukan social loafing. Selain itu, fenomena ini sering dijumpai baik di lingkungan masyarakat, pendidikan, maupun profesional yang tentu saja kehadiran individu dalam berkelompok seharusnya dibutuhkan dalam memberikan usaha dalam pengerjaan kegiatan secara berkelompok.


Social loafing bisa dimasukkan sebagai satu dari berbagai fenomena di dunia akademik yang merugikan, selain tindakan plagiarisme, dan hal itu mencerminkan ketidakintegritasnya seorang civitas akademika dalam menegakkan kode etik akademik.  Social loafing di dunia akademik sering dijumpai penulis yang telah menamatkan pendidikan SD hingga SMA dan berlanjut menyandang status mahasiswa, seperti seorang siswa yang hanya titip absen ketika mengerjakan tugas kelompok atau siswa yang tidak paham dalam kegiatan kelompok menyerahkan sebagian tugasnya ke individu lain.

Selain itu, social loafing juga sering ditemukan di lingkungan masyarakat, contohnya pada saat pelaksanaan kegiatan warga secara bersama, seperti kerja bakti atau kenduri, contohnya yaitu dari semua warga yang diundang untuk kenduri, hanya sebagian saja dari mereka yang ikut andil dalam doa bersama. 

Fenomena ini juga tidak luput untuk terjadi di dunia profesional, yang terkadang terdapat anggota tim yang cenderung malas sehingga anggota tim lain harus bekerja ekstra untuk mengerjakan tugas dari permintaan client atau atasan. Dari dua paragraf diatas, hal ini tentu saja menarik perhatian penulis untuk menganalisis lebih jauh bagaimana sejarah social loafing awalnya diteliti, dan apa saja faktor yang mempengaruhinya serta bagaimana upaya untuk mengurangi fenomena ini.


Pada awalnya, fenomena social loafing telah diteliti oleh Maximillien Ringelmann, seorang ahli teknik pertanian, pada tahun 1913, untuk mengamati fenomena penurunan kinerja berkelompok sehingga memberikan kontribusi di dunia psikologi dengan nama Ringelmann Effect, yaitu menurunnya performansi individu di dalam sebuah kelompok seiring bertambahnya jumlah anggota kelompok (Latane, Williams, and Harkins 1979). 

Ringelmann awalnya melakukan eksperimen rope-pulling atau tarik tambang pada dua kelompok yang saling tarik menarik, dengan setiap percobaan dilakukan penambahan jumlah anggota pada setiap kelompok. Hasilnya, Ringelmann menemukan fakta bahwa semakin banyak orang yang ditambahkan maka kelompok tersebut semakin tidak efisien. 

Hal ini membuat anggapan yang berbalik dengan upaya kelompok dapat diandalkan untuk meningkatkan keefisienan, yang ternyata tidak sesuai dan membuat fakta bahwa partisipasi anggota seringkali tidak dapat diandalkan dalam pengerjaan tugas kelompok (Sumantri and Pratiwi 2020).

Setelah dilakukan penelitian pada tahun 1913 oleh Ringelmann, terdapat beberapa ahli yang mereplikasi penelitian Ringelmann dengan beberapa kondisi. Beberapa ahli tersebut seperti Ingham dkk, pada tahun 1974, dengan penelitian yang sama seperti Ringelmann, tetapi dengan membagi partisipan ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disuruh untuk menarik tali secara bersama-sama, sedangkan kelompok kedua berisi satu orang dengan mata tertutup dan orang tersebut disugesti bahwa ada banyak orang yang bersama-sama menarik tali, dengan dilakukan bersama asisten peneliti yang ikut membantu padahal hanya berpura-pura menarik tali, atau sering disebut efek koordinasi (Sumantri and Pratiwi 2020). 

Hasilnya adalah kelompok dengan tingkat penurunan kinerja berkelompok tertinggi adalah kelompok pertama, dibanding kelompok kedua ketika jumlah partisipan ditambahkan (Ingham, Levinger, and Graver 1974).  Ingham dkk menyimpulkan bahwa penyebab perilaku kedua kelompok ini dimungkinkan karena faktor motivasi daripada efek koordinasi terhadap penurunan kinerja tim (Ingham, Levinger, and Graver 1974). 

Selain itu, pada tahun 1979, dilakukan eksperimen oleh Bibb Latane dkk, dengan tujuan yang sama tetapi berbeda dengan eksperimen sebelumnya, yang oleh Latane (1979) menggunakan metode tepuk tangan dan berteriak yang dilakukan secara individu dan berkelompok. 

Dari eksperimen Latane dkk, dapat disimpulkan bahwa kelompok bisa menjadi penghambat kinerja individu dalam melakukan tugas kelompok sehingga banyak individu mengurangi kinerja mereka dalam berkelompok (Latane, Williams, and Harkins 1979). Hasil dari penelitian Latane memberi jawaban bagi Bibb Latane untuk membuat definisi dari social loafing, yaitu penurunan usaha individu dalam tugas berkelompok daripada pengerjaan tugas secara individu.


Dengan melihat sejarah penelitian terhadap kemalasan sosial atau social loafing, dapat kita telisik berbagai faktor yang menyebabkan seorang individu melakukan pengurangan usaha saat tugas kelompok. Faktor pertama ialah faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari diri individu, seperti kepribadian dan motivasi. 

Kepribadian setiap individu berbeda dalam menyikapi pengerjaan tugas secara berkelompok, contohnya individu dengan tingkat keterbukaan atau openness dan tingkat membantu sesama atau agreeableness yang tinggi cenderung tidak melakukan social loafing dibanding yang kedua tingkat lebih rendah, sedangkan individu yang mempunyai sifat extraversion atau ekstrovert cenderung melakukan usaha saat berkelompok atau jarang melakukan social loafing (Hariyadi and Atikah 2019). 

Selain kepribadian, motivasi setiap individu bisa menentukan apakah seseorang bisa melakukan social loafing, dimana Karau dan Williams berpendapat bahwa individu yang lebih termotivasi cenderung mengurangi social loafing, sedangkan mereka yang kurang termotivasi berkemungkinan tinggi melakukan social loafing, serta mereka menemukan fakta bahwa puncak motivasi individu ketika individu tersebut yakin tujuan mudah dicapai dan opini dihargai (Williams and Karau 1993). 

Faktor eksternal yang membuat individu cenderung melakukan social loafing adalah faktor pembagian tugas dan faktor sifat kelompok. Pembagian tugas kelompok yang terkadang tidak jelas biasanya membuat individu lain yang mempunyai kecondongan social loafing akan melakukannya karena mereka bingung dengan pembagian tugas dan pengerjaannya yang bisa juga disebabkan pemahaman mereka terhadap tugas yang masih kurang. 

Selain itu, jika sifat individu cenderung bermalas-malasan, maka berdampak ke individu lain untuk mengurangi upayanya sehingga upayanya sama dengan orang lain (Jackson and Harkins 1985). Dampak dari social loafing menurut berbagai riset yang telah dilakukan menunjukkan seringkali condong kearah negatif, dimana social loafing yang dilakukan beberapa individu bisa berefek buruk pada hubungan dengan individu lain pada suatu kelompok.


Melihat dampak dari social loafing terhadap hubungan antarindividu, maka seharusnya terdapat solusi dan upaya untuk mengurangi social loafing dalam pengerjaan tugas berkelompok. Menurut Dan J. Rothwell, dari kutipan Wikipedia , terdapat tiga motivasi C: Collaboration, Content, dan Choices (Rothwell 2016). 

Kolaborasi atau Collaboration adalah bagaimana cara mengumpulkan anggota tim dalam pengerjaan berkelompok dengan pembagian tugas untuk setiap anggota dan saling berbagi insight secara terus-menerus. Kedua, Konten atau Content adalah bagaimana menggali tugas secara spesifik pada anggota tim  agar mempunyai keterlibatan dalam pengerjaan tugas.

Ketiga, Pilihan atau Choices yaitu membebaskan anggota tim untuk memiih tugas yang bisa diselesaikan agar mendorong mereka bekerja sebagai tim. Selain strategi 3C-motivation tadi, bisa dilakukan dengan strategi lainnya, seperti: mengurangi free-rider yang biasanya anggota yang hanya menumpang nama atau hanya memberi sedikit pekerjaan dengan membagi pembagian tugas secara adil; menunjukkan sikap keterlibatan dengan menghargai kerja antaranggota tim; tentukan tujuan, standar, dan aturan dengan spesifik agar setiap anggota tahu apa yang dilakukan dan kinerja kelompok meningkat jika semua anggota berkontribusi; langkah terakhir yaitu mengevaluasi setiap rekan dengan memantau, mengkritik atau mengomentari setiap kontribusi yang dilakukan anggota tim dengan baik dan tidak menyinggung (Thompson 2014).


Dengan demikian, social loafing yang merupakan fenomena buruk dalam ilmu psikologi sosial yang penulis analisis secara ringkas. Meskipun penulis bukan berlatar belakang ilmu psikologi, tujuan penulis menjelaskan fenomena social loafing atau kemalasan sosial ini karena mempunyai dampak yang merugikan bagi hubungan antarindividu, khususnya ketika melakukan pengerjaan tugas atau proyek secara berkelompok.  

Di samping itu, dengan artikel ilmiah ini, penulis berharap agar fenomena ini dapat dikurangi atau dicegah ketika seorang individu melakukan kegiatan pengerjaan secara berkelompok.

Daftar Pustaka


[1] Hariyadi, Sugeng, and Atikah. 2019. “SOCIAL LOAFING DALAM MENGERJAKAN TUGAS KELOMPOK DITINJAU DARI THE BIG FIVE PERSONALITY TRAITS PADA MAHASISWA,” 55–63.
[2] Ingham, Alan G., George Levinger, and James Graver. 1974. “The Ringelmann Effect: Studies of Group Size and Group Performance,” 371–84.
[3] Jackson, Jeffrey M, and Stephen G Harkins. 1985. “Equity in Effort: An Explanation of the Social Loafing Effect,” 1199–1206.
[4] Latane, Bibb, Kipling Williams, and Stephen Harkins. 1979. “Many Hands Make Light the Work: The Causes and Consequences of Social Loafing,” 822–32.
[5] Rothwell, J. Dan. 2016. In the Company of Others: An Introduction to Communication. Fifth edition. New York: Oxford University Press.
[6] Sumantri, M. Arief, and Iqlima Pratiwi. 2020. “Locus of control: Upaya untuk menurunkan social loafing.” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 8 (1): 10. https://doi.org/10.22219/jipt.v8i1.7846.
[7] Thompson, Leigh L. 2014. Making the Team: A Guide for Managers. Fifth edition. Boston: Pearson.
[8] Williams, Kipling, and Steven Karau. 1993. “Social Loafing: A Meta Analytic Review and Theoretical Integration” 65:681–706.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun