Mohon tunggu...
Andrian Kharisma
Andrian Kharisma Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa yang suka nyambi apa aja

Work Hard & Be Nice To People

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kemerdekaan dari Kursi Roda

17 Agustus 2018   15:27 Diperbarui: 17 Agustus 2018   20:59 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: merdeka.com)

Agustus tiba di pertengahan bulannya. Tanggal berwarna merah di kalender yang selalu dinanti, 17 Agustus. 73 tahun yang lalu, Ir. Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah langkah awal bagi negeri ini untuk bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

Proklamasi ibarat langkah awal menuju gerbang bernama kemerdekaan. Sudah 73 tahun juga Indonesia menjadi negara yang merdeka, namun apakah semua rakyatnya merasakan kemerdekaan yang sama?

Pagi ini, menjadi puncak dari penantian yang sudah ditunggu-tunggu. Karang taruna dan sekelompok pemuda lainnya mempersembahkan acara peringatan kemerdekaan di lingkungannya. 

Bapak-bapak bisa bangun lebih siang dibanding hari-hari sebelumnya, lalu menyeruput kopi dengan santai tanpa takut terjebak kemacetan karena hari ini libur nasional.

Anak-anak kecil sudah merepotkan ibunya pagi-pagi, meminta tolong dicarikan baju berwarna merah, mengambil sepeda penuh dengan hiasan bernuansa merah putih dan pergi menghampiri bapaknya untuk meminta uang bekal jajan. Dengan semangatnya, anak-anak itu mengayuh sepeda ke lapangan tempat perlombaan.

Kemerdekaan diperingati oleh berbagai usia dengan berbagai cara. Yang muda membuat lomba. Bapak-bapak ikut lomba panjat pinang. Ibu-ibu heboh tarik tambang. Anak-anak lomba balap karung dengan riang. Tua-tua menyusuri jalan sambil mengayuh sepeda ontel kesayangan.

Namun Yuhina Halmahera masih saja terbaring di tempat tidurnya, tatkala yang lain pergi memperingati hari ulang tahun Indonesia dengan berbagai cara. Ingin hati mengikuti lomba makan kerupuk, tapi apa daya membayangkan berjalan ke tempat perlombaan malah membuat semakin terpuruk. 

Yuhina mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya harus menggunakan kursi roda. Harapan untuk berjalan normal selalu ada, namun membutuhkan waktu satu atau paling lama dua tahun agar kakinya mampu menapak dengan kukuh lagi di tanah.

Kecelakaan itu terjadi beberapa bulan setelah lulusnya Yuhina dari sekolah menengah atas. Yuhina yang lolos seleksi masuk perguruan tinggi harus mendaftar ulang ke perguruan tinggi negeri ternama impiannya. Nahasnya, ketika menyebrang ia ditabrak oleh mobil yang melaju dengan cepat. 

Padahal megahnya gedung universitas impiannya sudah terlihat di depan mata, namun takdir berkata lain. Yuhina harus menjalani operasi dan bolak-balik rumah sakit untuk terapi seminggu sekali. Semua itu dilakukannya demi bisa berjalan kembali.

Semenjak kecelakaan itu, Yuhina menjadi seorang tunadaksa, penyandang disabilitas fisik. Menjadi penyandang disabilitas mengubah sebagian besar kehidupannya, terutama ketika ingin berjalan. Ia membutuhkan usaha lebih dan bantuan orang lain hanya untuk berpindah dari kamarnya menuju ruang tamu.

Yuhina awalnya merasa frustasi dan beranggapan bahwa dunianya hancur jika dia tidak bisa berjalan dengan normal. Namun setelah bertemu dengan penyandang disabilitas yang mengalami penderitaan yang lebih parah, Yuhina menganggap keterbatasan ini sebagai suatu anugerah.

Anugerah karena dirinya masih memiliki harapan untuk kembali berjalan dengan normal. Yuhina adalah seorang organisator dan aktivis saat duduk di sekolah menengah atas. 

Hal ini membuat Yuhina memiliki pemikiran kritis dan mampu menuangkan pemikirannya dengan baik secara lisan maupun tulisan. Seringkali Yuhina menulis di blog pribadinya dan menguatkan kawan-kawan sesama penyandang disabilitas dengan ceritanya.

Masih hangat betul di ingatannya, seorang ibu pengguna kursi roda yang menceritakan pengalamannya berpawai dengan ratusan penyandang disabilitas. Pada 18 Mei 2017, penyandang disabilitas melakukan pawai dari Bundaran Patung Kuda Silang Monas menuju Istana Negara, Jakarta. 

Mereka yang sudah susah harus susah payah lagi teriak di jalanan, menyampaikan aspirasi agar hak-haknya benar-benar dipenuhi pemerintah. Mereka juga menuntut pemerintah untuk segera membentuk Komisi Nasional  Disabilitas (KND) yang independen untuk memastikan terimplementasinya  penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Sudah tiga tahun berlalu, sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disahkan. Kehadiran UU tersebut diharapkan bisa memberikan hak dan kesempatan yang lebih baik bagi penyandang  disabilitas di Indonesia, mulai dari hak untuk hidup, mendapatkan pekerjaan, pendidikan, hingga kemudahan mengakses fasilitas umum.

Salah satu poin penting dari UU tersebut ialah tentang pembentukan Komnas Disabilitas yang bertugas melaksanakan  pemantauan, evaluasi, advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan dan  pemenuhan hak-hak penyadang disabilitas. Semua tugas bakal dilaporkan  kepada Presiden. Komnas Disabilitas harus terbentuk tiga tahun setelah  UU disahkan atau maksimal pada Maret 2019.

Realitanya, Komnas Disabilitas belum juga rampung pembentukannya oleh pemerintah. Tanpa adanya Komnas Disabilitas, penerapan hak-hak para penyandang disabilitas terancam hanya diam di atas kertas.

Yuhina beropini, pemerintah masih saja belum mengerti apa arti disabilitas dan masih memandang mereka dengan sebelah mata. Padahal sudah seharusnya pemerintah memperhatikan betul dan menjadi fasilitator yang baik untuk para penyandang disabilitas setelah pemerintah merativikasi konvensi PBB tentang hak-hak penyandang disabilitas tahun 2007 lalu.

Masih saja banyak orang yang menganggap penyandang disabilitas sebagai pihak yang hanya harus dikasihani, tanpa peduli dengan hak dan kesempatan mereka sebagai warga negara. Pemerintah seakan-akan terlalu fokus dengan masalah lain sampai lupa bahwa hak penyandang disabilitas juga dilindungi oleh undang-undang.

Pemerintah seperti terlalu serius memperbaiki jalan raya hingga lupa merenovasi trotoar yang sudah tidak ramah dengan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas terlihat seperti dianggap sebelah mata oleh pemerintah dan juga masyarakat.

Padahal jumlah penyandang disabilitas tidaklah sedikit, LPEM FEB Universitas Indonesia pada tahun 2016 pernah melakukan  penelitian terhadap penyandang disabilitas. Secara nasional jumlah  mereka mencapai 12,15 persen dari total penduduk Indonesia. Jika total penduduk 250 juta, maka ada lebih dari 30 juta penduduk Indonesia yang menjadi penyandang disabilitas.

Dari sisi pendidikan, kondisinya lebih mengkhawatirkan. Sebab, 45,74  persen di antaranya tidak pernah atau tidak lulus SD, jauh dibandingkan  non-penyandang disabilitas yang sebanyak 87,31 persen berpendidikan SD  ke atas. Dan ternyata jumlah penyandang disabilitas ini lebih banyak perempuan yaitu 53,37 persen. Sedangkan sisanya 46,63 persen adalah  laki-laki.

Di tingkat pendidikan tinggi, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sempat terjadi dalam mekanisme Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Pada bagian  daftar perguruan tinggi berserta jurusannya, tertera beberapa opsi  persyaratan untuk calon mahasiswa yang mendaftar.

Ada tujuh kode  persyaratan, yakni; tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa,  buta warna sebagian, buta warna keseluruhan maupun sebagian.  Dengan berbagai perlakuan diskriminatif tersebut, tak heran jika  penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi. 

Yuhina sempat mempertanyakan isi dari UU penyandang disabilitas. Karena pada bagiaan keenam Pasal 10 disebutkan tentang hak pendidikan penyandang disabilitas. Salah satu poinnya: "Hak pendidikan untuk  penyandang disabilitas meliputi hak: (c) mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan bermutu pada satuan pendidikan di semua  jenis, jalur, dan jenjang pendidikan".

UU Disabilitas mewajibkan pemerintah dan swasta mempekerjakan penyandang  disabilitas. Tapi bagaimana mereka bekerja di industri jika misalnya, pendidikannya pun hanya tidak tamat SD atau sama sekali tidak sekolah.  

Belum lagi mereka seringkali mendapat perlakuan diskriminasi dari lingkungannya. Sehingga orang tua yang punya anak dengan kebutuhan  khusus enggan menyekolahkannya.

Memandang penyandang disabilitas sebagai suatu hal yang memalukan, menyusahkan bahkan aib adalah stereotip yang harus dibuang jauh-jauh dari pikiran kita. Berhenti menatap mereka iba dan perlakukan mereka seperti manusia pada umumnya. Mereka masih bisa berprestasi, berkarya dan berjaya di tengah keterbatasan yang dimiliki.

Contohnya saja di bidang olahraga, David Jacobs berhasil menyumbangkan tiga medali emas di Paralimpiade London 2012, olimpiade khusus bagi mereka penyandang disabilitas. David juga menjadi satu-satunya atlet pertama yang berhasil menyumbangkan medali untuk Indonesia di Paralimpiade.

Selain David Jacobs di tenis meja, penyandang disabilitas Indonesia juga cukup disegani di level  internasional. Atlet lainnya yang  menorehkan nama di percaturan olahraga internasional adalah Christian H.  Sitompul dan Stephanie Handojo. 

Christian Sitompul tercatat sebagai pemegang  medali emas Olimpiade Tunagrahita Dunia di Yunani pada 2011. Christian  meraihnya pada nomor renang gaya bebas 50 meter. 

Stephanie  Handojo juga tidak kalah unggul. Perempuan kelahiran Surabaya ini  berhasil meraih emas pada Special Olympics Summer Games 2011 di cabang  renang nomor 50 meter gaya dada. Prestasi ini membuat Stephanie  dipercaya sebagai salah satu pembawa obor Olimpiade London 2012.

Yuhina berharap masyarakat dan juga pemerintah memperhatikan dengan baik para penyandang disabilitas. Tak sedikit masyarakat yang membantu peran pemerintah dalam membantu mereka. 

Mulai dari pembuatan alat transportasi yang dapat digunakan mereka, situs kerjabilitas yang menjadi situs pertama untuk membantu penyandang disabilitas mencari pekerjaan di Indonesia, yayasan dan komunitas sosial yang sangat peduli dan masih banyak lagi.

Kemerdekaan bagi mereka yang menggunakan kursi roda seperti harus menaiki tangga untuk mendapatkannya. Kemerdekaan seperti satu barang yang tersembunyi dalam semak-semak bagi mereka yang tidak dapat melihat. 

Kemerdakaan ibarat suara bising di jalan yang tak pernah bisa didengar mereka yang tuli. Kemerdekaan takkan mereka rasakan apabila kita yang lebih dulu merasakannya tidak ambil andil dalam membantu mereka. 

Selamat Hari Ulang Tahun Ke-73 Replubik Indonesia! Semoga kita semakin peduli terhadap mereka penyandang disabilitas dan semoga mereka juga merasakan kemerdekaan yang sama yang kita rasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun